Mohon tunggu...
Refika Ayu Rahmadhani
Refika Ayu Rahmadhani Mohon Tunggu... ga banyak gaya, karna ga suka fisika

matcha my fav drink’s

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menata Kota Besar untuk Sepuluh Tahun Pertama: Visi seorang walikota

29 September 2025   22:12 Diperbarui: 29 September 2025   22:12 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

 Membayangkan diri sebagai walikota sebuah kota besar adalah sebuah tantangan yang menarik sekaligus penuh tanggung jawab. Kota besar selalu menjadi pusat peradaban, magnet ekonomi, dan arena pertemuan berbagai budaya. Namun, di balik itu, ia juga menyimpan problem klasik yang kompleks: kemacetan, kesenjangan sosial, keterbatasan ruang, hingga krisis lingkungan. Dalam sepuluh tahun pertama kepemimpinan, seorang walikota harus memiliki visi yang jelas, strategi yang terukur, dan keberanian untuk mengeksekusi kebijakan yang berpihak pada warga. Artikel ini mencoba menguraikan prioritas utama yang akan saya ambil jika berada dalam posisi tersebut, sekaligus membandingkannya dengan pengalaman kota-kota besar di dunia.

Kemacetan adalah penyakit kronis kota besar. Selain membuang waktu produktif warga, kemacetan juga meningkatkan polusi udara, memperparah stres, dan menurunkan daya saing kota. Karena itu, langkah pertama yang harus diprioritaskan adalah membangun sistem transportasi publik yang andal, murah, dan ramah lingkungan.

Contoh nyata bisa dilihat dari Singapura. Negara-kota ini berhasil membangun sistem transportasi yang terintegrasi antara MRT, bus, dan jalur pejalan kaki. Penggunaan kartu pintar yang sama untuk semua moda transportasi memudahkan mobilitas warga. Tidak hanya itu, kebijakan pembatasan kendaraan pribadi melalui sistem sertifikat kepemilikan kendaraan (Certificate of Entitlement/COE) berhasil mengendalikan pertumbuhan mobil.

Sementara itu, Seoul, Korea Selatan, menerapkan sistem bus rapid transit (BRT) modern yang dilengkapi dengan jalur khusus, halte nyaman, dan integrasi tarif. Langkah ini meningkatkan kepercayaan warga untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik. Dalam konteks kota besar di Indonesia, membangun transportasi publik yang terintegrasi harus menjadi prioritas utama. MRT dan LRT yang mulai berkembang perlu dilanjutkan, dihubungkan dengan bus kota, angkot, hingga layanan sepeda publik. Selain itu, jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman harus diperluas, karena berjalan kaki adalah moda transportasi paling dasar dan sehat.

Urbanisasi membawa dampak meningkatnya kebutuhan hunian. Di banyak kota besar, harga rumah melambung tinggi hingga sulit dijangkau oleh kelas menengah dan pekerja muda. Akibatnya, muncul permukiman padat dan kawasan kumuh. Sebagai perbandingan, Wina, Austria, dikenal sebagai kota dengan sistem perumahan sosial terbaik di dunia. Pemerintah kota menyediakan hunian layak dengan harga terjangkau bagi hampir setengah penduduknya. Konsep ini berhasil menjaga keseimbangan sosial, mengurangi ketimpangan, dan mencegah segregasi ruang antara kaya dan miskin.

Di Singapura, Housing Development Board (HDB) telah membangun jutaan unit apartemen yang menjadi rumah bagi 80% warganya. Menariknya, proyek HDB tidak hanya menyediakan tempat tinggal, tetapi juga dilengkapi dengan taman, sekolah, dan pusat komunitas, sehingga menciptakan lingkungan hidup yang sehat dan harmonis. Untuk kota besar di Indonesia, pendekatan semacam ini bisa diadopsi dengan mengembangkan perumahan vertikal yang terjangkau, lengkap dengan fasilitas sosial. Namun, yang lebih penting adalah melibatkan warga dalam proses perencanaan agar penataan kawasan tidak sekadar "menggusur," melainkan benar-benar meningkatkan kualitas hidup mereka.

Kota besar adalah motor ekonomi nasional. Namun, tanpa strategi yang jelas, pertumbuhan ekonomi hanya akan dinikmati segelintir orang. Tantangan berikutnya adalah bagaimana menciptakan ekosistem ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Shenzhen, Tiongkok, bisa menjadi contoh transformasi ekonomi. Dari sebuah desa nelayan pada 1980-an, Shenzhen kini menjadi pusat teknologi global berkat keberanian pemerintah setempat membuka kawasan ekonomi khusus yang ramah inovasi. Kota ini menarik investasi besar-besaran dan melahirkan raksasa teknologi seperti Huawei dan Tencent.

Di sisi lain, Berlin, Jerman, menunjukkan bagaimana kota pasca-industri bisa bangkit melalui industri kreatif. Seni, musik, dan teknologi digital menjadi motor baru ekonomi kota, sekaligus menciptakan identitas budaya yang kuat. Untuk kota besar di Indonesia, strategi ekonomi perlu diarahkan pada dua jalur: mendukung UMKM dan industri kreatif sebagai tulang punggung lapangan kerja, serta membangun ekosistem teknologi digital yang siap menghadapi era otomatisasi. Program pelatihan keterampilan digital, kewirausahaan, dan kolaborasi dengan universitas serta startup lokal akan menjadi kunci.

Krisis iklim adalah tantangan global yang paling nyata dirasakan di kota besar: banjir, polusi udara, hingga suhu yang semakin panas. Karena itu, pembangunan kota harus berbasis pada keberlanjutan. Kopenhagen, Denmark, dikenal sebagai salah satu kota paling hijau di dunia. Hampir separuh warganya bersepeda setiap hari, berkat jaringan jalur sepeda yang aman dan nyaman. Selain itu, Kopenhagen berkomitmen menjadi kota netral karbon pada 2025 dengan investasi besar pada energi terbarukan dan efisiensi energi.

Sementara itu, Tokyo, Jepang, berhasil mengurangi risiko banjir dengan membangun infrastruktur bawah tanah raksasa, yakni Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel. Fasilitas ini mampu menampung air hujan berlimpah dan mencegah banjir besar. Untuk kota besar di Indonesia yang rawan banjir dan polusi, pendekatan ini bisa dipadukan. Investasi pada ruang terbuka hijau, pengelolaan sampah berbasis daur ulang, serta pembangunan infrastruktur resapan air harus menjadi bagian integral dari tata kota. Konsep kota hijau bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan untuk bertahan hidup.

Kota besar sering kali menghadapi kesenjangan dalam akses kesehatan dan pendidikan. Warga di pusat kota mungkin menikmati fasilitas modern, sementara di pinggiran banyak yang kesulitan. Toronto, Kanada, memiliki sistem kesehatan berbasis komunitas yang inklusif, dengan klinik lokal yang mudah diakses semua lapisan masyarakat. Fokusnya bukan hanya pada pengobatan, tetapi juga pencegahan dan kesehatan mental. Dalam bidang pendidikan, Finlandia memberikan inspirasi dengan sistem sekolah yang tidak menekankan ujian, melainkan kreativitas, kolaborasi, dan keterampilan hidup. Model ini bisa diadaptasi di kota besar untuk menyiapkan generasi muda menghadapi dunia kerja yang berubah cepat. Bagi kota besar di Indonesia, memperkuat layanan kesehatan primer hingga tingkat RW/kelurahan, serta memperbaiki kualitas pendidikan publik dengan kurikulum modern, adalah investasi jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun