Jakarta, 16 Oktober 2025
Di era digital yang serba cepat seperti sekarang, masyarakat begitu mudah berpendapat, berkomentar, bahkan menghakimi sesuatu yang belum tentu dipahaminya secara utuh. Satu video singkat atau potongan informasi di media sosial bisa langsung memantik perdebatan dan penilaian. Sayangnya, hal ini juga sering terjadi terhadap dunia pesantren---sebuah ruang pendidikan yang seharusnya dihormati, bukan disalahpahami.
Pesantren sering kali dinilai hanya dari tampilan luarnya. Padahal, di balik dinding sederhana dan rutinitas harian para santri, tersimpan nilai-nilai luhur yang telah berabad-abad menjaga moral bangsa. Pesantren bukan sekadar tempat belajar ilmu agama; ia adalah rumah pembentukan karakter, tempat tumbuhnya adab, kedisiplinan, dan ketulusan dalam berilmu.
Budaya yang hidup di pesantren tidak lahir begitu saja. Ia terbentuk dari keseimbangan antara ilmu, amal, dan akhlak. Setiap tindakan santri---dari cara mereka berbicara kepada guru, menyapa sesama, hingga menjaga kebersihan lingkungan---mengandung makna mendalam tentang keikhlasan dan tanggung jawab. Dalam kitab-kitab klasik seperti Ta'lim al-Muta'allim, Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, dan Bidayatul Hidayah, para ulama menegaskan bahwa ilmu tanpa adab tidak akan memberi manfaat.
Oleh karena itu, para santri dididik bukan hanya untuk menjadi cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral. Mereka belajar untuk menundukkan hati, menjaga lisan, dan menumbuhkan rasa hormat kepada guru. Inilah ruh pendidikan pesantren: membentuk manusia yang berilmu sekaligus beradab.
Sebagai seseorang yang tidak berlatar belakang santri, saya pribadi merasa tidak rela ketika pesantren atau para kiai dihina, diremehkan, bahkan disalahpahami. Para kiai adalah penjaga moral dan penjaga peradaban bangsa ini. Jika suatu hari tidak ada lagi sosok ulama di tengah masyarakat, mungkin arah bangsa akan goyah. Sebab, ilmu agama adalah kompas kehidupan. Tanpa nilai spiritual dan moral, kemajuan teknologi dan kebebasan berekspresi hanya akan menjadi kosong tanpa arah.
Di tengah derasnya arus digitalisasi, Kopri PMII DKI Jakarta memandang penting untuk terus meluruskan persepsi publik terhadap pesantren. Budaya pesantren bukanlah sekadar tradisi turun-temurun, melainkan sistem pendidikan yang memuliakan ilmu dan menjunjung tinggi adab. Dalam kehidupan modern yang serba individualistis, nilai-nilai ini menjadi oase spiritual yang mengajarkan keikhlasan, kebersamaan, dan ketundukan kepada Allah SWT.
Sebelum kita mengomentari sesuatu tentang pesantren, marilah kita berusaha memahami lebih dalam filosofi yang terkandung di dalamnya. Menghormati bukan berarti harus setuju dalam segala hal, melainkan mengakui bahwa setiap ruang memiliki kearifan dan jalan yang berbeda. Dari pesantren, kita belajar bahwa adab adalah ruh dari ilmu, dan sopan santun adalah puncak kecerdasan spiritual.
Akhirnya, tulisan ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih berhati-hati dalam menulis dan berkomentar di ruang digital. Setiap kata yang kita unggah mencerminkan adab dan kepribadian kita sendiri. Menghormati ulama dan pesantren berarti menjaga sumber nilai yang selama ini menjadi benteng moral bangsa.
Mari kita melihat pesantren bukan dengan prasangka, melainkan dengan rasa hormat dan pemahaman. Sebab dari pesantrenlah, kita belajar makna sejati pendidikan---yakni pendidikan yang menumbuhkan akal, hati, dan budi.