Mohon tunggu...
Muhamad Refli Adriansyah
Muhamad Refli Adriansyah Mohon Tunggu... mahasiswa

Seorang mahasiswa program studi Manejemen Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

RUU TNI Disahkan, Ekonomi Terancam? Ini Risiko Nyata bagi Lapangan Kerja dan APBN

2 Juni 2025   22:38 Diperbarui: 2 Juni 2025   22:36 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kini menjadi sorotan publik setelah DPR RI mengesahkan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dalam sidang paripurna pada Kamis, 20 Maret 2025 di Gedung DPR RI. Pengesahan ini dipimpin Ketua DPR RI Puan Maharani didampingi Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, dan Saan Mustopa. Pengesahan revisi UU ini bertujuan memperkuat peran TNI dalam menjaga keamanan dan stabilitas nasional, terutama dalam menghadapi tantangan keamanan modern yang semakin kompleks, seperti ancaman siber, terorisme, dan bencana alam. Namun, revisi ini menuai kritik dari berbagai pihak karena dinilai mengembalikan praktik dwifungsi ABRI yang telah dihapus pascareformasi. Salah satu perubahan kontroversial adalah pemberian kewenangan bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga sipil. Tak hanya itu, sejumlah analis memperingatkan bahwa revisi ini berpotensi merugikan perekonomian di Indonesia. 

Ekonomi Indonesia masih dalam tahap pemulihan pascapandemi COVID-19, dengan sektor pariwisata, perdagangan, dan investasi membutuhkan dukungan besar untuk pulih sepenuhnya. Di sisi lain, ribuan hingga jutaan orang menganggur atau masih belum terserap oleh lapangan kerja karena sedikitnya jumlah lapangan kerja dibandingkan para pencari kerja. Banyaknya jumlah orang yang menganggur juga ada pengaruh dari tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, sekitar 80.000 pekerja terkena PHK pada akhir 2024. Hal tersebut disampaikan direktur Kelembagaan dan Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) C Heru Widianto dalam konferensi pers, Senin (23/12/2024). Kasus terbaru terkait PHK adalah PT Sritex yang mem-PHK lebih dari 11.000 karyawan setelah dinyatakan pailit. Kondisi ini memperburuk tingkat pengangguran, di mana lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja. Jika revisi UU TNI memungkinkan TNI aktif mengambil alih posisi sipil, dikhawatirkan akan semakin mempersempit kesempatan kerja bagi masyarakat sipil.   

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa revisi UU TNI hanya sebanyak tiga pasal, yaitu Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53, meski terdapat perubahan tambahan pada Pasal 7. Perubahan yang paling mengundang kontroversi adalah revisi Pasal 47 terkait jabatan TNI aktif di kementerian/Lembaga sipil. Berdasarkan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI yang lama, terdapat pasal yang menyebut prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan, Namun, dalam UU TNI yang baru, kini membuka peluang bagi TNI untuk menjabat di 14 kementerian/lembaga. Para ekonom memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat memunculkan masalah baru dalam tatanan ekonomi, dapat memicu persaingan antara militer dan warga sipil dalam memperebutkan posisi pekerjaan. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), memandang penempatan TNI aktif di jabatan sipil, hal tersebut dapat menimbulkan masalah inefisiensi sumber daya. Pendapat tersebut didasarkan pada gap keahlian militer yang berbeda dengan pekerjaan sipil, terutama dalam pengambilan keputusan strategis. Jika semua masalah ditarik pada konteks keamanan dan pertahanan, dapat memicu risiko proses pembangunan akan bias kepentingan militer.   

Lebih jauh, Bhima mengingatkan potensi crowding out effect, di mana keterlibatan TNI dalam sektor bisnis dan pemerintahan dapat menggeser peran swasta, UMKM, bahkan petani. Contoh nyata terlihat dalam program makan bergizi gratis dengan dapur umum tersentralisasi dan food estate yang dikelola TNI, yang justru mengurangi lapangan kerja bagi masyarakat sipil. Selain itu, kehadiran perwira TNI di BUMN terbukti tidak meningkatkan kinerja perusahaan, melainkan berisiko menciptakan demoralisasi karyawan akibat sistem promosi yang tidak berbasis meritokrasi. Jika tren ini berlanjut, BUMN berpotensi kehilangan sumber daya manusia berkualitas brain drain karena karier profesional tumpul oleh dominasi political appointee.   

Poin revisi lain yang mengemuka adalah rencana perpanjangan masa dinas prajurit TNI, yang dipertimbangkan ruang APBN ditengah berkoarnya kebijakan efisiensi. Jika usia pensiun TNI diperpanjangan dapat berimplikasi pada peningkatan beban anggaran negara, terutama terkait gaji dan tunjangan prajurit yang masih aktif. Belanja pegawai pemerintah telah melonjak 85,5% dalam satu dekade terakhir, mencapai Rp521,4 triliun pada 2025. Jika usia pensiun TNI diperpanjang, defisit APBN diprediksi menembus 3%---melebihi batas aman yang diatur UU Keuangan Negara 2003. Faktanya, baru dua bulan berjalan, defisit APBN 2025 sudah menunjukkan tanda-tanda melebar hingga 2,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kebijakan ini dinilai kontraproduktif dengan upaya efisiensi anggaran. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, Kesehatan, atau subsidi UMKM bisa teralihkan ke belanja militer. 

Revisi Undang-Undang TNI yang baru disahkan memang memiliki tujuan strategis dalam memperkuat kapasitas pertahanan Indonesia di tengah tantangan keamanan yang semakin kompleks. Namun, dampak ekonominya tidak bisa dianggap remeh, terutama di saat perekonomian nasional masih dalam fase pemulihan pasca-pandemi. Indonesia membutuhkan kebijakan yang tidak hanya memperkuat aspek keamanan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun