Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada Kota Solo: di Tengah Bayang-bayang "Sang Penguasa"

4 Desember 2020   12:00 Diperbarui: 4 Desember 2020   12:05 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: nasional.kompas.com

Ada yang tak kenal Dul Jaelani? Anak ragil yang lahir dari pasangan musisi Ahmad Dhani dan Maia Estianti kala itu. Suatu ketika dalam sebuah acara televisi kontes menyanyi paling terkenal di Indonesia, dia hadir berduet dengan setiap kontestan untuk menyanyikan lagu-lagu favorit dewa 19 dalam balutan tema "tribute to dewa 19".

Menarik ketika muncul percakapan di antara tetangga membahas mengenai hal ini. Lucunya pembahasan itu malah mengarah pada perdebatan meski ujung-ujungnya ya senda gurau, tak laik lah urusan orang lain jauh di sana jadi perpecahan. Itu kan hanya bahan omong kosong untuk keakraban antar tetangga saja.

Yang membuat pembahasan berubah perdebatan ternyata terkait status Dul Jaelani sebagai anak Ahmad Dhani. Kenapa?

Tetangga yang satu menyanjung tentang kemampuan Dul dalam bernyanyi serta memainkan piano membawakan lagu-lagu milik ayahnya ketika grand final acara kontes itu. Sedangkan tetangga yang lainnya melihat jika pencapaian itu tak lepas dari pengaruh ayahnya, sehingga dia "tanpa harus berusaha ekstra" bisa mendapatkan panggung besar dengan lebih mudah.

Ternyata kondisi serupa tapi tak sama terjadi dalam gelaran pilkada di kota kelahiran dan juga tempat tinggal penulis saat ini, yaitu kota Solo. Pasti bagi anda yang mengikuti perkembangan politik terutama terkait pilkada serentak langsung berpikir tentang setidaknya 3 kata ini ketika mendengar pilkada di Solo, yaitu: Jokowi, Gibran, dinasti politik.

Tak bisa dipungkiri apabila kondisi saat ini di mana Jokowi yang sedang menjabat sebagai presiden RI membuat pencalonan dari Gibran Rakabuming Raka dianggap sebagai upaya menciptakan dinasti politik.

Apalagi menantu Jokowi, Bobby Nasution juga memilih untuk maju di wilayah yang lainnya. Penulis tidak terlalu tahu dinamika politik di wilayah dimana Bobby saat ini mencalonkan diri, sehingga penulis tidak akan membahas bagian ini.

Setidaknya dengan majunya Gibran di Solo saja penulis rasa sudah cukup menguatkan dan memastikan argumentasi dan anggapan dari para pemerhati politik tentang kekhawatiran munculnya dinasti politik beserta dampak negatifnya.

Pertanyaannya kemudian haruskah dengan majunya majunya Gibran menjadi calon walikota Solo ini harus dianggap semata-mata sebagai dinasti politik? Berangkat dari pertanyaan itu pula penulis mencoba membuat analisa singkat.

Pencalonan Gibran sendiri cukup mengejutkan terutama terkait pengalamannya yang minim di politik, bahkan selama ini jika ditanya mengenai orang tuanya dalam konteks politik saja dia hanya menjawab singkat dan mesam-mesem khas orang Solo yang lemah gemulai.

Sebenarnya posisi Gibran saat ini hampir sama dengan bapaknya dulu ketika pertama mencalonkan diri menjadi walikota di kota Solo, sama-sama tak punya pengalaman politik. Mereka sama-sama berasal dari pengusaha yang kemudian merintis karir politik langsung ditingkat walikota. Sungguh relevan peribahasa buah tak jatuh jauh dari pohonnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun