Â
      Saat browsing layar HP saya banyak melihat hal-hal yang lucu, aneh, atau bahkan membuat wow. Tapi ada saat dimana saya tertegun sejenak dan berpikir, terutama jika apa-apa yang disajikan itu ternyata menyentil kenyataan yang sedang terjadi, sehingga menjadi sesuatu yang tidak lagi lucu, tetapi justru miris dan lama-lama menjadi menyedihkan. Berikut narasi yang saya dengar dan saksikan, "Pendidikan 9,9 Triliun, Kemensos 17 Triliun, Zakat 11,6 Triliun, Sawit Duta Palma 78 Triliun, Antam 185 Triliun, Pertamina 968 Triliun, Timah 271 Triliun, Jiwasraya 17 Triliun, Taspen 34 Miliar, Garuda Indonesia 9,37 Triliun..." Sampai di sini past ada beberapa dari kita yang berpikir itu adalah anggaran, tapi punchline terakhirnya terasa begitu mengena, " Itu semua bukan anggaran, tapi korupsi di setiap sektor di Indonesia, hebat kan?"
      Informasi yang diberikan sekilas mengagumkan, namun pada bagian akhir saya tertegun. Tadinya memang kepikiran juga bisa jadi ini memang angka-angka buruk itu yang sudah menjadi budaya massif, yang muncul lagi setelah sesaat menjadi musuh bersama di awal era reformasi. Tapi saya rasa itu terlalu besar, sehingga sempat terpikir juga pastilah itu adalah anggaran. Namun ternyata memang itu adalah jumlah uang rakyat yang dicuri dan disalahgunakan. Seingat saya jumlah 1,3 triliun yang dibawa Edi Tansil ke luar negeri di zaman Soeharto dulu sudah luar biasa besar, bahkan saat itu bisa jadi digunakan untuk hidup tujuh turunan. Tapi saat ini? Bahkan jumlahnya hampir menyentuh 1000 triliun bahkan hanya di satu sektor saja. Wow, sungguh luar biasa sekali, prestasi yang bahkan berarti pelaku-pelakunya sudah tidak tahu malu, tidak takut hukum, dan yang paling penting sudah tidak peduli dengan keadaan bangsanya.
      Terlepas benar atau salahnya pernyataan itu, berita-berita yang kita dengar di layar TV maupun digital akhir-akhir ini sudah cukup untuk mengkonfirmasinya. Kejanggalan demi kejanggalan selalu muncul di kasus-kasus yang dibilang cukup aneh, entah yang berhubungan dengan pembunuhan maupun kerugian yang justru menyasar bandar-bandar judi. Petugas hukum seolah malah melindungi pelaku-pelaku kejahatan, hukum di negeri ini juga semakin tumpul di hadapan mereka yang memiliki harta. Seolah-olah tidak ada lagi akhlak, dan semua terjadi secara terang-terangan, ditutupi oleh selimut tembus pandang dari kata-kata dan retorika aneh dan tak masuk akal.
      Mirisnya itu semua terjadi bersamaan dengan diinjaknya rakyat negeri ini yang benar-benar membutuhkan. Pajak bumi dan bangunan yang naik tak masuk akal di beberapa daerah membuat kita semakin bertanya-tanya, apkah negeri ini sebenarnya sudah mengalami krisis? Krisis ekonomi menjadi hantu yang bisa tiba-tiba muncul dan kembali mencekik, tapi krisis akhlak dan moral kini sudah terasa massif, baik di bawah maupun di atas. Apa ini konsekuensi logis yang harus diterima karena kita mengikuti sistem moneter internasional yang berbasiskan riba? Yang jelas kenyataan di lapangan terhadap ekonomi negeri ini terasa jauh dari data-data yang ditampilkan, sampai-sampai apa yang disajikan BPS tidak dipercaya oleh warganya sendiri.
      Pertanyaan selanjutnya, kemana lalu uang-uang korupsi itu mengalir, jawaban dengan prasangka terbaik tentu pastilah uang-uang itu kembali ke negara. Itu lalu diimbangi dengan prasangka buruk, bahwa itu kemudian dibagi-bagi diantara mereka yang berkepentingan dan bisa terlibat baik secara langsung maupun tidak, hanya sedikit yang kembali ke negara. Di luar itu, coba kalau kita logika semisal negeri ini tegas dan bisa mengurus dengan baik kasus-kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di negeri ini pasti tidak akan perlu efisiensi yang berlebihan. Tidak perlu lagi perluasan pajak yang tak masuk akal, yang bahkan membuat rakyat kecil kembali meringis, sementara wakil rakyatnya semakin bengis, menagih kenaikan tunjangan yang semakin gila dan tak masuk akal.
