Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Kelas Sosial: Ketika Start Kita Tidak Sama

16 Juli 2025   05:00 Diperbarui: 15 Juli 2025   12:11 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Kelas Sosial (sumber: Ai-generated picture)

Di negeri ini, kita tumbuh besar dengan nasihat yang terdengar sama dari generasi ke generasi: kerja keras akan membuat hidupmu lebih baik. Ntah itu terdengar dari ruang makan keluarga, di sekolah, di rumah ibadah, bahkan dalam lingkungan bertetangga, nasihat tersebut seperti mengikuti kita sehingga mengendap dalam pikiran kita sampai sekarang. Katanya, hidup harus diperjuangkan. Tidak ada jalan pintas. Tambahan lain, semua keberhasilan hanya milik mereka yang gigih dan pantang menyerah.

Lama kelamaan kita pun percaya bahwa kunci hidup itu ya di dalam usaha. Keyakinan yang terus tumbuh dan berkata bahwa semua orang memulai dari titik yang sama, tinggal siapa yang lebih kuat berlari. Tapi, apakah memangnya demikian adanya? Saya sering merenungkan hal berikut: benarkah semua orang memulai dari garis start yang sama? Apa jangan-jangan, ada yang sejak awal sudah lebih dekat ke garis finishnya bahkan saat perlombaan kami belum dimulai?

Barangkali, jawabannya kita sudah tahu, tapi kita sering pura-pura lupa. Atau, mungkin pula, kita terlalu sibuk dengan hidup kita sendiri hingga tidak sempat memikirkan lebih dalam. Ada orang sejak kecil tidak pernah pusing soal makan apa besok. Ada orang yang sejak awal hidupnya dipenuhi waktu senggang, bukan untuk bertahan hidup, tapi untuk hal-hal yang membangun: les keterampilan, kursus bahasa, bahkan mendapatkan pengalaman hidup ke luar negeri.

Sebaliknya, ada pula yang sejak dini sudah akrab dengan persoalan bertahan hidup, bukan soal pengembangan diri. Ada yang harus membantu orang tuanya berjualan gorengan, bukan duduk manis kursus bahasa. Ada pula yang saat kuliah  memikirkan cara membayar kos lebih keras ketimbang memikirkan penyelesaian tugas akhirnya. Hidupnya bukan tentang cita-cita besar, tapi tentang bagaimana menghidup sehari demi sehari.

Inilah yang disebut class privilege. Hak istimewa yang sering tidak terlihat mata, tapi terasa nyata bagi mereka yang sadar memilikinya. Privilege bukanlah sekadar soal uang di rekening. Ia soal ketenangan yang diwariskan. Ia tentang akses yang sudah dibukakan tanpa diminta. Bahkan, semuanya itu sudah dirancang jauh sebelum kita lahir. Ketika seorang anak lahir di keluarga yang tenang secara ekonomi, maka sejak hari pertama hidupnya, Ia tidak perlu memikirkan banyak hal yang bagi orang lain terasa berat: kesempatan sekolah, masa depan, bahkan ruang maaf atas kegagalan.

Kita hidup di tengah budaya yang memuja kerja keras seakan hanya itulah satu-satunya kunci sukses. Di media sosial, di seminar motivasi, bahkan di ruang makan keluarga, cerita tentang orang sukses selalu diakhiri dengan kalimat yang kurang lebih sama: karena dia kerja keras. Hal ini tidak salah. Tapi juga tidak sepenuhnya benar.

Pierre Bourieu, seorang Sosiolog Perancis, pernah menulis soal ini. Ia menjelaskan bahwa ada yang namanya modal ekonomi, modal kultural, dan modal sosial. Yang satu lahir sudah punya tabungan pendidikan. Yang lain lahir dengan lingkungan yang dapat membentuk rasa percaya diri. Ada lagi yang lahir dengan kenalan orang tua yang kelak membantu membuka pintu kesempatan. Semua itu bukan semata hasil kerja keras secara pribadi. Ia adalah bekal yang diwariskan sebelum kita tahu kita akan membutuhkannya.

Hal lain yang menarik adalah riset Paul Piff, seorang Psikolog Sosial, yang mengungkapkan hal yang barangkali sering kita temui di sekitar kita. Ia menjelaskan bahwa makin tinggi posisi sosial sesorang, makin besar kecenderungan dia menganggap semua keberhasilannya semata hasil kerja kerasnya sendiri. Seakan keberhasilan itu murni hasil perjuangan pribadi tanpa pengaruh apapun dari luar. Sesungguhnya, tidak semua orang menapaki jalan yang sama lurus. Ada yang jalannya sudah lebih dulu dibersihkan dari batu-batu kecil, sementara yang lainnya harus berjalan lebih pelan karena jalannya penuh kerikil, berlubang, bahkan kadan terpaksa berputar lebih jauh. Tapi, itulah yang sering tidak terlihat dari luar.

Terkadang, kita pernah melihat seorang teman lama sukses lalu berkata: “wah, hebat ya dia. Sejak sekolah dulu, dia sudah keliatan rajin, sih.” Kita mungkin “silau” dengan keberhasilan teman kita tersebut. Kita lantas menjadi percaya bahwa hanya kerja kerasnya yang membuahkan hasil seperti sekarang. Namun, apakah kita pernah merenungkan: dari kecil dia tinggal di lingkungan seperti apa? Apakah dia punya waktu senggang yang cukup buat belajar? Dia memiliki “modal” apa saja? Karena seringkali keberhasilan yang tampak hari ini adalah hasil perjalanan panjang yang diam-diam sudah lebih dulu diberikan kemudahan sejak lama.

Bukan. Tulisan ini bukan mempersoalkan rasa iri. Bukan pula soal menyalahkan siapapun atas apa yang sudah mereka miliki. Ini soal membangun kesadaran agar kita bisa melihat kenyataan dengan lebih jernih. Class privilege bukan soal saldo angka di rekening. Ia menyentuh rasa aman yang diwariskan, akses pendidikan yang lebih luas, hingga keberanian untuk bermimpi. Barangkali ada yang takut salah karena terbiasa dikecilkan atau diabaikan. Sebaliknya, ada pula yang percaya diri karena sejak kecil didukung penuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun