Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Frater yang adalah Guru

20 September 2021   09:57 Diperbarui: 20 September 2021   10:00 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Frater yang adalah Guru (Dok.Pri)

Setiap hari Jumat, Para Frater tingkat II selalu menjalani profesinya sebagai Guru Agama Katolik. Menjadi Guru Agama Katolik adalah salah satu bentuk kegiatan kerasulan yang harus kami tanggungjawabi sebagai tingkat II. Kami disebar ke berbagai sekolah-sekolah Negeri dan Swasta. Baik untuk tingkat SD, SMP, dan juga SMU. 

Baik di dalam kota maupun di luar kota Pematangsiantar. Seperti biasanya, hari Jumat adalah hari istimewa yang secara khusus sudah dikhususkan bagi kami untuk menjalani aktivitas mengajar. 

Artinya bahwa setiap hari Jumat kami Para Frater tingkat II tidak akan mendengarkan penjelasan perkuliahan dari Dosen, melainkan menjadi pengajar kepada para anak didik kami masing-masing.

"Kulangkahkan kakiku dengan penuh kegembiraan menuju tempat yang akan kusirami". Di pintu gerbang sekolah yang bercat kuning itu terpampang plangkat "SMA/SMK SWASTA PELITA Pematangsiantar". 

Seperti biasanya, saya selalu menyapa setiap murid, baik yang beragama katolik maupun non-katolik dan para guru yang saya jumpai di sekolah itu dengan penuh cinta. 

Namun, ketika saya menyapa beberapa guru yang ada di sekolah itu,  saya justu menerima balasan yang membuat saya kecewa dan sedih, seperti yang sudah putus harapan. Mengapa??? Karena guru yang saya sapa itu, sama sekali tidak memberi balasan sekatapun. 

Saat itu, saya hanya bisa mengelus-elus dada sambil berkata dalam hati: "sabar...sabar...sabar, mungkin inilah tantangan bagi hidup saya sebagai guru pemula. Walaupun demikian, saya harus tetap berkomitmen untuk menjadi orang yang sabar, sopan, ramah, dan selalu menyapa guru-guru yang ada di sekolah itu kendati tidak ada balasan sekatapun. 

Sebelum saya berkomat-kamit di dalam ruangan kelas, saya selalu menempatkan waktu untuk berbincang-bincang, atau lebih tepatnya berbasa-basi dengan para murid baik beragama katolik maupun non-katolik dan para guru. 

Umumnya, belajar Agama Katolik hanya diajarkan kepada mereka yang beragama Katolik dan dilakukan di luar jam sekolah. 

Artinya setelah guru, dan siswa-siswi di sekolah itu pulang, maka aktivitas kami baru dimulai, jadi tidak jarang bahwa saya akan melihat wajah-wajah berbentuk "persegi" dari anak didik saya. Mungkin karena mereka merasa malas, bosan, atau rasa jenuh dan penat.  

*****

Jumlah anak didik saya ada dua puluh enam orang. 

Tidak jarang dari jumlah yang sedikit itu selalu saja ada yang tidak hadir tanpa penjelasan apapun. Paling menyedihkan lagi bila mereka "cabut" di depan mata alias "bolos". Dari jumlah yang sedikit itu, hanya sekitar belasan murid yang mau bersedia mengikuti les agama, selebihnya entah pergi kemana. 

Namun, yang paling membuat saya habis pikir, ketika pada saat ujian. Mereka yang tidak pernah mengikuti les agama, justru mengikuti ujian. 

Bagaimanakah mereka ini dapat mengisi soal-soal ujian padahal mereka sama sekali tidak mengikuti les agama?, atau mungkin mereka sudah pintar, terlalu pintar, atau sama sekali tidak pintar? Pertanyaan inilah yang selalu membuat saya bertanya-tanya, apabila murid-murid tidak masuk les agama tanpa penjelasan apapun. 

Dalam proses belajar-mengajar, masih banyak diantara mereka yang belum memberikan hati sepenuhnya untuk mengikuti jam pelajaran ini, di mana mereka selalu sibuk dengan dirinya sendiri, baik itu bermain Hp, tidur di kelas, dan ribut sana-sini, bahkan ada yang 3D, 1P (Datang, Duduk, Diam, dan Pulang). 

Mengatasi persoalan-persoalan seperti ini, membuat saya merasa sangat bingung, dilema, bahkan bagaimana saya harus bertindak sebagai seorang Frater yang adalah Guru.

Bagi mereka, seorang Frater itu tidak boleh marah, memukul, apalagi memberi hukuman fisik. Di sinilah, iman dan kesetiaan saya ditantang, apakah saya harus mengalah dan keluar dari situasi ini.

***** 

"Domba-domba-Ku mengenal Aku dan Aku mengenal domba-domba-Ku" (Yoh 10:14). Berdasarkan teks biblis ini saya mencoba untuk mengenal mereka satu persatu, mulai dari nama, alamat rumah bahkan tempat dan tanggal lahir mereka. 

Saya berusaha supaya mereka menerima kehadiran saya dan menjadi bagian dari kelompok mereka. Berhadapan dengan mereka, mengingatkan saya akan kenangan masa lalu ketika saya masih duduk di bangku sekolah pada usia seperti mereka. 

"Frater ... permisi, saya sakit", "Frater ... permisi, mau pulang kampung!", "Frater ... permisi, tidak ikut les agama, lagi malas!", dan masih banyak alasana lain yang mereka ungkapkan untuk menghindari jam pelajaran ini. 

Namun yang paling membuat saya terperanggah ketika saya bertanya kepada seorang siswi, "Mengapa kamu tidak ikut les agama?", Siswi tersebut menjawab dengan nada tegas," Lagi datang Iblis kepada saya ... Frater!. 

Mendengar ungkapan itu, saya tidak bisa berkata-kata apa-apa. Saya hanya terdiam dan merasa sedih, membiarkan dia pergi dari hadapan saya.

*****

Materi yang saya ajarkan hanya seputar pengetahuan dasar dan pengetahuan umum mengenai Iman Katolik. Ternyata, tidak jarang saya menemukan bahwa di antara mereka masih ada yang "kabur" dengan pengetahuan imannya. 

Bahkan arti Tanda Salib pun tidak tahu. Sebagai Frater yang adalah guru, saya harus memiliki nilai lebih. 

Salah satunya adalah menjadi sahabat mereka dan menjadi tempat keluh kesah mereka. 

Banyak pengalaman bahagia dan menyedihkan selama bersama mereka, bahkan kekecewaan yang membuat saya kadang tertawa, marah, tersenyum, dan bingung. Pertemuan saya dengan mereka memberikan makna tersendiri dan peneguh bagi panggilan saya.

Yesus sebagai Guru Agung dan teladan memberikan inspirasi dan peneguh batin dalam suka dan duka bersama dengan anak didik saya. 

Menjadi guru ternyata tidak gampang, harus membutuhkan pengorbanan, kerendahan hati, penyangkalan diri, dan persiapan matang di samping harus menjadi sahabat. 

Kegiatan mengajar merupakan bentuk dari kesaksian hidup saya untuk membangun dan mengembangkan iman anak didik kepada Gereja dan Bangsa. 

Saya juga dituntut untuk melibatkan dan memberi diri untuk menemukan jendela dunia anak didik dengan memahami bahwa iman seorang katolik itu tidak hanya sebatas dimiliki dan dipahami, akan tetapi dinyatakan dalam perbuatan sehari-hari. 

Mereka adalah generasi penerus Gereja dan Bangsa yang membutuhkan perhatian dan dukungan yang sangat serius. 

Oleh karena itu, semoga dengan kehadiran saya, para anak didik semakin mengenal, memahami, dan bertindak sesuai dengan imannya yang berpusat pada Yesus Kristus Sang Guru Agung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun