Mohon tunggu...
Renza Agastha Merdeka
Renza Agastha Merdeka Mohon Tunggu... Saya merupakan lulusan Pendidikan Administrasi Perkantoran.

Saya, Renza Agastha Merdeka, adalah seorang pemuda yang memiliki minat besar pada bidang administrasi, kepenulisan, teknologi digital, serta pengembangan masyarakat. Latar belakang pendidikan saya adalah S1 Pendidikan Administrasi Perkantoran, yang mengasah kemampuan saya dalam mengelola dokumen, menyusun laporan, melakukan pengarsipan, serta mengoperasikan berbagai perangkat kerja administratif dengan sistematis, detail, dan penuh ketelitian. Sejak masa kuliah hingga kini, saya terbiasa berkecimpung dalam kegiatan organisasi dan komunitas. Saya aktif di Komunitas Informasi Masyarakat (KIM) Desa Mojorejo, Kota Batu sebagai operator website yang bertugas membuat konten berita, pengumuman, serta dokumentasi kegiatan. Selain itu, saya juga terlibat dalam Karang Taruna dengan peran sebagai anggota. Keterlibatan dalam dua wadah ini memperkuat karakter saya sebagai pribadi yang adaptif, komunikatif, serta mampu bekerja sama dengan berbagai lapisan masyarakat. Di luar itu, saya memiliki ketertarikan yang mendalam pada bidang kepenulisan—baik ilmiah maupun non-ilmiah. Bagi saya, menulis bukan hanya sarana menuangkan ide, tetapi juga jalan untuk memengaruhi dan memberi makna bagi orang lain. Saya senang menulis dengan bahasa sederhana, runtut, dan mudah dipahami, namun tetap sarat makna, sehingga bisa diterima oleh berbagai kalangan, mulai dari anak muda hingga orang dewasa. Kemampuan ini saya kembangkan tidak hanya melalui pengalaman organisasi, tetapi juga melalui praktik menulis artikel, narasi jurnalistik, dan konten digital di media sosial maupun website. Selain kepenulisan, saya juga menaruh perhatian pada perkembangan teknologi digital dan data. Sebab di era modern, data dan informasi merupakan aset utama dalam pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Secara pribadi, saya dikenal sebagai sosok yang kritis, komunikatif, dan berintegritas. Saya selalu berusaha berpikir logis, empiris, dan sistematis dalam menghadapi persoalan, namun tetap menjunjung tinggi nilai humanisme, demokrasi, serta nasionalisme. Prinsip hidup saya sederhana: bekerja dengan penuh tanggung jawab, menjaga moral dan integritas, serta berusaha memberikan kebermanfaatan bagi orang banyak. Saya lebih nyaman bekerja pada bidang-bidang yang menuntut ketelitian, manajemen data, penulisan, dan administrasi. Namun demikian, saya juga tetap terbuka untuk terus berkembang, belajar hal baru, dan beradaptasi dengan berbagai tantangan. Kegiatan saya di organisasi maupun komunitas adalah bukti nyata bahwa saya mampu memadukan sisi akademis, profesional, kreatif, dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dengan semua latar belakang dan pengalaman tersebut, saya percaya bahwa diri saya memiliki potensi besar untuk berkontribusi, baik dalam dunia administrasi, kepenulisan, pengelolaan informasi digital, maupun pengembangan masyarakat. Saya bukan hanya ingin bekerja, tetapi juga ingin bermakna—memberi manfaat, menginspirasi, serta ikut membangun bangsa melalui bidang yang saya tekuni.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korupsi: Dari Akar Rumput hingga Kursi Kekuasaan

2 September 2025   23:27 Diperbarui: 2 September 2025   23:27 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Cerminan Kita tidak beda jauh dengan tikus berdasi(Sumber: AI, ChatGpt)

Kita sering menunjuk para koruptor sebagai tikus berdasi yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi jarang sekali bercermin pada diri sendiri. Pertanyaan sederhana sebenarnya sudah cukup menusuk hati: masihkah kita rela mengambil sesuatu yang bukan hak kita? Dari kebiasaan menitip absen, memberi "uang terima kasih", hingga melancarkan urusan dengan "pelicin", praktik-praktik kecil yang dianggap lumrah inilah yang sesungguhnya menjadi pupuk bagi budaya korupsi dalam skala besar.

Fakta menunjukkan persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Transparency International mencatat skor Indonesia hanya 37 dari 100 dalam Corruption Perceptions Index 2024, menempatkan kita di urutan 99 dari 180 negara. Skor ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik yang menyebut Indeks Perilaku Anti Korupsi turun menjadi 3,85 pada 2024, lebih rendah dari 3,92 pada tahun sebelumnya. Penurunan kecil ini justru mengkhawatirkan, karena menunjukkan semakin banyak masyarakat yang mulai menoleransi perilaku koruptif dalam kehidupan sehari-hari.

Kenyataan di birokrasi pun tidak lebih menggembirakan. Survei Penilaian Integritas yang dilakukan KPK pada 2024 menemukan praktik suap dan gratifikasi masih terjadi di lebih dari 90 persen kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah. Selama empat tahun terakhir, KPK menerima lebih dari 15 ribu laporan gratifikasi, dengan sebagian nilainya diserahkan menjadi milik negara. Angka itu menegaskan betapa pemberian hadiah yang tidak semestinya masih marak, sekaligus memperlihatkan bahwa setidaknya ada sebagian warga dan aparatur yang berani melawan arus dengan melaporkannya.

Di tengah masyarakat sendiri, istilah "uang rokok" atau "uang terima kasih" sering dimaknai sebagai basa-basi yang sopan. Padahal regulasi jelas menyebut hal itu sebagai gratifikasi yang dilarang. Ombudsman Republik Indonesia berulang kali menerima laporan pungutan liar di sektor pendidikan, pertanahan, hingga layanan pajak daerah. Semua ini memperlihatkan bahwa budaya permisif di akar rumput ikut menyuburkan ekosistem korupsi di tingkat atas.

Dunia usaha pun tidak lepas dari beban yang sama. Survei internasional masih menemukan adanya praktik suap dalam proses perizinan dan inspeksi. Situasi ini menambah biaya operasional, menurunkan daya saing, dan meruntuhkan kepercayaan investor. Akibatnya, iklim usaha menjadi tidak sehat dan yang dirugikan pada akhirnya bukan hanya pelaku bisnis, tetapi juga masyarakat luas yang bergantung pada investasi dan lapangan kerja.

Masyarakat tentu berhak menuntut DPR, pemerintah, dan aparat penegak hukum agar bersih dari korupsi. Namun, tuntutan itu akan kehilangan bobot bila di level akar rumput kita masih menormalisasi perilaku yang tidak benar. Pemerintah bisa membuat aturan seketat apa pun, tetapi tanpa perubahan budaya di masyarakat, rantai korupsi akan tetap berulang. Perubahan justru bisa dimulai dari langkah sederhana: menolak gratifikasi sekecil apa pun, memanfaatkan layanan digital untuk menutup ruang pungli, membangun transparansi di komunitas, serta mengedukasi integritas sejak dini.

Korupsi memang tampak sebagai persoalan besar, tetapi sesungguhnya ia tumbuh dari hal-hal kecil yang kita biarkan. Selama kita masih menutup mata terhadap praktik sehari-hari yang salah, wajar bila korupsi di tingkat elite sulit diberantas. Namun ketika masyarakat berani memutus rantai dari bawah, menjaga integritas tanpa kompromi, maka kursi kekuasaan pun tidak lagi menjadi ladang subur bagi para tikus berdasi.

Sumber:

1. https://www.transparency.org/en/countries/indonesia

2. https://tradingeconomics.com/indonesia/corruption-index

3. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/07/15/2374/-indeks-perilaku-anti-korupsi--ipak--indonesia-2024--sebesar-3-85--menurun-dibandingkan-ipak-2023-.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun