Bonek Dari Tribun Ke Ranah Sosial Sebuah Tafsir Kultural Tentang Suporter Persebaya
Oleh:
Rendy Satria Ibrahim
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Media and Culture Studies B
Sorak sorai menggema dari tribun. Chant penuh semangat dilantunkan, bendera hijau dikibarkan tinggi. Mereka bukan hanya penonton sepak bola, tapi bagian dari identitas kota: Bonek, barisan suporter Persebaya Surabaya. Di balik semangat yang meledak-ledak itu, tersimpan dinamika sosial dan ideologis yang kompleks. Mereka bukan sekadar fans, tetapi entitas budaya yang memadukan semangat akar rumput, perlawanan sosial, dan identitas kolektif.
Nama “Bonek” yang merupakan kependekan dari Bondo Nekat (berani tanpa modal), mencerminkan semangat nekat khas warga urban kelas pekerja. Dalam bingkai kajian budaya atau Cultural Studies, kehadiran mereka tak sekadar menyemarakkan stadion, tetapi juga membentuk narasi alternatif tentang kekuasaan, representasi, dan identitas kota.
Subkultur dan Suara Marginal: Bonek sebagai Simbol Perlawanan
Mengacu pada pemikiran Dick Hebdige, subkultur muncul sebagai bentuk ekspresi simbolik dari perlawanan terhadap dominasi budaya utama. Bonek lahir dari realitas jalanan Surabaya, bukan dari ruang institusional. Menjadi suporter bukan hanya soal hobi, tetapi juga bentuk keterlibatan sosial dan identitas kolektif yang kuat.
Dalam beberapa tahun terakhir, Bonek mulai menggugat label negatif seperti “anarkis” atau “pengacau” yang melekat pada mereka. Melalui pembentukan citra baru, mereka tampil sebagai komunitas yang sadar sosial, terorganisir, dan aktif di ruang digital. Dengan kata lain, mereka menjadikan budaya suporter sebagai strategi simbolik untuk melawan stigmatisasi dan mengklaim ruangnya dalam struktur sosial yang lebih besar.
Representasi Media, Identitas Kolektif, dan Kontestasi Makna