Mohon tunggu...
Reni P
Reni P Mohon Tunggu... Buruh - Saintis yang lagi belajar nulis

Seneng guyon Visit renipeb.medium.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Sejarah itu Bukan tentang Menghafal Narasi

14 Maret 2018   11:43 Diperbarui: 14 Maret 2018   11:52 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Harian Analisis.

Semua orang punya sejarahnya masing-masing. Semua suku, bangsa, negara, hingga peradaban-peradaban raksasa meniti kisahnya sendiri hingga habis tinta mereka untuk ditulis di kertas waktu, jatah mereka masing-masing. Ada yang cemerlang dan dijadikan tuntunan bagi bab selanjutnya. Ada pula yang menjadi aib hingga semua yang memiliki, berusaha untuk merobek dan membuangnya hingga dianggap cerita itu memang tak pernah ada.

Tapi yang jelas, baik buruknya sejarah adalah tuntunan kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik lagi. Kita tak perlu mengulangi kesalahan yang seharusnya tak perlu untuk diulangi. Dan beruntunglah kita karena bisa menyimpan energi tanpa harus menjalaninya dari titik nol lagi.

Bukankah itu alasan kita belajar sejarah?

Kadang kita hanya terpaku pada narasi keterhubungan scene satu dengan scenelainnya, dan terjebak pada rentang waktu apa, siapa, dan di mana kejadiannya. Itulah yang terjadi pada anak-anak kita hari ini. Belajar sejarah sekadar menambah stok dongeng atau menambah data agar 'dianggap' berpengetahuan yang banyak. Label pintar disematkan bagi anak yang mampu menjawab secara cepat kronologis suatu peristiwa itu bagaimana kejadiannya.

Tak masalah sebenarnya untuk memiliki pengetahuan yang banyak dan mendetil di tiap kronologisnya. Justru itu modalnya. Problemnya, kita hanya berhenti pada kognisi kita dan daya nalar kita yang beku dalam memecah apa esensi dari peristiwa tersebut. Kronologis hanya bangunan logika dan fakta. Selebihnya kita sendiri yang memahami dan menarik pelajarannya.

Hal ini saya terapkan untuk mempelajari sejarah Islam.

Dua puluh tahun saya berislam, saya baru mengerti belajar sejarah Islam itu bukan hal yang mudah. Mengetahui kronologis adalah kurang dari setengah persen proses belajarnya. Perlu banyak alat yang digunakan, seperti sosiologi, antropologi, linguistik, bahkan hingga geologi. Ilmu-ilmu tersebut menjadi hal yang penting, apalagi konteks kejadian Islam yang saya pelajari terpaut jauh 1400 tahun dengan kehidupan yang saya jalani hari ini. Ditambah kondisi alam dan budaya yang sangat berbeda. Objek yang saya pelajari, lingkungannya adalah gurun yang minim pepohonan dan kaya akan sengatan matahari yang membakar, sedangkan saya di sini hidup dengan suhu yang sangat nyaman dimanjakan semilir sejuk udara tropis Kota Bandung. Kalau mau dibongkar, banyak sekali perbedaan yang dimiliki dari saya hari ini dengan kondisi Islam awal kali muncul.

Butuh empati yang sangat ekstra untuk memahami kondisi yang serba beda. Jangankan Islam yang berjark empat belas abad, untuk belajar bagaimana kondisi Indonesia saat wali songo yang menyebarkan Islamnya di Indonesia pun bukan main usahanya. Karena bisa kita lihat sendiri budaya Indonesia, sistem sosialnya, agama, hingga bahasanya saja sangat berbeda dengan kondisi hari ini yang kita jalani.

Sungguh hal ini membuat saya merasa dungu. Dua puluh taun berislam, berbangsa Indonesia, juga bersatus sebagai manusia, saya hanya mampu menghafal untaian kisah tanpa memaknainya sebagai kejadian yang memiliki moral value yang bisa saya ambil untuk menjadikan diri saya, lingkungan, bangsa, dan agama saya menjadi lebih baik lagi.

Saya tak hendak menyalahkan bagaimana kurikulum atau teknik kepengajaran guru-guru saya sebelumnya, bisa jadi saya juga memang terlalu bodoh untuk menangkap esensi dari satu kejadian.

Tapi yang pasti saya menghimbau, bila anda merasa memahami sejarah agama, bangsa, atau negara anda. Tapi perilaku anda malah hanya seperti mengulang sejarah atau bahkan memundurkan sejarah. Sudah sepatutnya anda pergi belajar lagi sejarah seperti yang seharusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun