Mohon tunggu...
Rein Renaldi
Rein Renaldi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Membuka (Kembali) Kasus Pajak BCA

11 Mei 2015   13:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atas transaksi peralihan aset NPL dan injeksi obligasi rekap inilah lantas timbul implikasi perpajakannya, sebagaimana yang dialami BCA waktu itu. Sebelum BCA menjadi BTO, pada 1998 BCA mengalami kerugian fiskal Rp29,2 triliun akibat krisis ekonomi. Dan sesuai UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan, Keputusan Menteri Keuangan No. 117/1999 dan Keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 31/1999, BCA dapat menggunakan kerugian fiskal tersebut sebagai kerugian yang dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahun pajak berikutnya sampai dengan 5 tahun berikutnya.

Selanjutnya sejak 1999, BCA melaporkan laba fiskal 1999 tercatat Rp174 miliar. Namun, berdasarkan pemeriksaan pajak yang dilakukan pada 2002, Ditjen Pajak (DJP) melalui Direktur PPh mengoreksi laba fiskal BCA pada 1999 tersebut dari Rp174 miliar menjadi Rp6,78 triliun. Di dalam koreksi laba fiskal tersebut terdapat sekitar Rp5,77 triliun yang oleh BCA disebutkan sebagai aset NPL yang dialihkan ke BPPN melalui transaksi Jual Beli. Menurut BCA, karena aset NPL sudah berada di BPPN, segala hak yang timbul dari aset NPL tersebut, semestinya menjadi kewenangan BPPN termasuk hasil recovery atas aset tersebut. Pada 2003, terdapat agunan yang berhasil ditagih sebesar Rp3,29 triliun dan seluruh hasil penjualan tersebut menjadi milik BPPN. Sehingga, menurut BCA, karena hasil recovery asset tersebut masuk ke BPPN, maka tak ada PPh yang harus dibayar oleh BCA.

Di sisi lain, pihak pemeriksa pajak DJP berpendapat bahwa transaksi aset senilai Rp5,77 triliun tersebut sebagai dianggap penghapusan piutang macet. Sehingga, hasil dari recovery asset seharusnya dicatatkan sebagai penghasilan dan karenanya BCA dianggap memiliki utang pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, DJP mengirimkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) kepada BCA. BCA lantas mengajukan keberatan kepada DJP atas koreksi laba fiskal tersebut.

Perbedaan sudut pandang antara BCA dan DJP terkait dengan koreksi laba fiskal tersebut juga telah melalui proses di Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak diberitakan telah menerima banding yang diajukan oleh BCA tersebut (Hukum Online, 15 Mei 2007). Selanjutnya, Dirjen Pajak telah menerbitkan penetapan sebagai pelaksanaan putusan pengadilan tersebut dan dinyatakan dalam SK No. KEP-870/PJ.44/2004 tanggal 18 Juni 2004.

Dalam perkembangannya, DJP ternyata membawa kasus pajak BCA ini ke Mahkamah Agung/MA (Hukum Online, 15 Mei 2007). Keputusan untuk membawa kasus pajak BCA ke MA ini sesungguhnya juga menjadi tafsir bahwa DJP sejatinya tidak bisa menerima seluruh keputusan yang telah dihasilkan oleh Pengadilan Pajak saat itu dan juga telah ditetapkan oleh Dirjen Pajak (tahun 2004). Sayangnya, hingga saat ini, kita belum memperoleh informasi terkait dengan hasil dari keputusan MA atas kasus pajak BCA tersebut.

***

Berdasarkan kronologis di atas, terlihat sekali bahwa kasus pajak BCA ini bermula karena adanya tafsir yang berbeda terkait dengan status dan perlakuan terhadap suatu aset bank BTO. Perbedaan tafsir ini, tidak hanya terjadi antara DJP (selaku fiskus) dengan wajib pajak (dalam hal ini BCA), tetapi di internal DJP sendiri terjadi perbedaan, baik antara Dirjen Pajak Hadi Purnomo dengan Direktur PPh saat itu, maupun antara Dirjen Hadi Purnomo dengan penggantinya Darmin Nasution. DJP dalam hal ini sesungguhnya telah cukup bijak dalam mencari solusi untuk memecahkan kebuntuan atas kasus pajak BCA ini dengan membawanya ke MA. Dan keputusan MA inilah yang akan menjadi wasit yang paling akhir dalam menentukan status pajak BCA tersebut.

Saya berpendapat bahwa meskipun dalam kasus pajak ini, negara berpotensi dirugikan karena hilangnya penerimaan pajak, namun kasus pajak BCA ini adalah murni karena sengketa pajak dan terjadi karena adanya perbedaan tafsir. Kerugian negara tentunya tidak akan terjadi manakala sudah ada putusan MA yang mengikat terkait dengan status pajak BCA tersebut. Dengan demikian, kalau kemudian KPK menetapkan mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo sebagai tersangka, mungkin KPK memiliki bukti-bukti lain yang menguatkan bahwa kasus pajak BCA ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

Dalam hal ini, saya tidak bisa menduga-duga dibalik kasus ini. Kita semua harus menghormati proses hukum, baik proses hukum terkait sengketa pajak yang kabarnya sudah ada di MA maupun kasus pidana korupsinya yang kini ditangani oleh KPK. ***

Pertanyaan saya: mengapa kedua orang yang terbilang mumpuni ini memiliki pendapat yang sama terhadap persoalan pajak BCA ini? Saya yakin, seribu pakar perpajakan akan mengatakan hal yang sama terhadap kasus pajak BCA ini.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun