Ringkasan Eksekutif
Kebijakan ganjil genap yang diterapkan di Jakarta sebagai pengganti sistem 3 in 1 bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan meningkatkan kelancaran lalu lintas. Meski lebih praktis dari sisi pengawasan karena dukungan teknologi kamera, kebijakan ini belum efektif sepenuhnya. Jakarta tetap mengalami kemacetan parah, bahkan naik menjadi kota ke-7 termacet di dunia pada 2024, dengan rata-rata pengemudi kehilangan waktu hingga 89 jam per tahun akibat macet.
Pertumbuhan kendaraan pribadi yang tidak sebanding dengan kapasitas jalan, serta infrastruktur transportasi publik yang belum memadai, menjadi penyebab utama. Kebijakan ganjil genap juga berdampak negatif pada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan memicu perpindahan kepadatan ke jalan alternatif.
Melalui pendekatan konsultasi publik dan analisis pemangku kepentingan, kajian ini mengusulkan beberapa alternatif kebijakan, termasuk pengetatan regulasi dan pengawasan, penguatan transportasi umum, dan pengembangan infrastruktur. Pengetatan regulasi dinilai paling layak dan efektif, meskipun masih menghadapi tantangan seperti lemahnya sistem pengawasan dan ambiguitas tujuan antara pengurangan kendaraan dan emisi.
Kajian ini merekomendasikan reformasi kebijakan ganjil genap secara holistik, peningkatan teknologi pengawasan, dan penyusunan kebijakan transportasi yang responsif dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Tujuannya adalah menciptakan sistem transportasi yang berkelanjutan, efisien, dan inklusif untuk masa depan Jakarta.
Pendahuluan
Kebijakan 3 in 1 di Jakarta telah digantikan dengan kebijakan ganjil genap. Kebijakan ganjil genap diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 88 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 155 Tahun 2018. Penerapan ganjil genap hanya berlaku pada hari kerja, senin hingga jumat, dan pada jam sibuk pagi (06.00 -- 10.00 WIB) serta sore hingga malam (16.00 -- 21.00 WIB), dengan pengecualian pada akhirv pekan dan hari libur nasional. Kebijkan ini diharapkan dapat menekan volume kendaraan di jalan utama Jakarta sehingga mengurangi kemacetan dan meningkatkan kelancaran arus lalu lintas, namun pada kenyataannya masih banyak arus jalan tetap macet.
Sepanjang tahun 2024 hingga awal 2025, kemacetan lalu lintas di Jakarta semakin memburuk. Berdasarkan Global Traffic Scorecard 2024 dari INRIX, Jakarta naik ke peringkat ketujuh kota termacet di dunia, dari posisi ke-10 pada tahun sebelumnya, dengan pengendara rata-rata kehilangan waktu 89 jam per tahun akibat macet, meningkat 37% dari 65 jam pada 2023. Kecepatan rata-rata berkendara di pusat kota hanya sekitar 20 km/jam, menandakan tingkat kepadatan tinggi. Data TomTom Traffic Index 2024 menunjukkan tingkat kemacetan Jakarta sebesar 43%, dengan waktu tempuh rata-rata 25 menit 31 detik untuk jarak 10 km dan kecepatan rata-rata 23,5 km/jam. Pada jam sibuk, kecepatan turun menjadi 16 km/jam dengan tingkat kemacetan hampir 100%.
Meskipun ada peningkatan penggunaan angkutan umum seperti TransJakarta dan MRT yang melayani sekitar 1,3 juta dan 138 ribu penumpang per hari, kemacetan tetap menjadi masalah utama. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang diperkirakan mencapai 29,15 juta unit pada 2025 jauh melebihi kapasitas jalan yang hampir stagnan, sehingga memperparah kemacetan dan berdampak luas pada kehidupan di ibu kota.
Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada fokus pengaturannya. 3 in 1 mengatur berdasarkan jumlah penumpang dalam kendaraan, sedangkan ganjil genap mengatur berdasarkan nomor plat kendaraan. Dari segi pengawasan, kebijakan ganjil genap lebih praktis dan efektif karena pengawasannya didukung teknologi kamera, sementara 3 in 1 membutuhkan pemeriksaan langsung terhadap jumlah penumpang yang cenderung lebih rumit dan rawan pelanggaran. Kebijakan ganjil genap mengatur kendaraan berdasarkan nomor akhir pelat nomor apakah ganjil atau genap dan disesuaikan dengan tanggal kalender. Tujuannya adalah membatasi jumlah kendaraan yang melintas di jalan-jalan utama ibu kota pada waktu-waktu tertentu. Pada akhirnya, kebijakan ganjil genap lebih banyak diterapkan karena kemudahan pengawasan dan efektivitasnya dalam mengurangi kemacetan dibandingkan kebijakan 3 in 1.