Mohon tunggu...
Rendra Trisyanto Surya
Rendra Trisyanto Surya Mohon Tunggu... Dosen - I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

(I am a Lecturer of IT Governance and IT Management. And IT AUDITOR and Trainer in CISA, CISM, CGEIT, CRISC, COBIT, ITIL-F, PMP, IT Help Desk, Project Management, Digital Forensic, E-commerce, Digita Marketing, CBAP, and also Applied Researcher) My other activity is a "Citizen Journalist" who likes to write any interest in my around with DIARY approached style. Several items that I was writing in here using different methods for my experimental, such as "freestyle", "feeling on my certain expression," "poetry," "short stories," "prose," "travel writing," and also some about popular science related to my field. I use this weblog (Kompasiana) as my experiment laboratory in writing exercise, Personal Branding and my Personal Diary... So, hopefully..these articles will give you beneficial or inspiration and motivation for other people like my readers...! ... Rendratris2013@Gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Suatu Hari: Glodok - Jakarta (On My Sepia Colour Photo)

10 September 2013   16:04 Diperbarui: 6 Agustus 2016   16:52 1589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ket PHOTO: "View di sekitar pintu gerbang terminal Blok M menjelang jam 09 pagi, ketika ribuan kaum urban kelas menengah Jakarta, memulai perjalanan panjangnya ke kantor masing-masing../ Photo by: Rendra Trisyanto Surya)

Pagi itu, udara Jakarta cerah....!  Dan, terasa gerahnya hingga di dalam mobil sang adik ipar: Iskandar AB, seorang pengusaha yang tinggal di Ciledug Tangerang, ketika kami asyik berdiskusi hangat tentang bisnis-bisnisnya, sambil menemaninya menuju ke kantornya di kawasan Kemang. Mobil kami pun harus terus ber-zigzag, menerobos macet yang semakin merata di pelosok Kota Metropolitan ini. Mencari jalan alternatif, sepertinya sudah  menjadi ketrampilan penting dalam berkendaraan di kota yang kini berpenduduk lebih dari 9 juta orang itu. Akhirnya, sebelum  pukul 09 pagi, kami tiba di Blok M. lalu, saya pun menghilang membaur dalam keramaian masyarakat urban Jakarta di area ini yang berkejaran  melanjutkan perjalanan saya sendiri menuju ke Glodok.. 


]

Terminal bus Blok M ini, seringkali menjadi melting pot berbagai tipe orang yang mengejar bisnis dan memulai menjalankan pekerjaan masing-masing  dalam dimensi waktu dan kebisingan rutin. Kawasan yang biasanya hiruk pikuk, pagi ini tampak terlihat adem! Beberapa Bus Metromini lalu lalang dalam keadaan sepi penumpang. Beberapa angkutan roda tiga Bajaj, sampai memarkir diri agak ke tengah jalan masuk terminal agar dapat mencegat penumpang, yang tak kunjung juga tampak menghampiri. 

Saya melangkah ke Gedung Mal "Pasaraya" di sisi kanannya, yang masih terlihat tertutup. Petugas penjaga tiket parkir, lalu saya hampiri: mengajak mengobrol membuang waktu yang masih tersisa. "Hm, siapa bilang orang Jakarta cuek dan sering tampak tak ramah?" Pekerja yang asli orang Jawa ini, begitu ramah dan ceria (mungkin juga pasrah ?!), dengan lakon pekerjaan rutinnya yang dijerumput  setiap hari, sebagai pemberi tiket parkir mobil, dengan gaji Rp 2,5 juta perbulan. “Cukuplah buat menghidupi satu anak. Khan isteri saya juga kerja,” katanya berusaha meyakinkan diri. Hm, memang pasangan suami-isteri idealnya harus bekerja, agar dapat mensiasati biaya hidup jika tinggal di kota-kota besar yang dewasa ini semakin tinggi.

Pukul 09:15, pintu gedung Mal Pasaraya tersebut baru dibuka. Saya menuju ke lantai tujuh mengunjungi toko buku impor "Maruzen" yang sudah beberapa tahun ini menjadi langganan dan tidak pernah saya kunjungi lagi. Ah, alangkah kagetnya! “Toko buku itu sudah tidak di sini lagi, sudah pindah, Pak! Sudah digantikan toko menjual berbagai kebutuhan rumah tangga ini..”, jawab Satpam yang bertugas di lantai tersebut. Terlihat barang-barang rumah tangga mewah terpajang rapi, yang diperuntukkan untuk target konsumen masyarakat rumah tangga kelas atas yang semakin ingin serba ekslusif... Tiba-tiba, mata saya melirik sebuah guling yang berlabel harga Rp 1,5 juta. “Wah? Semahal inikah harga sebuah guling?“ tanya saya dalam hati terkaget-kaget. Dengan rasa penasaran dan iseng, saya pun mencoba menekan-nekan busanya. “Oh..inikah guling yang berharga di atas satu juta rupiah itu? Kok kayaknya sama saja seperti guling lain dimana pun…”  Hm, jadi hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas atas Jakarta, ternyata lebih suka membeli bantal guling yang harganya lebih dari satu juta rupiah, daripada sebuah buku impor dengan harganya Rp 400.000? Toko Buku "Maruzen" kalah, dipindah digantikan dengan  jualan hal-hal seperti ini..? “Ya, ..ini Jakarta!” GUmam saya lebih lanjut di dalm hati, lalu kemudian ngeloyor meninggalkan toko mewah ini.

Saya lalu turun ke beberapa lantai, menuju toko souvenir "Pasaraya" milik pengusaha terkenal: Abdul Latief, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di jaman Orde Baru itu. Sudah menjadi kebiasaan, sejak puluhan tahun setiap bolak balik dari Bandung-Jakarta, dan ke Blok M mengunjungi toko buku “Maruzen”, pasti kemudian meneruskan ke toko souvenir terlengkap di Indonesia ini. Melihat-lihat berbagai keunikkan dan keindahan souvenir serta kerajinan khas dari seluruh wilayah Indonesia yang hampir semua tersedia di sini, kemudian menjadi hiburan tersendiri. Meskipun kemudian saya lebih sering malah tidak membeli apapun! Mengingat harganya yang sudah  berlipat-lipat kali dari tempat aslinya. Hal ini juga menyiratkan : betapa masyarakat Jakarta secara ekonomi memiliki kelas dan kemamouan daya beli yang meskipun berbeda-beda itu, sangat kuat. Tampaknya, apapun yang dijual di Jakarta pada akhirnya menjadi laku-laku saja. “Kupu-kupu cantik khas Bantimurung Sulawesi Selatan yang  dikeringkan, di sini dihargai Rp 150.000 seekor. Padahal di Bantimurung hanya Rp 15.000 saja, lho...! " kata salah seorang teman yang sering bolak-balik Jakarta-Ujung Pandang. Oh ya, tentu saja Jakarta, khan bukan Sulawesi, bung..! Sindir penjaga toko yang saya debat... Namun,  apakah harganya harus dinaikkan sampai sepuluh kali lipat lebih mahal dari tempat asalnya? Ya, sekali lagi..... Inilah Jakarta..! Sebuah kota Metropolitan, yang sering kali dicitrakan sebagai kota serba mahal. Mungkin toko ini  dikhususkan untuk target pasar orang-orang asing yang sedang berada di Jakarta yang mencari oleh-oleh, namun tidak punya waktu mengunjungi wilayah lain di Indonesia yang demikian luas itu..

(Ket PHOTO: "Ini pajangan souvenir dan kerajinan cantik hasil buah tangan khas dari seluruh wilayah Indonesia yang bisa ditemukan di Pasaraya Blok M ini. Meski harganya mahal, namun variasi barangnya lengkap dan representatif, khususnya bagi orang asing yang ke Indonesia yang hanya sempat mengunjungi kota Jakarta saja. Setelah saya mengambil photto tanpa ijin ini, penjaga tokonya marah-marah....mau melaporkan saya ke Satpam....Emang, dilarang mem-photo di dalam mall, gitu..? hehe2... / Photo by: Rendra Trisyanto Surya")
(Ket PHOTO: "Ini pajangan souvenir dan kerajinan cantik hasil buah tangan khas dari seluruh wilayah Indonesia yang bisa ditemukan di Pasaraya Blok M ini. Meski harganya mahal, namun variasi barangnya lengkap dan representatif, khususnya bagi orang asing yang ke Indonesia yang hanya sempat mengunjungi kota Jakarta saja. Setelah saya mengambil photto tanpa ijin ini, penjaga tokonya marah-marah....mau melaporkan saya ke Satpam....Emang, dilarang mem-photo di dalam mall, gitu..? hehe2... / Photo by: Rendra Trisyanto Surya")

Hari pun semakin siang, dan mulai terasa PANAS. Saya kemudian menuju ke grund floor di Gedung Terminal Blok M, untuk menghilangkan rasa haus sejenak, meskipun saat itu sebenarnya baru pukul 11:30. Saya masuk ke warung makan khas Aceh “Bang Jali”. Minum es timun sambil mencicipi mie goreng khas Aceh itu, wow... terasa nikmat sekali di tengah gerahnya Jakarta! Sambil menunggu pesanan dihidangkan, tiba-tiba mata saya tertuju kepada dua orang pengunjung yang bagi saya tampak unik. Kedua wanita muda ini tampak  asyik berbincang sambil mengepulkan asap rokok di tangan masing-masing ke udara yang pengab di warung kecil tersebut. Salah satu diantara wanita yang merokok santai tersebut malah tampil mengenakkan KERUDUNG muslim. Wah, pemandangan yang tidak biasa nih..! pikir saya. Tapi, ya...ini Jakarta..! Kota terbesar di Indonesia dengan penduduk yang berasal dari hampir semua suku dari pelosok tanah air yang tumpah ruah mengejar mimpi masing-masing itu... Di kota ini, antara ibadah dan kebebasan berekspesi tampaknya tidak perlu dibuat bertolak belakang, dan menjadi polemik yang KAKU.  Mungkin kedua wanita tersebut hanya sekedar mengekpresikan ideologi kesetaraan gender yang mereka anut? Ya, memang begitulah kaum urban di kota-kota besar, selalu mencampurkan berbagai genre, ide dan “dunia”… 

Lagipula, siapa “yang peduli, kalau ada wanita kerudung merokok di ruang publik di sini?”. Ya, begitulah...ini  Jakarta...!


]

(Ket Photo: "Dengan asap mengepul dari rokok di jari-jarinya..seakan-akan mereka berkata: Ini jakarta, bung..!" / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)
(Ket Photo: "Dengan asap mengepul dari rokok di jari-jarinya..seakan-akan mereka berkata: Ini jakarta, bung..!" / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)

*** 

Jam 12:30, saya bergegas mengejar bus TransJakarta setelah membeli tiket Rp 3,500. Busway ini tampak bersih, aman dan berpendingin segar, sehingga mengurangi drastis rasa gerah dan penat di jalanan Jakarta. Tapi, meskipun sekarang bukan jam kantor,  untuk naik busway para penumpang harus antri sekitar 15 menit. Di dalam busway yang berharga hampir Rp 1 milyar sebuah ini, tampak penumpang tertib mengikuti aturan, diantaranya dilarang merokok dan membawa makanan. Dengan bus Transjakarta inilah kemudian saya menuju ke kawasan Glodok…


"

("Ket Photo: Bus TransJakarta yang fomena dan berwarna cerah...memberi gairah baru bag masyarakat urban kelas menengah daan bawah Jakarta yang setiap hari bekerjaan dengan waktu itu.."
("Ket Photo: Bus TransJakarta yang fomena dan berwarna cerah...memberi gairah baru bag masyarakat urban kelas menengah daan bawah Jakarta yang setiap hari bekerjaan dengan waktu itu.."

Dari jendela bus yang lebar tersebut, tampak beberapa landmark kota Jakarta di jalan-jalan yang dilalui. Patung-patung yang dibangun sejak masa Gubernur Henk Ngantung yang seorang seniman itu, seakan-akan memberi semangat (spirit tersendiri) kepada setiap warga Jakarta untuk melewati hari-hari rutin-nya  dengan semangat. Busway terus melaju melewati jalan  Thamrin. Di jalan yang telah menjadi kawasan sentra bisnis utama Jakarta dan juga Indonesia ini,  berdiri megah gedung-gedung pencakar langit yang terlihat semakin kokoh menjulang menampakkan keangkuhannya, menjadi simbol pusat kekuasaan kota Metropolitan, yang katanya mengendalikan peredaran sebanyak 80% dari total uang seluruh negara di Indonesia ini.


(Ket Photo: Orang-orang asing yang bekerja dan menetap di Jakarta saat ini cukup banyak. Hampir mendekati 550.000 orang, diluar jumlah turis yang datang setiap tahun. Beberapa diantara mereka tampak asyik dan cuek ketika ikut larut bergelantungan di dalam busway TransJakarta, seperti jam-jam sibuk seperti ini / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)"
(Ket Photo: Orang-orang asing yang bekerja dan menetap di Jakarta saat ini cukup banyak. Hampir mendekati 550.000 orang, diluar jumlah turis yang datang setiap tahun. Beberapa diantara mereka tampak asyik dan cuek ketika ikut larut bergelantungan di dalam busway TransJakarta, seperti jam-jam sibuk seperti ini / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)"
Beberapa gedung, tampak dirancang indah dengan bentuk arsitektur unik. Namun beberapa yang lain, seperti berdiri tegak dalam perspektif ruangnya sendiri yang cuek.Tampak beberapa pekerja sedang memanjat jendela gedung tinggi tersebut dengan tali membersihkan jendela-jendela itu di ketinggian puluhan meter.

Ketika melewati Bundaran HI, sebuah kolam besar megah di tengah jalan bersimpang lima ini, tampak air mancur memancar ke udara seolah-olah memberi kesegaran tersendiri terhadap gerah dan panasnya cuaca Jakarta... Sebenarnya, kolam besar ini tonggak sejarah: karena banyak bercerita tentang gejolak dan dinamika masyarakat kota Jakarta dari masa ke masa. Acapkali, warga Jakarta ketika sedang “marah”, berkumpul berdemo di sekitar kolam besar ini. Kolam bundaran HI ini, bagi warga Jakarta bukan hanya sekedar kolam penghias landscape suatu kota, namun lebih dari itu: ruang ekspresi dan titik kumpul (rendevouz) masyarakat yang akan demo menyampaikan berbagai aspirasinya ke pemerintah/penguasa…

Bus Transjakarta yang saya tumpangi kemudian menyusuri arah utara hingga ujung jalan Thamrin. Tampak landmark Tugu MONAS yang menjulang berdiri angkuh dalam kebisuannya,  setelah berulangkali menjadi saksi berbagai pergolakkan dari perkembangan sejarah kota Jakarta selama berpuluh-puluh tahun perjalanan bangsa Indonesia ini....


(Ket Photo: Kolam Bundaharan HI ini seolah-olah dihentikan oleh waktu, ketika kamera poket sederhana saya mengabadikannya...."/ Photo By: Rendra Trisyanto Surya)"
(Ket Photo: Kolam Bundaharan HI ini seolah-olah dihentikan oleh waktu, ketika kamera poket sederhana saya mengabadikannya...."/ Photo By: Rendra Trisyanto Surya)"


Saat Busway kemudian masuk ke kawasan Jalan Gajahmada, mulai terasa kepadatan yang semakin menyendat oleh kemacetan di sekitar Harmoni. Sungai kecil di tengahnya merupakan saksi bisu sejarah legendaris yang membelah kawasan Glodok, menjadi dua jalan utama Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Tampak tak terurus, kotor dan berlumpur....! Bayangan mengenai jernihnya air sungai ini di jaman dahulu hingga sering  dijadikan tempat mandi warga Batavia di jaman kolonial Belanda itu, sama sekali tak terlihat bekasnya. Mungkin karena terlalu banyak persoalan Jakarta yang lebih penting dikembangkan sebagai kota bisnis, daripada kota sejarah. Sebagaimana masyarakat Indonesia dimana-mana, banyak orang Jakarta yang kini berpikir pragmatis: lebih mementingkan aspek ekonomi dalam setiap keputusan dan kegiatan yang dilakukan, daripada hanya sekedar mengenang aspek sejarah. Apalagi hanya  sejarah sebuah SUNGAI  yang membentang di kawasan Mangga Besar ini.

Perjalanan saya pun akhirnya berhenti di halte stasiun KOTA. Saya pun turun dan berjalan-jalan sejenak di kawasan ini, lalu mampir ke Museum Bank Mandiri yang tampak sepi dan hanya diisi oleh beberapa turis asing. Tampaknya, benda bersejarah dan informasi sejarah keuangan bangsa Indonesia tidak terlalu menarik perhatian banyak orang Indonesia. 


(Ket PHoto: "Penulis, diakhir ngobrol dengan tukang penjual ES Potong khas Jakarta ini, berpose sejenak (Selfie atau Narsis ya..?), di gerobak Es Potongnya.."/ Dok pribadi)"
(Ket PHoto: "Penulis, diakhir ngobrol dengan tukang penjual ES Potong khas Jakarta ini, berpose sejenak (Selfie atau Narsis ya..?), di gerobak Es Potongnya.."/ Dok pribadi)"

Keluar dari museum yang terkesan kurang terurus itu, saya menyeberang ke trotoar di Jalan Gajah Mada, melihat-lihat apa yang “unik” yang dijual oleh para pedagang di kaki lima di area di sini. Merupakan kebiasaan, setiap kali mengunjungi pusat keramaian suatu kota, menyusuri kaki lima karena selalu ada hal-hal yang unik dan mengejutkan di sana. Ternyata benar,  ada seorang pedagang yang menarik perhatian saya, karena menjual jasa ketrampilan sulap. Pesulap ini akan mengajari siapa saja yang berminat, hanya dengan membayar Rp 15.000 untuk mempelajari satu trik sulap. "Wah, kreatif juga nih orang!" pikir saya. Saya memilih belajar bagaimana membengkokkan sendok makan dan kemudian meluruskannya kembali dengan cepat: bak pesulap beken sekaliber Deddy Cobuzer yang memanfaatkan pengalihan konsentrasi penonton dengan cepat...(hehe2…).


(Keterangan PHOTO: Selalu ada kejutan dari apa yang dijual/ditawarkan oleh para pedagang kaki lima di berbagai pusat kotajika kita jeli menelusurinya. Kali ini, pesulap ini mengajarkan trik membengkokkan sendok / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)
(Keterangan PHOTO: Selalu ada kejutan dari apa yang dijual/ditawarkan oleh para pedagang kaki lima di berbagai pusat kotajika kita jeli menelusurinya. Kali ini, pesulap ini mengajarkan trik membengkokkan sendok / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)

***

Pukul 14:00, perjalanan dilanjutkan dengan masuk lebih dalam ke jalan-jalan kecil di sekitar pertokoan Glodok, mencari mesin Sugar Cane (Pemeras Tebu) pesanan isteri, yang sebenarnya menjadi tujuan utama dari perjalanan saya hari ini. Setelah tanya sana sini dengan orang-orang Glodok yang tampak ramah-ramah itu, saya akhirnya menuju ke Pasar HWI-Lindeteves yang dikenal sebagai pusat penjualan barang elektronika dan barang teknik terbesar di Jakarta, bahkan se-Indonesia. Begitu lengkap barang-barang  yang ada di sini, maka hampir semua perusahaan kontraktor di Jakarta bisa dipastikan pernah mencari kebutuhan alatnya atau spare-part di sini. Dan tidak bisa dipungkiri pula, bahwa berbagai barang legal maupun illegal dengan berbagai kualitas juga berseliweran. Mulai yang orisinal, palsu bahkan yang berasal dari Black Market sekalipun..! Tentu saja, kepandaian menawar dari konsumen menjadi kunci sukses dalam mendapatkan barang murah dengan kualitas prima di kawasan Glodok ini.

Harga jual barang di sini memang sangat bervariasi, yang hampir membuat saya “salah beli” ketika hampir menyetujui menawar sebuah mesin seharga Rp 5 juta di toko A, ternyata di toko B yang hanya beberapa meter jaraknya, berharga  Rp 4 juta. Dan unik-nya lagi, ketika esok harinya saya datang kembali dan mencoba mencari di toko lain, yaitu toko C, ternyata bisa mendapatkan mesin yang hampir sama spesifikasi dan kualitasnya (kebanyakan buatan China), dengan harga hanya Rp 3,6 juta. Bukan main..! Hanya selang beberapa blok saja, harga bisa berselisih lebih dari satu juta rupiah. Inilah Jakarta .. inilah Glodok, Bung...!


(Ket PHOTO: Katanya, Glodok merupakan Pusat Penjualan Barang Elektronik dan Alat-alat Teknik terlenagkap, tidak saja terbesar di Indonesia, namun juga terbesar se Asia Tenggara) Benarkah? / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)
(Ket PHOTO: Katanya, Glodok merupakan Pusat Penjualan Barang Elektronik dan Alat-alat Teknik terlenagkap, tidak saja terbesar di Indonesia, namun juga terbesar se Asia Tenggara) Benarkah? / Photo by: Rendra Trisyanto Surya)

Di sisi lain, meskipun harga jual barang bisa jadi sangat bervariasi, para penjual di kawasan Glodok tampak ramah dan friendly kepada konsumen. Pengaruh budaya dagang bangsa Cina yang turun dari para leluhur untuk selalu pandai berkomunikasi menarik hati pembeli..? Motto "Pembeli adalah raja", tampaknya masih dipertahankan di sini!  Kawasan pecinan Glodok ini memang sudah berdiri sejak tahun 1690, ketika pemerintah Belanda mengisolasikan mereka agar hanya berdagang saja di satu tempat khusus. Akhirnya, dalam perjalanan bisnis dan interaksi sosial masyarakat Cina Glodok yang panjang ini selama ratusan tahun kemudian, terjadi juga oleh sebagian: proses akulturasi yang positif. Umumnya masyarakat pencinan Glodok membaur menjadi “orang Betawi”... 

Atau, mungkin keramahan itu karena konsumen toko di Pasar Alat Teknik ini adalah para kalangan terpelajar (para "Knowledge Worker")? Tampak mereka umumnya berbisnis dengan jujur dan memegang komitmen. Bahkan, ketika berurusan dengan pengiriman ke daerah melalui perusahaan ekspedisi, semua berjalan lancar.Meskipun kita tidak saling kenal sebelumnya...! Is it what we called "The Glodok business values" ?

***

Hari semakin menjelang sore, ketika saya melanjutkan perjalanan mencari supplier Tebu di sepanjang Jalan Mangga Besar. Saya mampir ke seorang penjual es Tebu di pinggir jalan yang menjual per gelas es Tebu hanya Rp 3.000. Minuman es tebu asli ini menjadi pilihan menarik sebagai penghilang dahaga di tengah teriknya kota Jakarta. Tampaknya, minuman sederhana ini banyak peminatnya. Hampir setiap 5 menit sekali, ada saja pengendaran motor yang berhenti dan mampir.

Saya bertemu dengan seorang pengusaha dan supplier Tebu besar  di kawasan ini. Berbicang soal bisnis es Tebu dengan Pak Anton, yang asli orang Jakarta ini, ternyata asyik juga. Dia tampak bersemangat menceritakan liku-liku bisnis tebu yang telah digelutinya hampir selama 35 tahun. “Saya sampai bisa membeli rumah, mobil dan menyekolahkan anak dari bisnis es tebu ini”, katanya  memberi semangat ketika dia tahu saya berniat menjalankan bisnis EsTebu... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun