Penantian panjang pesta demokrasi pemilih kepala desa (Pilkades) yang berlangsung secara serentak tanggal 30 Oktober 2019 hampir tiba takallah momentum lima tahunan yang diÂ
nantikan itu telah di ambang pintu. Semarak penantian masyarakat desa bukanlah suatu tanpa alasan sebab merekalah yang memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan sikap politiknya untuk memilih siapa yang layak di daulat menjadi pemimpin tertinggi di lingkup pemerintah tingkat bawah tersebut.
Kabupaten Manggarai Timur provinsi Nusa Tenggara Timur juga menjadi bagian dari kabupaten peserta "demokrasi lokal" tingkat desa itu yang juga turut melaksanakan momentum politik pilkades lima tahunan tersebut.
Di lansir dari kantor berita https://kupang.tribunnews.com/ 8/9/2019, sebanyak 68 desa yang tersebar di 5 (lima) kecamatan masing-masing kecamatan Borong sebanyak 8 desa, kecamatan Poco Ranaka 5 desa, kecamatan Lamba Leda 15 desa, kecamatan Sambi Rampas 4 desa, kecamatan Elar 6 desa, kecamatan Rana Mese 9 desa, kecamatan Kota Komba 7 desa dan kecamatan Elar Selatan 10 desa akan menyelenggarakan pemilihan kepala desa serentak 30/10/2019.
Ulasan singkat dalam tulisan ini, tidak bermaksud menggiring opini publik "untuk" memilih salah satu kandidat calon kepala desa, tetapi lebih berorientasi untuk membagi "kesepahaman" tentang "menuju kemaslahatan bersama" sebagai tujuan utama/orientasi mulia dari sebuah pencalonan kades yang bukan hanya di pandang sebagai cara untuk memperoleh kekuasaan/jabatan politik semata.
Sebuah amanah
Memanggul amanah/kepercayaan dari rakyat, bukanlah suatu perkara muda sebab kepercayaan itu mesti di "manifestasikan" melalui bentuk tindakan nyata lewat program kerja yang terukur, efektif berkelanjutan serta dapat di pertanggungjawabkan.
Di satu sisi kepercayaan itu boleh di pandang sebagai "simbol" kekuasaan, namun di sisi yang lain jabatan atau kepercayaan itu juga harus di maknai sebagai "ilham" yang besar.
Meminjam perspektif teologi mengenai ilham, "jabatan politik" dapat di maknai sebagai petunjuk serta jalan yang benar dari Tuhan Yang Maha Agung yang telah meletakan kepercayaan besar-Nya pada seorang anak manusia melalui rakyat (pemilih) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang telah di atur dalam konsensus demokrasi secara langsung.Â
Demikian juga halnya dengan rakyat sebagai wajib pilih, keterlibatannya secara langsung dalam memilih pemimpinya, tidak hanya di maknai sebagai bentuk pengejawantahan hak dan kewajiban sebagai warga negara namun lebih dari itu mesti di maknai sebagai bentuk panggilan serta tanggung jawab moral sebagai bagian dari social commonities (komunitas sosial) di desa.Â
Wujud lain dari tanggung jawab moral tersebut dapat dilihat dengan cara menciptakan pilkades (pemilihan kepala desa) yang penuh damai, menghindari politik uang serta sikap adu domba yang bertujuan menciptakan konflik dan perpecahan di tengah masyarakat.
Tanggung jawab
Kata "bukan" kepala dosa dalam tulisan ini, menjadi perhatian serius karena dengan demikian berimplikasi pada unsur semantik (makna kata). Jika merujuk pada kalimat