Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tentang Jalan Pintas dan Jalur Pendidikan: Mengapa Anak Muda Putar Arah?

9 Juni 2025   05:00 Diperbarui: 8 Juni 2025   06:07 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jalur Pendidikan dan Jalan Pintas (sumber: AI-generated picture)

"Kuliah itu tiket kamu untuk kehidupan yang lebih baik." Kalimat ini sering saya dengar sejak kecil---Baik dari orang tua saya sendiri maupun dari banyak orang lain yang memiliki pandangan bahwa pendidikan formal sebagai salah satu jalan utama menuju masa depan. Pada masa itu, tidak ada ruang untuk tanya, apalagi bernegosiasi. Jalur pendidikan pun begitu jelas: sekolah dasar, menengah, lalu perguruan tinggi. Sebuah lintasan linier yang dipercaya akan membuka pintu bagi kehidupan yang lebih mapan.

Namun, seiring dengan perubahan zaman dan berkembangnya kebutuhan dunia kerja, persepsi terhadap jalur pendidikan pun mulai bergeeser. Kini, kerap kita temukan bahwa anak muda lebih memilih mengikuti coding bootcamp dibandingkan gelar sarjana. Berbagai program sertifikasi, yang berlangsung hanya dalam hitungan bulan, semakin mendapatkan ruang dalam masyarakat. Pertanyaannya kini: apakah tren ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan formal atau justru merupakan cerminan paling jujur akan kebutuhan zaman modern?

Perubahan cara pandang ini tentu tidak muncul begitu saja. Ia berkembang seiring bertambahnya keraguan akan keyakinan pada ekspektasi lama yang selama ini dijunjung tinggi. Banyak keluarga menaruh harapan besar pada pendidikan formal, menjadikannya sebagai "investasi" utama keluarga hingga rela berutang demi menyekolahkan anak. Namun, saat lulus sarjana justru kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak atau akhirnya bekerja di sektor informal, kegamangan pun mulai muncul. Ekspektasi tersebut semakin terasa tidak sejalan dengan realitas. World Bank, dalam laporan Employment Outlook 2020, mencatat bahwa hanya 15% pekerja Indonesia yang berada dalam kategori bright occupations---pekerjaan yang dianggap punya masa depan dan nilai tambah tinggi. Selebihnya terjebak dalam sektor yang stagnan atau tidak memerlukan keahlian khusus. Temuan ini memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi menghadapi tantangan dalam memastikan terjadinya mobilitas sosial yang merata di tengah dinamika pasar kerja yang terus berkembang.

Di tengah ketidakpastian ini, berbagai alternatif pun bermunculan. Bootcamp teknologi, kursus daring, pelatihan UX design, bahkan bisnis rumahan berbasis digital---semua menjadi jalur aktualisasi yang terasa lebih relevan dan praktis oleh banyak anak muda. Dalam waktu yang relatif singkat, mereka kerap mampu menghasilkan penghasilan yang kompetitif dan terkadang melampaui lulusan pendidikan formal. McKinsey, dalam laporannya pada 2012, juga mengonfirmasi bahwa adanya disconnect antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan industri menjadi tantangan yang masih terus dihadapi oleh berbagai lembaga pendidikan. Sementara itu, perusahaan dan dunia usaha berjalan jauh lebih cepat, membentuk ekosistem lebih menghargai semangat belajar berkelanjutan daripada sekadar status lulusan formal.

Namun, keputusan untuk memilih jalur berbeda ini tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan pragmatis. Ada dimensi psikologis yang turut memengaruhi proses pengambilan keputusan anak muda. Pergeseran ini pun tidak dapat dilepaskan dari faktor psikososial yang lebih dalam. Jeffrey Arnett, seorang psikolog perkembangan, menyebut bahwa fase usia 18 -- 25 tahun sebagai emerging adulthood---sebuah masa peralihan antara remaja dan dewasa yang ditandai oleh pencarian identitas, eksplorasi pekerjaan, relasi dan nilai hidup. Anak muda pada fase ini bukanlah generasi yang malas atau tidak konsisten. Justru mereka tengah berada dalam proses aktif memahami siapa diri mereka dan jalur mana yang paling sesuai dengan nilai dan aspirasi pribadi mereka. Maka, saat mereka memutuskan berhenti kuliah atau tidak mengambil jalur pendidikan formal, seringkali itu bukan sikap reaktif, melainkan ekspresi pencarian jati diri paling jujur.

Selain faktor psikologis, perkembangan teknologi dan media sosial telah mendefinisikan ulang makna "sukses". Dulu, simbol keberhasilan adalah toga, kantor megah, dan jabatan tetap. Kini, kesuksesan tampil dalam bentuk lebih cair: content creator yang bekerja dari Bali, freelance designer bagi klien dari Kanada, atau anak SMA yang sukses membuat gim daring. Narasi pun telah berubah. Saat sistem pendidikan formal di Indonesia senantiasa melakukan pembaruan dalam proses akreditasi dan pengembangan kurikulum agar selaras dengan kebutuhan zaman, anak-anak muda telah mendefinisikan ulang peta dunia mereka sendiri. Ini pulalah yang disorot oleh OECD dalam proyek Education 2030 dimana sistem pendidikan masa depan perlu lebih dinamis, berakar pada nilai, dan memberi ruang pada fleksibilitas dan pengembangan karakter, bukan sekadar pencapaian akademis. Kondisi ini mendorong kita untuk semakin memahami bagaimana ekspektasi dan kebutuhan generasi muda untuk terus berkembang.

Semua perenungan ini membawa pada pertanyaan: mengapa banyak anak muda memilih berbelok arah? Jawabannya mungkin tergambar dari Survei Katadata. Katadata Insight Center pada 2023 menemukan bahwa hampir separuh anak muda menganggap isu penyediaan lapangan kerja sebagai perhatian utama mereka. Isu ini bahkan lebih tinggi dibandingkan jaminan kesehatan maupun pendapatan dan kepemilikan rumah. Survei ini memberikan gambaran bahwa anak muda tidak menolak belajar, tetapi mereka mendambakan pembelajaran yang relevan dan berdampak nyata bagi hidup mereka.

Namun, pilihan untuk menempuh "jalan pintas" ini pun bukan tanpa risiko. Akan ada kekhawatiran bahwa kita memiliki generasi instan---generasi yang serba cepat tapi dangkal, generasi yang mahir secara teknis tapi rapuh secara karakter. Di sisi lain, kita pun harus tetap memegang harapan. Harapan akan sistem pendidikan yang menyadari keterlambatannya dan responsif membuka diri terhadap desain baru yang lebih adaptif, lintas sektor dan kontekstual. Harapan akan pembelajaran yang tidak lagi didefinisikan dalam ruang kelas semata. Harapan yang menyadari kesediaan untuk terus berkembang dimana pun dan kapan pun. Dengan semangat inilah, kita dapat bersama-sama membangun ekosistem pendidikan yang lebih inklusif, adaptif, dan memberdayakan bagi setiap anak muda.

 

Hal yang perlu kita sadar bersama adalah bahwa anak muda tidak putar arah karena mereka lemah. Justru mereka adalah generasi yang realistis. Mereka melihat bahwa dunia mereka berubah dan mereka tidak ingin terjebak dalam sistem yang tengah menghadapi tantangan dalam memberikan kejelasan arah dan jaminan yang dibutuhkan. Dalam konteks ini, sistem pendidikan perlu lebih mendengar dan bertransformasi. Tidak cukup hanya menuntut adaptasi dari siswa, melainkan juga dari struktur pendidikan itu sendiri: dari guru, kurikulum, hingga cara evaluasi. Pendidikan pun harus menjadi ruang yang memberi arah dan harapan, bukan sekadar tuntutan yang kaku.

 

Di samping transformasi yang diharapkan dari sistem pendidikan, kita juga perlu mencermati bagaimana masyarakat dan orang tua merespons perubahan ini. Tak jarang muncul penilaian atau stigma yang berburu-buru. Orang tua dan masyarakat juga perlu ikut belajar ulang. Tidak semua jalan harus lurus. Tidak semua keberhasilan berbentuk ijazah. Tidak semua putar arah berarti kegagalan. Saat ini, kita tidak sedang berhadapan dengan generasi malas. Kita berhadapan dengan generasi yang ingin relevan. Maka, alih-alih terburu-buru menghakimi pilihan mereka, mungkin lebih bijak untuk membuka ruang dialog yang lebih setara. Karena dunia mereka, tantangan mereka, dan cara mereka belajar sudah jauh berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Setiap generasi berhak menemukan jalannya sendiri---dan tugas kita adalah mendukung, bukan menghakimi.

 

Mungkin, di sinilah kita perlu mendefinisikan ulang arti belajar. Belajar bukan sekadar proses menuju pekerjaan, tapi proses untuk bertumbuh. Belajar juga bukan hanya penguasaan materi, tapi tentang ketangguhan, nilai, dan relasi. Belajar pun bukan untuk siapa yang tercepat, tetapi siapa yang terus berjalan---meskipun jalurnya berbeda. Karena di dunia yang terus berubah ini, yang paling dibutuhkan bukanlah seberapa cepat seseorang sampai, melainkan seberapa dalam ia memahami makna perjalanannya. Di tengah perjalanan tersebut, peran kita bersama untuk memastikan bahwa setiap anak muda memiliki ruang untuk terus belajar, tumbuh, dan berkontribusi dalam caranya masing-masing.

Sebagaimana kita mendefinisikan ulang arti belajar, kita pun perlu memperluas cara kita memandang jalan menuju masa depan. Kita perlu melihat lanskap pendidikan yang lebih cair: gabungan antara kuliah, pelatihan daring, kerja freelance, wirausaha, bahkan belajar dari komunitas. Bukan karena kita tidak lagi menghargai institutsi, melainkan karena kita sadar bahwa hidup jauh lebih kompleks daripada jalur linier yang diajarkan sejak kecil. Dan dalam kompleksitas itulah, fleksibilitas dan keberanian untuk terus belajar menjadi kunci yang lebih relevan bagi generasi muda.

 

Pada akhirnya, di tengah semua perubahan ini, saat anak muda memilih "jalan pintas", kita harus menahan kecenderungan untuk menghakimi. Kita tidak perlu buru-buru menyalahkan. Mungkin merekalah yang sedang menunjukkan pada kita: bahwa dunia berubah dan kita semua harus berubah bersama dunia ini. Karena kadang, untuk tiba di tujuan yang baru, kita memang perlu memilih jalan yang tidak biasa.

 

References:

  • World Bank, 2020, Indonesia's Occupational Employment Outlook, 2020 Technical Report.
  • Mona Mourshed, Diana Farrell, Dominic Barton, 2012, Education to Employment: Designing a System that Works, McKinsey Center for Government.
  • Jeffrey Jensen Arnett, Emerging Adulthood: A Theory of Development from The Late Teens Through the Twenties, American Psychologist, 55(5), 2000, 469---480.
  • OECD, 2018, Education 2030: The Future of Education and Skills 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun