Mohon tunggu...
Reni Soengkunie
Reni Soengkunie Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang baca buku. Tukang nonton film. Tukang review

Instagram/Twitter @Renisoengkunie Email: reni.soengkunie@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pada Akhirnya Pekerja "Multitalent" akan Tersisihkan oleh "Multiface"

21 Juli 2019   01:31 Diperbarui: 21 April 2021   17:41 1449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja multitalent yang tersisihkan (Sumber : hunters race)

Hampir di semua tempat kerja, pasti akan ada sosok pekerja multitalent sekaligus pekerja multiface. Pekerja multitalent adalah mereka yang bekerja keras, giat, disiplin, taat, dan tak banyak bicara. Sedangkan pekerja multiface adalah mereka yang ke mana-mana mencari muka, kerjanya tidak mumpuni tapi hanya bermodalkan kepandaian bicara yang memikat atasan.

Memiliki rekan kerja multiface ini sungguh sangat menjengkelkan. Di saat kita tengah bekerja keras, dia justru santai-santai dan enak-enakan. Mereka bahkan tak peduli dengan penderitaan rekan kerjanya yang lain. Yang penting dia kerjanya enak, whatever, orang mau jungkir balik sekalipun. 

Dulu, saya pernah punya rekan kerja ya, senior saya sih tepatnya, beneran dari awal masuk kerja sampai pulang kerja itu dia gak melakukan pekerjaan apa pun seharian. Kadang kerjanya itu cuma duduk-duduk main handphone, ngobrol, ngemil, dan suka bersembunyi untuk tidur. 

Lalu setelah akhir pulang kerja, dia akan muncul di meeting, berbicara sok tahu di depan atasan, dan anehnya dialah orang yang mendapat pujian dari atasan. Jabatannya pun dengan segera dinaikan oleh atasan. Kesel banget nggak sih?

Rasa-rasanya kok gak adil banget ya. Dia selalu enak-enakan, gak pernah ditegur, dalam sekejap mata pun jabatannya cepat meroket. Kadang dulunya saya sempat berpikir, gak penting bekerja keras itu, yang lebih penting itu pintar ngomong dengan atasan. 

Toh, gak peduli gimana jeleknya kinerja kita, selama kita dekat dengan atasan, semuanya akan beres. Penilaian kita, pekerjaan semakin enak, izin dipermudah, dan segala fasilitas tentu saja disediakan. 

Dulunya saya juga mikir, hal seperti itu tentu asyik. Bisa berleha-leha saat kerja dan ketika ada atasan saya bisa berpura-pura tengah sibuk bekerja. Sehingga sosok saya di mata atasan itu nampak baik. 

Toh, mau kerja segiat apa pun kalau atasan tak melihat, maka penilaian kita tetap saja jelek. Namun saya salah, cara kerja semestinya tak boleh begitu.

Saya dulu juga pernah mendapati seorang senior yang sudah cukup tua. Dia seorang yang rajin sekali. Selalu berangkat tepat waktu, tidak pernah istirahat sebelum kerjanya selesai, dan selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. 

Padahal jika ia mau, dia bisa saja bekerja santai. Toh, dia sudah senior dan saya yakin atasan pun tak akan berani menegurnya, karena dia bergabung dengan perusaan saat pertama kali perusahaan itu dibangun.

Dia orang yang bekerja tanpa peduli orang lain sibuk mencari muka di hadapan atasan. Dia juga bukan jenis orang yang haus jabatan. Padahal, jika dinalar dia harusnya sudah menduduki jabatan yang lumayan tinggi di perusahaan itu karena dedikasi pekerjaannya yang sangat baik. 

Reni Soengkunie (Dok. Pribadi)
Reni Soengkunie (Dok. Pribadi)
Namun, dia lebih memilih menjadi karyawan biasa. Katanya, dia merasa lebih nyaman saja dan tak punya beban moril saat harus menjadi atasan. Dia berkata pada saya, jika dia menjadi atasan, mau tak mau dia harus menekan bawahannya karena tuntutan pekerjaannya.

"Gajinya gak sebanding, sama sakit hati orang-orang yang bekerja di bawah saya nantinya!" jelasnya sambil tersenyum.

Seperti yang kita tahu, tak semua orang itu pandai bicara. Tak semua orang suka berbasa-basi dan membicarakan omong kosong. Mereka adalah jenis orang-orang yang lebih suka bertindak daripada bicara. Dan tentu saja, menjilat atasan bukanlah passionnya. Do more talk less.

Sudah semestinya kita bekerja sesuai gaji kita. Sederhananya, jangan sampai kita digaji 10 juta, namun justru mengerjakan pekerjaan dengan gaji 5 juta. Kita memiliki tanggung jawab atas semua yang kita kerjakan. Terserah orang mau leha-leha, santai-santai, dan yang lainnya, kita harus tetap bekerja sesuai pekerjaan kita. 

Bapak saya pernah berpesan pada saya, "Jangan pernah hitung-hitungan dalam melakukan pekerjaan!". Ada saatnya kita juga harus melakukan loyalitas dalam bekerja. 

Yah, seolah kita ini digaji 5 juta tapi mengerjakan pekerjaan dengan gaji 10 juta. Kedengarannya sih bodoh ya, tapi hal itu lebih memberikan kita kepuasaan tersendiri saat kita menerima gaji.

Bekerja saja dengan giat, tanpa peduli kerja kita dilihat atau tidak oleh atasan. Bagaimanapun juga, Tuhan akan selalu melihat. 

Tentu saja, Tuhan tak akan membiarkan ketidakadilan itu berlangsung lama. Enak saja, masak orang yang kerja keras dengan orang yang kerjanya malas-malasan akan mendapatkan hal yang sama. Oh, tidak bisa, Marimar! 

Walau kedengarannya tak masuk akal, namun ada yang disebut penghasilan yang berkah dan tak berkah. Bisa jadi dengan gaji yang sedikit tapi dari hasil keringat kita itu, justru membuat segalanya cukup. 

Bisa jadi juga, gaji besar yang didapat dari berleha-leha itu justru habis di rumah sakit untuk membiayai anggota keluarga, atau bisa jadi kendaraan yang biasanya sehat-sehat saja, mendadak pas gajian menjadi mogok. Gak mesti sih, yah tapi bisa jadi.

Makanya bersyukurlah kita yang masih punya muka jelek, setidaknya kita masih punya muka. Karena pada kenyataannya di luar sana masih banyak orang-orang yang suka mencari muka. Ohooo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun