Yogyakarta kerap disebut sebagai kota pelajar yang damai, simbol pendidikan, budaya, dan kehidupan yang santun. Setiap tahun, ribuan mahasiswa dari seluruh Indonesia datang menimba ilmu di kota ini, menjadikannya pusat intelektual yang hidup. Namun di balik gemerlap dunia akademik, Yogyakarta menyimpan ironi yaitu kemiskinan dan upah rendah yang masih menghimpit sebagian warganya.Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, persentase penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta pada Maret 2024 mencapai 10,83%, salah satu yang tertinggi di Pulau Jawa (BPS DIY, 2024). Walau sempat menurun menjadi 10,40% pada September 2024, angka ini tetap menunjukkan bahwa satu dari sepuluh penduduk DIY masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS DIY, 2025).
Lebih ironis lagi, Yogyakarta juga memiliki Upah Minimum Provinsi (UMP) terendah di Indonesia. Untuk tahun 2025, UMP DIY hanya Rp2.264.080,95, sedangkan UMK Kota Yogyakarta Rp2.655.041,81 (JogjaProv.go.id, 2024). Nilai ini bahkan lebih rendah dibandingkan biaya hidup di wilayah perkotaan, di mana harga sewa kos, kebutuhan pangan, dan transportasi terus meningkat akibat tingginya arus mahasiswa dan wisatawan.
Situasi ini menciptakan paradoks: kota yang dipenuhi kaum terdidik justru menjadi tempat di mana banyak pekerja hidup pas-pasan. Di tengah pertumbuhan ekonomi berbasis pendidikan dan pariwisata, warga lokal seperti pedagang kecil, buruh, dan tukang ojek tetap berputar dalam lingkaran ekonomi bawah. Harga tanah melonjak karena kebutuhan hunian mahasiswa dan investor properti, sementara warga asli sering kali terpinggirkan ke wilayah pinggiran.
Masalah ini tidak bisa dilihat sekadar sebagai ketimpangan ekonomi. Ini adalah refleksi dari arah pembangunan yang belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat lokal. Pemerintah daerah cenderung fokus membangun citra kota wisata dan pendidikan, namun belum optimal memastikan kesejahteraan mereka yang menjaga denyut kehidupan kota ini.
Kampus pun seharusnya memiliki peran strategis. Sebagai pusat ilmu, perguruan tinggi seharusnya tidak sekadar mencetak sarjana, tetapi juga menjadi agen pemberdayaan sosial. Program pengabdian masyarakat, pelatihan UMKM lokal, hingga beasiswa untuk anak warga sekitar kampus bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar.
Yogyakarta memang layak disebut kota pelajar, tetapi sebutan itu akan kehilangan makna bila warganya masih harus bertahan dengan UMR kecil dan biaya hidup yang menekan. Mengurai benang kusut kemiskinan di Yogyakarta berarti menata ulang orientasi pembangunan agar ilmu pengetahuan tidak hanya menjadi cahaya di ruang kuliah, melainkan juga penerang di rumah-rumah sederhana warga kota ini.
Sumber:
Badan Pusat Statistik DIY, Profil Kemiskinan DIY Maret & September 2024
Pemda DIY, Penetapan UMP 2025 Naik 6,5%, jogjaprov.go.id
Harian Jogja (2025), Jumlah Penduduk Miskin DIY Turun 4.700 Orang
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI