Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Riwayat Seks dan Sakralitas Persetujuan di Nusantara

23 September 2020   12:31 Diperbarui: 23 September 2020   21:15 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief Cerita Panji di Candi Penataran (Koleksi Chronicles of Indonesian Archipelago, 2019)

Satu minggu yang lalu (13 September 2020), beredar video yang menampilkan anggota legislatif Republik Indonesia, Almuzzammil Yusuf, memberikan tanggapan terhadap pakta integritas dan pendidikan pencegahan kekerasan seksual---yang disebutnya sebagai pendidikan sexual consent---di dalam orientasi mahasiswa baru Universitas Indonesia (UI).

Yusuf menyebut bahwa materi yang diajarkan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI (Puska Genseks) tersebut tidak sesuai dengan nilai keagamaan dan nilai kultural masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut, Yusuf secara terang menyetarakan kandungan pendidikan kekerasan seksual tersebut dengan model seks bebas (free sex).

Setelah saya menyaksikan tuntas materi yang diberikan UI serta mengikuti berbagai diskusi kolega saya di UI tentang hal ini, simpulan Yusuf tersebut jelas sangat jauh dari kenyataan.

Namun demikian, pernyataan Yusuf dapat berlaku sebagai pemantik diskusi yang baik untuk mengemukakan latar belakang kultural dan sejarah seksualitas di Nusantara.

Apakah latar belakang sejarah dan kebudayaan kepulauan ini tidak sesuai dengan azas 'persetujuan' seperti yang dikampanyekan oleh UI?

Pertama-tama, orang-orang di Indonesia dan belahan dunia lainnya seringkali terjebak dalam upaya generalisasi ketika mengungkapkan konsep atau aspek yang berkaitan dengan kebudayaan.

Di tengah masyarakat Indonesia sendiri, seringkali fenomena atau perilaku yang tidak dimengerti oleh seseorang dan tidak disetujui olehnya dianggap bukan bagian dari budaya di wilayahnya. Mulai dari perempuan yang pulang larut malam, orang yang berpakaian terbuka, hingga anjing yang mondar-mandir di suatu perkampungan pernah dilabeli sebagai hal yang 'tidak sesuai dengan budaya timur'.

Pada titik ini, kita perlu bertanya dengan kritis tentang apa yang sebenarnya dimaksud sebagai budaya timur---demikian juga dalam kasus Yusuf di atas, apa yang dimaksud dengan nilai kultural Indonesia.

Dalam kategorisasi pemikiran, pemikiran atau filsafat timur adalah pemikiran yang muncul dari pusat-pusat kebudayaan di Asia bagian timur dan selatan (India dan Cina beserta pemikiran turunannya). Sedangkan pemikiran Samawi atau Abrahamik (Yahudi, Islam, Kristiani, dan turunannya) tidak termasuk dalam golongan filsafat timur itu. Sedangkan, kesatuan geobudaya timur mencakup seluruh Asia, termasuk Timur Tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun