Mohon tunggu...
Reis Rivaldo R
Reis Rivaldo R Mohon Tunggu... Freelancer - MIND SHAPES YOU AND WORDS REPRESENT YOU

Mhs. Hubungan Internasional ak. 2017. Membuka diri untuk menerima kritik, masukan, dan arahan dari teman-teman pegiat literasi, akademisi, aktivis, kaum rebahan, personil militer aktif, seniman, influencer, dan pemangku kebijakan. Berniat untuk berbagi ilmu dan bertukar pikiran ? @reisaldo.r

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etika & Akuntabilitas Pejabat Publik di Inggris

20 Desember 2023   09:52 Diperbarui: 7 Januari 2024   23:22 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.theatlantic.com, www.ft.com, www.hrgrapevine.com, 

Proses agenda publik yang pernah ramai diperbincangkan Warga Negara Inggris bahkan pemberitaanya diikuti oleh masyarakat internasional lainnya adalah kasus BREXIT. BREXIT adalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE), yang secara resmi terjadi pada tanggal 31 Januari 2020. Istilah Brexit merupakan singkatan dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE). Keputusan pemerintah Inggris keluar dari Uni Eropa bukanlah perkara ringan. Di samping itu pilihan hengkangnya Inggris dari Uni Eropa bukan semata karena opsi pragmatis atau ambisi politis para elit Inggris melainkan kebijakan ini adalah output dari akomodasi kehendak rakyat Inggris, baik yang ada di kawasan inti daratan Inggris sampai mencakup hasil pemilihan dari rakyat negara-negara persemakmuran Inggris; Skotlandia, Wales, dan Irlandia.

Pemerintah Inggris menyadari bahwa langkah strategis yang diambil ini adalah suatu tindakan yang menentukan nasib masa depan bangsa mereka. Maka dalam pengambilan keputusan keluarnya Inggris dari organisasi supranasional tersebut tidak singkat dan memakan waktu bertahun-tahun hingga akhirnya dapat teralisasi sesuai dengan kehendak rakyat. Jika menilik ke belakang tentang sejarah Inggris bergabung di Uni Eropa, Brexit sebenarnya adalah suatu peristiwa administrasi negara yang bersejarah dan dramatis, khususnya bagi warga Inggris. Berdasarkan sejarah awal mula Inggris berafiliasi ke Uni Eropa menerangkan bergabungnya Inggris ke dalam barisan UE ternyata penuh lika-liku terhitung sejak tahun 1961 hingga di awal 1973. Inggris pertama kali mengajukan proposal bergabung ke Uni Eropa tahun 1961. Proposal menjadi bagian dari Uni Eropa pada tahun ini mendapat penolakan dari Prancis karena alasan kekhawatiran persaingan ekonomi terbuka. Kedua pada tahun 1966, Perdana Menteri Harold Wilson kembali berusaha agar negaranya dapat diterima di kerjasama Uni Eropa, namun sayangnya Prancis melakukan veto penolakan lagi. Kali ini karena faktor hubugan khusus keamanan-militer dua negara tersebut dengan Amerika Serikat. Beberapa tahun berselang, tepat pada 01 Januari 1973, Inggris akhirnya disetujui oleh Dewan Uni Eropa menjadi bagian dari Uni Eropa. Sebuah proses yang penuh tantangan meskipun pada akhirnya, kini Inggris tetap menyatakan keluar dari Uni Eropa setelah hampir setengah abad Inggris mesra dengan negara-negara Eropa anggota organisasi kerjasama kawasan itu.

 Kondisi dalam negeri Inggris pada saat penentuan keluar atau tidak dari Uni Eropa sebagaimana yang juga digambarkan di paragraf sebelumnya bahwa erat kaitannya dengan partisipasi publik. Pemerintah memenuhi hak dasar negara Inggris yaitu dalam aspek demokrasi (democracy) ketika berhadapan dengan situasi negara yang sangat penting. Para pejabat publik eksekutif yakni Perdana Menteri Inggris mengajak seluruh elemen masyarakat Inggris yang telah berusia 18 tahun atau lebih untuk ikut berpartisipasi aktif dalam determinasi arah pendirian negara mereka. Nilai democracy bagi Inggris termanifestasi dalam bentuk kepemimpinan yang akuntabel. Akuntabel terjadi karena adanya relasi antara etika (mengetahui mana yang lebih pantas dilakukan) dan administrasi pemerintah yang baik. Pejabat publik di Inggris telah menjadi figur yang beretika terhadap rakyat dalam pengambilan keputusan. Ketika suatu urusan nasional yang efeknya dirasakan seluruh masyarakat di negara yang bersangkutan maka diperlukan mekanisme pengambilan kebijakan yang terbuka untuk publik, tidak hanya diputuskan melalui sekelompok orang elit/pemegang kekuasaan. 

Brexit sebagai output kebijakan pemerintah Inggris merupakan bagian dari praktik etika publik di Inggris yang disebut dengan individual liberty. Individual Liberty berarti kebebasan hak individu dalam melakukan sesuatu sesuai yang ia kehendaki di luar kontrol atau dikte pemerintah. Nilai ini memiliki syarat yakni selama tidak melanggar hak orang lain dan tetap dalam koridor aturan, negara senantiasa menjamin hak orang-orang Inggris seperti ke mana seseorang akan bepergian, dengan siapa ia berhimpun, memiliki ruang mengekspresikan pendapat, serta melakukan voting secara bebas tanpa ada tekanan eksternal (pemerintah atau aparatur negara). Nilai dasar etika ini secara praktik berlangsung ideal ketika bangsa Inggris mendapati diri mereka untuk memilih apakah Britania Raya yang meliputi Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales tetap menjadi anggota Uni Eropa atau memutus relasi dengan organisasi UE. Karena itu, referendum bangsa Inggris pada tanggal 23 Juni 2016 membuahkan keputusan dari hasil pemungutan suara yaitu sebanyak 17,410,742 suara menyatakan keluar (leave) dari Uni Eropa dan 16,141,241 orang atau 48,1% suara berada di pilihan bertahan dengan Uni Eropa (remain). Lebih dari 50% suara kolektif rakyat Britania Raya memilih keluar dari Uni Eropa maka berarti Inggris berdasarkan kehendak rakyat tanpa adanya upaya koersif dari pemerintah (individual liberty & democracy values) dinyatakan mengundurkan diri dari asosiasi negara-negara Eropa setelah lebih dari 50 tahun duduk bersama.

Paska referendum, Inggris tidak serta-merta langsung angkat kaki dari Uni Eropa. Ada serangkaian proses administratif ketat hingga Inggris benar-benar tidak lagi terdaftar di Uni Eropa. Di satu sisi, sikon internal Inggris sempat mengalami turbulensi ekonomi dan tekanan UE melalui skema perjanjian dan kesepakatan. Saking beratnya isu ini, Perdana Menteri yang menjabat pada masa-masa itu sempat berganti 2 kali karena merasa tidak cukup siap menangani imbas Brexit. Dinamika paska referendum ialah, Brexit sebagai kehendak rakyat tapi di satu sisi lain memunculkan persoalan geopolitik dan ekonomi kawasan. Hal ini yang menjadi tekanan tersendiri bagi para Perdana Menteri Inggris. Pengunduran diri dari jabatan menandakan bahwa para pejabat tinggi di Inggris memiliki integritas dan komitmen akuntabilitas terhadap amanat rakyat, tidak hanya sekedar mengamankan kekuasaanya saja.

Meskipun kampanye Brexit diinisiasi pada era PM. David Cameron, ternyata dirinya kemudian mengundurkan diri tidak lama setelah referendum. Theresa May menggantikan Cameron yang kemudian juga resign di tahun 2019. Akhirnya PM. Bhoris Jhonsin sebagai suksesor Theresa May berhasil membawa Inggris keluar dari Uni Eropa secara formil pada tahun 2020.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun