Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena baru yang sangat menonjol di tengah masyarakat digital, terutama di kalangan generasi muda seperti Generasi Z dan Alpha, yang disebut sebagai "brainrot anomali". Istilah ini tidak berasal dari dunia medis atau psikologi klinis, melainkan merupakan istilah populer yang berkembang di media sosial. Brainrot secara harfiah berarti "pembusukan otak", namun dalam konteks budaya populer, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana otak terlalu sering terpapar konten digital yang absurd, tidak masuk akal, cepat, dan tanpa makna mendalam.
Fenomena ini ditandai dengan maraknya video singkat dan meme yang menampilkan karakter-karakter ganjil, suara yang diputar berulang-ulang, serta kombinasi visual dan audio yang sama sekali tidak memiliki narasi logis. Misalnya, karakter animasi buatan AI yang mengucapkan kalimat tak bermakna seperti "Bombardiro Crocodilo" atau "Tung Tung Tung Sahur" sambil berdansa dalam suasana dan latar yang juga tidak logis. Konten semacam ini merajalela di TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts, dan ditonton jutaan kali oleh anak muda dari berbagai penjuru dunia.
Mengapa konten seperti ini begitu digemari? Salah satu alasannya adalah karena sifat kontennya yang cepat, mudah dicerna, dan memberikan hiburan instan tanpa perlu berpikir keras. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, konten seperti ini dianggap sebagai pelarian sejenak dari kejenuhan dan stres. Tidak sedikit yang menganggap konten ini sebagai bentuk humor baru yang hanya bisa dipahami oleh generasi tertentu. Bahkan, sebagian pengguna media sosial menyebut bahwa mereka merasa "terhibur secara absurd" karena konten seperti ini justru lucu karena ketidakmasukakalannya.
Namun, di balik tren tersebut, muncul kekhawatiran dari para pakar, pendidik, dan orang tua. Banyak pihak menilai bahwa konsumsi berlebihan terhadap konten brainrot dapat menurunkan kualitas berpikir generasi muda. Mereka menjadi terbiasa dengan hal-hal instan, tidak terbiasa menganalisis informasi secara mendalam, dan bahkan mengalami kesulitan dalam memahami teks panjang atau narasi yang kompleks. Selain itu, konten-konten absurd ini juga berpotensi menurunkan sensitivitas emosional dan sosial, karena tidak mengandung nilai-nilai edukatif, moral, atau empatik.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh berbagai penelitian dan laporan dari institusi pendidikan dan kesehatan mental. Salah satunya adalah peringatan dari dosen dan psikolog pendidikan dari IPB University yang menyebut bahwa fenomena brainrot ini bisa menjadi ancaman serius bagi perkembangan otak anak dan remaja, khususnya dalam aspek pemrosesan informasi, konsentrasi, dan kecerdasan emosional.
Dari sudut pandang sosiologi, fenomena ini tidak bisa hanya dilihat sebagai tren hiburan biasa. Brainrot anomali mencerminkan dinamika sosial, nilai budaya, serta perkembangan teknologi yang saling mempengaruhi. Ia menunjukkan bagaimana masyarakat modern, khususnya generasi muda, membentuk budaya konsumsi informasi yang cepat dan dangkal, yang berbeda jauh dari pola komunikasi dan hiburan generasi sebelumnya.
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengkaji lebih dalam fenomena brainrot anomali dalam perspektif sosiologi, untuk memahami bagaimana ia terbentuk, mengapa ia berkembang pesat, serta apa dampaknya terhadap perkembangan sosial dan pendidikan generasi muda di Indonesia. Dengan demikian, kita bisa memahami tantangan dan peluang dari fenomena ini secara lebih bijak dan kritis.
Fenomena brainrot anomali tidak bisa dilepaskan dari berbagai teori dan pendekatan dalam ilmu sosiologi. Ia adalah cermin dari transformasi nilai, perubahan struktur sosial, serta pergeseran budaya di era digital. Dalam konteks ini, beberapa perspektif sosiologi klasik maupun kontemporer dapat digunakan untuk memahami lebih dalam mengenai bagaimana dan mengapa fenomena ini muncul serta apa implikasinya.
Pertama-tama, konsep anomie dari Emile Durkheim sangat relevan dalam membaca fenomena ini. Anomie adalah kondisi di mana norma-norma sosial melemah atau kehilangan arah akibat perubahan sosial yang cepat. Dalam masyarakat digital saat ini, norma-norma lama tentang hiburan, komunikasi, bahkan etika berinteraksi mengalami perubahan yang sangat cepat. Brainrot muncul sebagai bentuk ekspresi dari kekacauan nilai ini. Generasi muda tidak lagi mencari hiburan yang edukatif atau inspiratif, tetapi lebih tertarik pada sesuatu yang absurd, lucu, dan tidak masuk akal karena hal itu menjadi cara untuk melepaskan diri dari tekanan sosial yang kompleks dan penuh tuntutan. Dalam kondisi anomie, generasi muda seolah hidup dalam kekosongan makna, dan konten brainrot menjadi simbol dari ketiadaan orientasi nilai yang jelas.
Selanjutnya, teori Jean Baudrillard tentang simulakra dan hiperrealitas juga sangat tepat untuk menganalisis fenomena ini. Menurut Baudrillard, masyarakat postmodern tidak lagi hidup dalam realitas, melainkan dalam dunia tanda dan simbol yang telah kehilangan acuannya terhadap kenyataan. Brainrot adalah contoh nyata dari hiperrealitas---sebuah realitas yang tidak pernah ada, namun dibuat seolah nyata dan dikonsumsi secara massal. Konten absurd yang muncul dalam bentuk animasi AI, meme berisi kalimat-kalimat aneh, dan video dengan efek visual berlebihan adalah bentuk dari dunia simulakra, yang diciptakan bukan untuk menyampaikan pesan nyata, melainkan untuk menciptakan sensasi. Generasi muda terbiasa hidup dalam dunia hiperrealitas ini dan merasa lebih nyaman dengan ilusi yang menyenangkan ketimbang menghadapi kenyataan yang membosankan atau penuh tekanan.