Manuel Castells berpendapat bahwa teknologi digital memungkinkan terjadinya komunikasi yang cepat dan langsung, melampaui batas-batas geografis dan sosial. Dalam konteks dakwah Gus Miftah, media sosial menciptakan komunitas keagamaan virtual yang lebih inklusif, di mana audiens dapat berinteraksi langsung dengan ustaz selebriti meskipun berada di lokasi yang berbeda. Hal ini memperkuat solidaritas sosial di kalangan pengikut Gus Miftah, yang merasa lebih dekat dengan ajaran agama yang disampaikannya. Media sosial menjadi ruang untuk berbagi pengalaman, diskusi keagamaan, dan penguatan komunitas yang dapat mendukung identitas keagamaan mereka. Ini juga memungkinkan audiens untuk mengakses dakwah Gus Miftah kapan saja dan di mana saja, meningkatkan aksesibilitas dakwah dan memperluas jangkauan pesan agama secara lebih cepat.
Dengan kombinasi teori-teori ini, kita dapat melihat bahwa dakwah Gus Miftah di media sosial bukan hanya tentang penyampaian pesan agama, tetapi juga tentang bagaimana agama diposisikan sebagai bagian dari komoditas budaya, dibentuk oleh komunikasi digital, dan diintegrasikan dalam kehidupan kontekstual dan modern generasi muda. Fenomena ini mencerminkan dinamika yang terjadi dalam penyampaian ajaran agama di era digital, yang tidak hanya mengubah cara dakwah disampaikan tetapi juga bagaimana agama dipandang, diterima, dan dipraktikkan dalam masyarakat yang semakin terkoneksi secara digital.
III. Pembahasan
Kontroversi Gus Miftah di Media Sosial
Gus Miftah, dengan gaya dakwahnya yang santai, humoris, dan sering kali menggunakan bahasa sehari-hari, telah menarik perhatian jutaan pengikut di media sosial. Pendekatan ini membuatnya mudah diterima oleh generasi muda yang sering kali merasa bahwa dakwah tradisional terkesan terlalu formal dan kurang relevan dengan kehidupan mereka. Namun, gaya tersebut juga menempatkannya dalam pusaran kritik yang tajam dari berbagai kalangan, baik yang berasal dari dalam maupun luar komunitas Muslim. Salah satu isu yang menjadi pusat kontroversi adalah penggunaan kata-kata yang dianggap tidak pantas atau kasar dalam beberapa ceramahnya. Ceramah yang semula ditujukan untuk menyampaikan nilai-nilai Islam justru mendapat sorotan negatif karena dianggap tidak mencerminkan akhlak seorang ustaz. Kritik datang dari kelompok yang lebih konservatif, yang berpendapat bahwa seorang pendakwah harus menggunakan bahasa yang santun dan sesuai dengan adab Islam. Penggunaan istilah atau frasa yang kasar dinilai dapat merusak citra Islam sebagai agama yang mengedepankan akhlak mulia. Selain itu, Gus Miftah juga menghadapi kritik karena pendekatannya yang dianggap terlalu mengikuti tren media sosial. Dalam upaya menjangkau generasi muda, ia kerap memanfaatkan platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok untuk menyampaikan dakwah. Meskipun pendekatan ini efektif dalam meningkatkan jangkauan dan keterlibatan audiens, beberapa pihak menilai bahwa metode ini terlalu dangkal karena lebih berfokus pada aspek viralitas daripada kedalaman substansi agama. Kritik ini muncul terutama dari mereka yang merasa bahwa dakwah digital sering kali hanya menyentuh permukaan tanpa membahas inti ajaran Islam secara komprehensif. Lebih jauh lagi, kritik terhadap Gus Miftah juga mencerminkan pergeseran ekspektasi terhadap figur keagamaan di era digital. Sebagai ustaz selebriti, Gus Miftah berada di posisi yang sulit: di satu sisi, ia dituntut untuk menarik perhatian generasi muda dengan konten yang relevan dan menarik, sementara di sisi lain, ia juga harus mempertahankan otoritas keagamaan dan kredibilitasnya di mata masyarakat yang lebih konservatif. Kontroversi ini menunjukkan adanya ketegangan antara modernitas dan tradisi dalam praktik dakwah. Namun, di balik kritik tersebut, banyak yang memuji Gus Miftah atas keberaniannya membawa dakwah ke ranah yang lebih inklusif dan terjangkau. Pendekatan yang ia gunakan telah berhasil menjangkau audiens yang mungkin sulit dijangkau melalui metode dakwah tradisional, seperti kaum muda yang lebih terhubung dengan dunia digital. Gus Miftah juga kerap mengangkat isu-isu sosial yang relevan, seperti pentingnya toleransi beragama, hubungan antarmanusia, dan keadilan sosial, yang membuatnya menjadi figur yang disukai oleh banyak orang dari berbagai latar belakang. Kontroversi Gus Miftah di media sosial bukan hanya tentang gaya dakwahnya, tetapi juga mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam dakwah di era digital. Media sosial menawarkan peluang besar untuk menjangkau audiens yang lebih luas, tetapi juga membawa risiko dalam hal bagaimana pesan diterima dan diinterpretasikan. Dengan pendekatan yang santai dan viral, Gus Miftah harus terus berupaya menemukan keseimbangan antara relevansi konten dengan kedalaman substansi, sambil tetap menjaga otoritas moral dan keagamaan sebagai seorang ustaz. Dengan demikian, Gus Miftah tidak hanya menjadi simbol transformasi dakwah di era digital, tetapi juga mencerminkan kompleksitas interaksi antara agama, media, dan masyarakat modern. Kontroversi yang mengelilinginya adalah gambaran dari dinamika sosial yang sedang berlangsung, di mana figur agama harus menavigasi  dunia yang semakin terkoneksi secara digital, namun tetap sarat dengan harapan tradisional yang melekat pada peran mereka. Dampak Dakwah Digital Gus Miftah
Meskipun dakwah digital Gus Miftah sering kali menuai kontroversi, tidak dapat disangkal bahwa pendekatan ini juga membawa berbagai dampak positif, terutama dalam konteks masyarakat modern yang semakin terhubung secara digital. Salah satu dampak yang paling menonjol adalah kemampuannya untuk menjangkau audiens yang lebih luas, terutama generasi muda yang selama ini sulit dijangkau melalui metode dakwah tradisional. Dengan gaya yang santai, konten yang relevan, serta penggunaan platform digital seperti YouTube, Instagram, dan TikTok, Gus Miftah berhasil menjadikan dakwah lebih menarik dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Melalui dakwah digital, Gus Miftah memberikan aksesibilitas yang lebih besar bagi audiens untuk mendapatkan pesan-pesan keagamaan. Generasi muda yang sering kali sibuk atau tidak memiliki waktu untuk menghadiri pengajian secara fisik kini dapat dengan mudah mengakses dakwah dari perangkat mereka, kapan saja dan di mana saja. Hal ini sangat membantu mereka yang tinggal di wilayah yang jauh dari pusat kegiatan keagamaan atau yang merasa kurang nyaman dengan format dakwah tradisional yang cenderung lebih formal. Konten yang disajikan dalam bentuk video pendek, ceramah daring, atau unggahan inspiratif memungkinkan audiens untuk menyerap pesan agama secara lebih fleksibel, sesuai dengan ritme kehidupan mereka. Selain itu, dakwah digital yang dilakukan Gus Miftah berhasil menciptakan komunitas virtual yang lebih erat di kalangan pengikutnya. Media sosial tidak hanya menjadi saluran untuk menyampaikan pesan, tetapi juga menjadi ruang interaksi di mana pengikut Gus Miftah dapat berdiskusi, bertanya, atau berbagi pengalaman secara langsung. Misalnya, dalam sesi live streaming, Gus Miftah sering menjawab pertanyaan dari audiens tentang berbagai isu kehidupan dan agama. Interaksi semacam ini memperkuat rasa kebersamaan dalam komunitas keagamaan virtual, menciptakan hubungan yang lebih inklusif dan dinamis antara ustaz dan pengikutnya. Keberhasilan Gus Miftah dalam menciptakan ruang diskusi yang terbuka ini juga memberikan peluang untuk memperluas perspektif keagamaan. Audiens tidak hanya mendengarkan ceramah satu arah, tetapi juga dapat menyampaikan pandangan mereka, yang pada gilirannya dapat membuka dialog yang lebih luas tentang nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ini menciptakan dinamika yang berbeda dari dakwah tradisional, di mana ustaz sering kali menjadi satu-satunya sumber otoritas. Melalui dakwah digital, Gus Miftah menunjukkan bahwa agama dapat menjadi ruang yang inklusif dan responsif terhadap tantangan serta kebutuhan zaman. Lebih jauh lagi, dakwah digital Gus Miftah juga mampu menormalkan keberadaan agama dalam kehidupan modern. Dengan menggunakan bahasa gaul, menyentuh isu-isu sosial yang relevan, dan memanfaatkan elemen budaya populer, Gus Miftah berhasil menunjukkan bahwa Islam dapat selaras dengan gaya hidup kontemporer tanpa kehilangan esensinya. Hal ini memberikan inspirasi bagi generasi muda untuk mengekspresikan identitas keagamaan mereka di ruang publik digital, seperti melalui unggahan bertema Islami atau penggunaan kutipan Al-Qur'an dalam profil media sosial mereka. Secara keseluruhan, dampak positif dakwah digital Gus Miftah tidak hanya terlihat dari jangkauan audiens yang lebih luas tetapi juga dari bagaimana ia mampu memperkuat hubungan sosial dan memfasilitasi dialog yang lebih inklusif dalam komunitas virtual. Dengan menciptakan lingkungan di mana agama dapat diakses, dipahami, dan dibahas secara lebih terbuka, Gus Miftah berkontribusi pada transformasi cara agama dipraktikkan dan dipahami dalam era digital. Meski tetap ada tantangan dan kritik, dampak positif ini menegaskan peran media sosial sebagai alat yang kuat dalam menghubungkan agama dengan masyarakat modern. Polarisasi dan Kontroversi dalam Dakwah Digital. Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh Gus Miftah dalam dakwah digitalnya adalah fenomena polarisasi dalam pemahaman agama yang semakin tajam di media sosial. Polarisasi ini terjadi karena masyarakat memiliki pandangan yang beragam tentang cara agama seharusnya disampaikan dan dipraktikkan, dan media sosial memperkuat perbedaan-perbedaan ini menjadi jurang pemisah yang semakin sulit   dijembatani. Ketika Gus Miftah mengemukakan pandangan atau pendekatan dakwah yang lebih modern, inklusif, dan adaptif dengan gaya hidup generasi muda, ia sering  kali mendapat kritik tajam dari kalangan yang lebih konservatif yang merasa bahwa pendekatan semacam itu tidak sesuai dengan tradisi atau nilai-nilai agama yang telah mapan. Pendekatan modern yang diambil Gus Miftah seperti penggunaan bahasa sehari-hari, humor, dan interaksi langsung melalui media sosial, dianggap oleh sebagian pihak sebagai langkah inovatif untuk mendekatkan agama dengan masyarakat kontemporer. Namun, bagi kelompok konservatif, pendekatan ini dipandang berpotensi mengurangi kehormatan dakwah, menghilangkan kedalaman    ajaran agama, atau bahkan dianggap terlalu jauh menyimpang dari norma tradisional. Kritik semacam ini sering kali bukan hanya ditujukan kepada gaya atau metode dakwahnya, tetapi juga menyasar aspek personal, seperti pilihan kata dan ekspresi Gus Miftah yang kadang dianggap tidak mencerminkan adab seorang ustaz.Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial berperan besar dalam memperburuk polarisasi di masyarakat. Media sosial, melalui algoritmanya, cenderung menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, menciptakan gelembung informasi (filter bubble) di mana orang hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka. Dalam konteks dakwah Gus Miftah, hal ini berarti audiens yang mendukung pendekatannya cenderung semakin memperkuat pandangan positif mereka,sementara pihak yang menentangnya semakin yakin bahwa metode tersebut tidak sesuai. Polarisasi semacam ini sering kali menghambat dialog yang lebih luas dan konstruktif  antara kelompok-kelompok dengan pandangan yang berbeda. Selain itu, polarisasi ini juga terlihat dari perdebatan yang terjadi di kolom komentar media sosial Gus Miftah, di mana para pendukung dan pengkritiknya sering kali terlibat dalam diskusi yang tidak hanya intens tetapi juga emosional. Alih-alih menjadi ruang untuk bertukar  pendapat yang mediasosial sering berubah menjadi arena perdebatan yang didominasi oleh opini-opini ekstrem, mengabaikan upaya untuk mencari titik temu atau memahami sudut pandang yang berbeda. Polarisasi ini tidak hanya berdampak pada Gus Miftah sebagai individu tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Ketegangan antara kelompok modernis dan konservatif memperlihatkan bahwa media sosial tidak hanya menjadi alat untuk menyebarkan pesan agama tetapi juga medan konflik yang mencerminkan perbedaan mendasar dalam cara masyarakat memahami dan menghayati agama. Dalam jangka panjang, jika polarisasi ini terus dibiarkan, ia dapat    memperlemah solidaritas sosial di kalangan umat Islam dan memperkuat stereotip negatif antara kelompok yang berbeda. Namun, meskipun polarisasi ini merupakan tantangan besar, hal ini juga bisa menjadi peluang untuk menciptakan dialog yang lebih inklusif. Gus Miftah dapat menggunakan pengaruh dan popularitasnya untuk membuka ruang diskusi yang lebih sehat di media sosial, mengajak para pengikutnya dari berbagai latar belakang untuk saling mendengarkan dan memahami pandangan yang berbeda. Dengan memanfaatkan teknologi digital secara bijak, media sosial dapat diubah dari arena konflik menjadi tempat untuk membangun jembatan pemahaman di antara kelompok-kelompok yang selama ini terfragmentas. Dalam menghadapi tantangan ini, Gus Miftah perlu menemukan keseimbangan antara menyampaikan dakwah yang relevan dengan kebutuhan zaman dan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yang penting bagi banyak kalangan. Selain itu, upaya untuk mendorong literasi digital yang lebih baik di kalangan audiensnya juga dapat membantu mengurangi dampak negatif polarisasi, sehingga masyarakat dapat lebih bijak dalam memahami dan menanggapi konten yang mereka temui di media sosial. Dengan langkah-langkah ini,   Gus Miftah dan ustaz selebriti lainnya dapat berkontribusi pada pengurangan polarisasi dan membangun masyarakat yang lebih inklusif serta terbuka terhadap keberagaman pandangan dalam memahami agama.
- Tantangan dan Penyikapan terhadap Fenomena Ustaz Selebriti
Fenomena ustaz selebriti, seperti yang terlihat dalam kiprah Gus Miftah, menghadapi sejumlah tantangan yang memerlukan perhatian serius agar dampaknya tetap positif  dan konstruktif. Salah satu tantangan utama adalah komodifikasi agama, di mana pesan-pesan dakwah berisiko kehilangan esensi spiritualnya karena lebih mengutamakan aspek hiburan dan estetika untuk menarik perhatian audiens. Dalam konteks media sosial, agama sering kali dikemas seperti produk budaya yang viral, yang dapat mengurangi kedalaman pesan keagamaan itu sendiri.
Selain itu, media sosial memiliki potensi untuk memperkuat polarisasi dan fragmentasi di masyarakat. Audiens cenderung terjebak dalam gelembung filter (filter bubble), hanya mengakses konten yang sejalan dengan pandangan mereka, sehingga   memperlebar jarak antar kelompok dengan interpretasi agama yang berbeda. Kasus Gus Miftah, misalnya, menunjukkan bagaimana pendekatan dakwah yang lebih liberal dapat menimbulkan kritik dari kalangan yang lebih konservatif, menciptakan potensi konflik internal di komunitas keagamaan. Tantangan lain adalah risiko salah tafsir terhadap pesan agama yang disampaikan melalui media sosial Format digital yang singkat dan terbatas sering kali tidak cukup untuk menjelaskan konsep keagamaan secara utuh, sehingga audiens yang kurang memahami konteks dapat menyalahartikan pesan tersebut. Hal ini membutuhkan upaya lebih dari ustaz selebriti    untuk memberikan penjelasan yang lebih mendalam dan kontekstual.Lebih jauh lagi,
Etika dan akuntabilitas menjadi isu penting dalam menghadapi sorotan publik. Sebagai figur publik, tindakan dan pernyataan ustaz selebriti, baik di dunia nyata maupun dunia maya, diawasi secara ketat. Kontroversi yang muncul, baik dari kritik internal maupun eksternal, dapat merusak kredibilitas mereka dan mengurangi dampak dakwah yang disampaikan. Oleh karena itu, menjaga konsistensi antara nilai-nilai agama yang diajarkan dan perilaku pribadi menjadi tantangan besar. Hal ini sesuai dengan pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menekankan pentingnya integritas dalam beragama dan etika dalam kehidupan publik. Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa langkah strategis dapat diambil.
Pertama, ustaz selebriti perlu mengutamakan kedalaman dalam dakwah mereka, mengimbangi popularitas dengan konten bermakna yang tetap menarik. David Lyon dalam karyanya Surveillance Society mengingatkan bahwa figur publik yang berada di dunia digital harus mengutamakan kualitas daripada sekadar ketenaran untuk menjaga pengaruh positif.Â
Kedua, mempromosikan dialog yang inklusif di media sosial dapat membantu mengatasi polarisasi, membuka ruang diskusi yang sehat di antara audiens yang beragam. Heidi Campbell, dalam Digital Religion, membahas pentingnya dialog yang terbuka di platform digital untuk memperkaya pemahaman keagamaan dan mengurangi kesalahpahaman antar kelompok.