      Cina, yang menjadi rujukan sejak pemerintahan tahun 2014 saja sudah menyiapkan peti mati bagi para pejabatnya yang akan dilantik. Jika mereka ketahuan korupsi, maka siap-siap saja tubuh tanpa nyawanya akan ditaruh di peti itu. Mengapa negeri ini malah sebaliknya? Malah yang terjadi adalah pelemahan KPK dan korupsi besar-besaran di berbagai sektor. Padahal cara pertama yang paling efektif adalah mengembalikan hukum yang tegas dan kuat bagi para pelakunya, sehingga dapat menghentikan praktek-prakteknya secara cepat dan efektif. Barulah diimbangi dan diikuti dengan perbaikan sistem dan pengawasannya.
      Hukuman penjara saja dinilai tidak cukup. Mereka yang berhasil mengambil keuntungan dari kekayaan negara bertriliun-triliun, setelah melewati proses persidangan ternyata hanya harus mengembalikan beberapa ratus milyar saja. Sisanya? Cukup untuk hidup enak di sisa hidupnya. Duh! Lalu apa gunanya hukum kalau begitu? Bukankah lebih baik jika dapat disita saja kekayaan itudan dikembalikan untuk mengurus kemashlahatan rakyat? Lalu, untuk memberikan ketegasan, bisa saja ditebas kedua tangan koruptor itu, jika dirasa hukuman mati terlalu biadab. Tetapi bukankah dari kejahilan kedua tangan koruptor itu banyak rakyat kecil Indonesia yang susah hidupnya, bahkan meregang nyawa karena kemiskinan yang mencekik kehidupannya sehari-hari? Belum lagi mereka yang diinjak-injak dan dibebani oleh pajak yang sulurnya sudah kemana-mana. Ketegasan ini penting untuk mengembalikan semuanya ke arah yang benar, sebelum kita memperbaiki sistem yang salah.
      Berikutnya adalah potensi sumber daya yang tidak maksimal, lagi-lagi karena korupsi, kolusi, dan nepotisme. Potensi bahan tambang misalnya, bisa jadi ternyata hanya sedikit sekali masuk ke perbendaharaan negara, sebagian besarnya justru diambil oleh asing dan mereka yang 'bermain' menggunakan kedua tangannya yang jahil. Sehingga sebanyak dan sebesar apapun sumber daya yang diambil dan digali dari tanah ibu pertiwi, hasilnya sedikit yang bisa dirasakan oleh rakyatnya. Peradaban yang hanya tertuju pada ekonomi justru sangat berbahaya, karena ia akan mengesampingkan hal lain yang justru dapat menambah nilai kestabilan, seperti sikap, akhlak, dan budaya. Memacu semuanya ke arah ekonomi justru akan menciptakan jurang yang semakin dalam, belum lagi 'perbudakan terselubung' yang banyak muncul sebagai akibatnya. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) semakin menjadi-jadi saja di negeri ini. Rakyat yang dijual murah hanya karena sistem ekonomi yang salah, dan sekali lagi praktek KKN yang menggurita di semua kelas, level, dan tingkatan.
      Yang diperlukan selanjutnya adalah narasi dan tujuan bersama yang itu berakar dari identitas bangsa ini yang sesungguhnya. Banyak sekali harta karun bangsa yang masih tersimpan di dalam bumi pertiwi, yang berhubungan erat dengan narasi-narasi ini. Narasi ini hanya bisa dimunculkan oleh orang-orang tertentu, yang berhubungan erat tentu dengan kepemimpinan. Ketegasan dan tujuan dari narasi bersama akan dengan perlahan menghapus budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini dikarenakan pemimpinnya dapat memberi contoh, ketegasan, dan membawa semangat itu sampai ke paling bawah. Ekonomi kemudian ditempatkan hanya sebagai 'alat' atau sarana untuk mencapainya, bukan seperti sekarang ini. Bukankah memang uang sudah seharusnya tidak menjadi tujuan tapi alat untuk mencapai tujuan manusia yang sesungguhnya? Â
       Pada akhirnya, korupsi dan krisis akhlak tidak akan pernah bisa diatasi hanya dengan regulasi kaku atau hukuman semata. Kita membutuhkan narasi bersama yang lahir dari nilai dan identitas bangsa, narasi yang mampu menyatukan rakyat dan pemimpin dalam satu tujuan: untuk kebaikan bangsa.