Mohon tunggu...
Rein Renaldi
Rein Renaldi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengurai Persoalan Kasus Pajak BCA

8 Mei 2015   17:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:15 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul tulisan ini saya jiplak utuh dari tulisan Prianto Budi Saptono, Pengurus Pusat Ikatan Akuntan Indonesia di Harian Ekonomi Kontan pada 18 Mei 2014. Sengaja saya jipplak judul ini tanpa mengubah apapun karena saya tidak ingin mengubah makna dan isi dari tulisan Prianto Budi Saptono sedikit pun.

Mengigat kasus pajak BCA yang melibatkan mantan Ketua BPK Hadi Poernomo dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Pajak saat kasus ini terjadi, saya sendiri tidak memiliki kapasitas yang mumpuni mengomentasi atau menambah sedikit pun keruh masalah ini.

Bagi saya yang awam, kasus ini pelik karena terbilang merupakan kasus pajak yang sangat teknis, seperti seorang mekanik andal membongkar sebuah mesin mobil.

Daripada memperkeruh, saya ingin menyajikan secara utuh tulisan Prianto Budi Saptono agar kita semua dapat mencermati masalah ini pada ranahnya dan tidak dibawa-bawa pada persoalan politik, atau apapun kepentingannya.

Bagi saya, tulisan Prianto Budi Saptono sangat bisa menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya terkait kasus pajak BCA yang bagi saya - setelah membaca tulisan ini - tidak lebih adalah sebuah SENGKETA PAJAK. Yakni Sengketa pajak antara Konsultan pajak BCA versus pemeriksa pajak Ditjen Pajak.

Dalam Sengketa ini, Hadi Poernomo sebagai pihak yang berwewenang, dengan kebijakannya, akan berdiri di tengah untuk memutuskan.

Begini seutuhnya tulisan Prianto Budi Saptono dan persoalan SENGKETA PAJAK BCA ini:

Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April 2014. HP diduga berperan ubah keputusan penolakan keberatan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk kewajiban pada 1999. Tulisan ini lebih fokus pada bagaimana persepsi terjadi antara Ditjen Pajak (DJP) dan BCA. Tulisan ini juga tak bermaksud mempengaruhi proses hukum di KPK.

Awal mula sengketa pajak ini dimulai saat DJP menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) No PRIN-327/PJ.701/2002 untuk BCA. PAda akhir pemeriksaan, masih ada 10 item koreksi yang BCA tak setuju, lalu terbit Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Penghasilan (SKPN PPh) Badan. Di dalam SKPN tersebut, laba fiskal BCA sebesar Rp174 miliar, sedangkan menurut DJP Rp6,7 triliun. Jadi total koreksi fiskalnya sebesar Rp6,6 triliun.

Dari 10 item koreksi, ada tiga koreksi senilai Rp5,77 triliun yang menjadi fokus BCA pada proses keberatannya. Koreksi pertama, pemeriksa anggap penyisihan tahun lalu yang telah dibukukan sebagai biaya harus dijadikan sebagai penghasilan (Rp5,59 triliun). Kedua, penyisihan rugi tahun lalu karena barang jaminan dianggap pemeriksa sebagai penghasilan operasional (Rp31,48 miliar). Ketiga, terkait biaya penghapusan piutang tak tertagih (piutang macet) yang menurut pemeriksa tidak boleh dikurangkan sebesar Rp149,6 miliar. Ketiga koreksi ini berkaitan Non-Performing Loan (NPL).

DJP mengacu koreksi NPL pada Keputusan Menteri Keuangan (KepMenkeu) No 130/KMK.04/1998. KepMenkeu tersebut di antanya mengatur bahwa piutang macet untuk bank dapat sebagai biaya sepanjang penuhi 4 syarat kumulatif. Pertama, piutang macet telah dibebankan sebagai kerugian perusahaan dalam Laporan Keuangan Komersial. Kedua, nama debitur dan jumlah piutang macet diserahkan kepada Pengadilan Negeri/Bacan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), Ketiga, daftar nama debitur diumumkan dalam suatu penerbitan. Keempat, Wajib Pajak serahkan DAftar Piutang Macet Yang Dihapuskan yang mencantunkan nama, alamat, NPWP dan jumlahnya, serta dokumen lain yang dipandang perlu oleh Ditjen Pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun