Kita sering menunjuk para koruptor sebagai tikus berdasi yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi jarang sekali bercermin pada diri sendiri. Pertanyaan sederhana sebenarnya sudah cukup menusuk hati: masihkah kita rela mengambil sesuatu yang bukan hak kita? Dari kebiasaan menitip absen, memberi "uang terima kasih", hingga melancarkan urusan dengan "pelicin", praktik-praktik kecil yang dianggap lumrah inilah yang sesungguhnya menjadi pupuk bagi budaya korupsi dalam skala besar.
Fakta menunjukkan persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Transparency International mencatat skor Indonesia hanya 37 dari 100 dalam Corruption Perceptions Index 2024, menempatkan kita di urutan 99 dari 180 negara. Skor ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik yang menyebut Indeks Perilaku Anti Korupsi turun menjadi 3,85 pada 2024, lebih rendah dari 3,92 pada tahun sebelumnya. Penurunan kecil ini justru mengkhawatirkan, karena menunjukkan semakin banyak masyarakat yang mulai menoleransi perilaku koruptif dalam kehidupan sehari-hari.
Kenyataan di birokrasi pun tidak lebih menggembirakan. Survei Penilaian Integritas yang dilakukan KPK pada 2024 menemukan praktik suap dan gratifikasi masih terjadi di lebih dari 90 persen kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah. Selama empat tahun terakhir, KPK menerima lebih dari 15 ribu laporan gratifikasi, dengan sebagian nilainya diserahkan menjadi milik negara. Angka itu menegaskan betapa pemberian hadiah yang tidak semestinya masih marak, sekaligus memperlihatkan bahwa setidaknya ada sebagian warga dan aparatur yang berani melawan arus dengan melaporkannya.
Di tengah masyarakat sendiri, istilah "uang rokok" atau "uang terima kasih" sering dimaknai sebagai basa-basi yang sopan. Padahal regulasi jelas menyebut hal itu sebagai gratifikasi yang dilarang. Ombudsman Republik Indonesia berulang kali menerima laporan pungutan liar di sektor pendidikan, pertanahan, hingga layanan pajak daerah. Semua ini memperlihatkan bahwa budaya permisif di akar rumput ikut menyuburkan ekosistem korupsi di tingkat atas.
Dunia usaha pun tidak lepas dari beban yang sama. Survei internasional masih menemukan adanya praktik suap dalam proses perizinan dan inspeksi. Situasi ini menambah biaya operasional, menurunkan daya saing, dan meruntuhkan kepercayaan investor. Akibatnya, iklim usaha menjadi tidak sehat dan yang dirugikan pada akhirnya bukan hanya pelaku bisnis, tetapi juga masyarakat luas yang bergantung pada investasi dan lapangan kerja.
Masyarakat tentu berhak menuntut DPR, pemerintah, dan aparat penegak hukum agar bersih dari korupsi. Namun, tuntutan itu akan kehilangan bobot bila di level akar rumput kita masih menormalisasi perilaku yang tidak benar. Pemerintah bisa membuat aturan seketat apa pun, tetapi tanpa perubahan budaya di masyarakat, rantai korupsi akan tetap berulang. Perubahan justru bisa dimulai dari langkah sederhana: menolak gratifikasi sekecil apa pun, memanfaatkan layanan digital untuk menutup ruang pungli, membangun transparansi di komunitas, serta mengedukasi integritas sejak dini.
Korupsi memang tampak sebagai persoalan besar, tetapi sesungguhnya ia tumbuh dari hal-hal kecil yang kita biarkan. Selama kita masih menutup mata terhadap praktik sehari-hari yang salah, wajar bila korupsi di tingkat elite sulit diberantas. Namun ketika masyarakat berani memutus rantai dari bawah, menjaga integritas tanpa kompromi, maka kursi kekuasaan pun tidak lagi menjadi ladang subur bagi para tikus berdasi.
Sumber:
1. https://www.transparency.org/en/countries/indonesia
2. https://tradingeconomics.com/indonesia/corruption-index