Berbicara mengenai politik apabila dipandang dari sisi psikologi tentunya tidak dapat lepas dari bagaimana partai politik mengambil keputusan untuk mengusung kandidat baik dalam pemilihan legislatif, kepala daerah atau gubernur, terutama pencalonan dari kalangan artis yang kini menjadi salah satu fenomena yang sedang hangat-hangatnya diperbincangan oleh publik. Keputusan partai politik dalam mengusung calon legislatif dari kalangan artis memang bukan hal baru lagi, dalam hal ini partai politik tentunya berusaha untuk dapat memenangkan suara dengan popularitas yang dimiliki oleh sang artis. Senada dengan yang dikatakan oleh pakar psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk, "Memang ada partai yang sangat pragmatis berpikir bagaimana mencari orang yang kemungkinan besar bisa terpilih. Sementara publik ingin orang-orang yang berkualitas atau mumpuni menjadi caleg," (Ian, 2013)
Popularitas artis dalam pencalonan menjadi wakil rakyat juga menjadi satu faktor dalam penentuan perilaku pemilih dalam mencoblos di bilik suara. Pemilih mengambil keputusan setelah mengolah informasi politik dan membuat kesimpulan dari informasi tersebut. Lodge dan Hamill (dalam Chusniyah, 2014) menyatakan bahwa mereka yang tahu banyak tentang politik, dan yang tertarik di dalamnya, akan memproses informasi secara berbeda dibandingkan mereka yang tahu sedikit dan tidak tertarik pada politik. Pemilih yang apatis dalam bidang politik lebih sering mengambil keputusan secara instan tanpa melakukan pengumpulan informasi secara lengkap. Pemilih pada umumnya masih bersikap praktis dalam melakukan pemilihan dengan memilih kandidat yang dirasa dikenalnya meskipun hanya lewat media massa, bukan berdasarkan kredibilitasnya. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan oleh partai politik dalam pencalonan kandidatnya, dimana partai politik tidak terlalu banyak mengeluarkan waktu atau biaya serta melakukan publikasi.
Pengamat politik Indo Barometer Muhammad Qodari menilai, fenomena banyaknya artis yang menjadi caleg mengindikasikan partai politik mengalami masalah kaderisasi dan regenerasi. “Banyaknya artis yang dicalonkan parpol menjadi caleg, itu artinya ada masalah regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan di partai tersebut, dan itu tidak baik. Karena itu, ada partai yang kemudian lebih mementingkan berpolitik secara instan dengan mengandalkan popularitas calon ketimbang kapabilitasnya,” paparnya (Iin, 2012)
Bukan hal yang salah apabila artis turut berpartisipasi dalam berpolitik, namun harus disesuaikan dengan kualitas, kredibilitas, pengalaman berpolitik dan tentunya membela masyarakat, bukan karena dikuasai oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Kalangan artis yang masuk dunia politik tanpa adanya bekal pendidikan atau pengalaman politik tentunya dapat menghambat kinerjanya dalam berperan sebagai tokoh masyarakat dan berimbas pada rakyat, sehingga kehidupan demokrasi tidak mengalami kemajuan. Masyarakat juga harus lebih selektif dalam memilih kandidat dengan mengumpulkan banyak informasi serta meganalisis secara kritis informasi tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memilih wakil rakyat demi kemajuan bersama.
Sumber:
Chusniyah, Tutut. 2014. Buku Ajar Psikologi Politik. Malang : FPPsi
Ian. 2013. Ngetop, Alasan Pragmatis Parpol Usung Artis. http://www.rakyatmerdekaonline.com/m/news.php?id=109043
Iin. 2012. Caleg artis harus berkualitas. http://bola.okezone.com/read/2012/05/08/435/625510/caleg-artis-harus-berkualitas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI