Jika konflik antara harapan dan keinginan terasa tidak terelakkan, pendekatan yang paling masuk akal bukanlah berlawanan, tapi menjembatani. Mungkin kita bisa mulai dari menyadari satu hal penting: rasa takut orang tua pada dasarnya bukan bentuk ketidakpercayaan, melainkan ekspresi dari kasih sayang. Mereka bukan tidak percaya pada kita—mereka hanya belum siap mempercayakan hidup kita sepenuhnya kepada keputusan yang belum mereka pahami. Mereka takut kita gagal, takut kita tersest, ataupun takut kita kecewa. Dalam semua ketakutan itu, kadang terbungkus kata-kata yang terdengar menghakimi atau keras. Padahal, yang kita, sebagai anak, butuhkan bukan amarah, tapi empati.
Perlahan kita dapat mulai menunjukkan proses kita. Bukan sekadar janji atau idealisme manis, tapi langkah kecil yang konsisten. Orang tua mungkin tidak langsung percaya pada mimpi yang terdengar asing. Saya percaya, saat kita dapat menunjukkan kesungguhan—entah dalam bentuk kerja nyata, portofolio, tabungan, ataupun hasil lain—mereka akan melihat bahwa keinginan kita bukanlah sekadar keinginan sesaat. Kita sungguh-sungguh ingin berjalan di jalan tersebut dan kita siap bertanggung jawab akan pilihan kita tersebut.
Di sela-sela proses tersebut, kita juga dapat mencoba cari irisan. Kita mungkin tidak dapat memenuhi seluruh ekspektasi orang tua kita. Namun, akan ada nilai-nilai keluarga yang tetap bisa kita pegang. Kalau mereka ingin kita hidup mapan, kita dapat tunjukkan bahwa bidang pilihan kita pun bisa menghasilkan. Kalau mereka ingin kita tetap menjaga nama baik keluarga, kita dapat pastikan bahwa apapun jalan yang kita pilih, etika keluarga tetap kita junjung. Karena seringkali benturan bukan terjadi pada tujuan hidup, tetapi pada cara hidup dan cara pandang. Saat kedua hal tersebut dapat dijembatani, perbedaan pun bisa menjadi kekuatan—bukan penghalang.
Pada akhirnya, tidak semua harapan perlu dipenuhi. Tidak semua keinginan harus dipaksakan. Akan tetapi, jika kedua pihak saling memahami, bukan tidak mungkin akan lahir jalan baru: satu jalur hidup yang kita pilih sendiri, tetapi dengan restu yang menyertainya. Hidup bukanlah tentang memilih antara orang tua atau kita—sebagai anak. Tapi tentang membangun ruang dimana keduanya bisa hadir. Tidak akan ada yang lebih melegakan daripada: kita tetap jadi diri sendiri dan orang tua kita tetap percaya pada kita.
References:
- Diana Baumrind, 1971, Current patterns of parental authority, Developmental Psychology Monographs.
- Hofstede Insights, 2023, Country Comparison: Indonesia, https://www.theculturefactor.com/country-comparison-tool?countries=indonesia
- Erik Erikson, 1968, Identity: Youth and Crisis, W. W. Norton & Co.
- Edward Deci & Richard Ryan, The “what” and “why” of goal pursuits: human needs and the self-determination of behavior, Psychological Inquiry, 11(4), 2000,227—268.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI