Mohon tunggu...
AndikaP
AndikaP Mohon Tunggu... penulis dan jurnalis

AndikaP, adalah seorang penulis, jurnalis, dan kreator konten yang aktif di dunia sastra, musik, dan media. Lulusan Pendidikan Seni Rupa ini memiliki pengalaman sebagai guru Seni Budaya, jurnalis, editor berita, serta terlibat dalam berbagai proyek penulisan, mulai dari puisi, cerpen, novel, hingga artikel berita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kapur yang Terhapus

13 September 2025   07:47 Diperbarui: 13 September 2025   07:47 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi.(AndikaP/Canva)

Suara "kriet... kriet..." kapur di papan tulis menjadi musik pagi di kelas enam. Di depan kelas, seorang lelaki tua dengan rambut mulai memutih berdiri tegak. Tangannya bergerak pelan, menuliskan angka-angka pecahan. Meski sesekali terbatuk, ia tetap berusaha menjaga nada suaranya tetap jelas. Dialah Pak Hasyim, guru matematika yang sudah lebih dari tiga puluh tahun mengabdi di sekolah dasar itu.

Papan tulis di kelas sudah kusam, warnanya tak lagi hitam legam. Setiap kali Pak Hasyim menghapus tulisan, debu putih kapur menempel di telapak tangannya, beterbangan ke udara, lalu sebagian masuk ke paru-parunya. Batuknya semakin sering. Namun, ia tak pernah mengeluh.

"Anak-anak, perhatikan... kalau pecahan satu per dua ditambah satu per tiga, penyebutnya harus disamakan dulu," katanya dengan suara serak. Murid-murid memperhatikan dengan seksama. Ada rasa hormat dalam tatapan mereka, meski sebagian sudah terbiasa dengan batuk-batuk gurunya.

Di luar kelas, terdengar suara burung dan derit bangku kayu yang digeser. Matahari menyorot masuk dari jendela, membuat debu-debu kapur tampak seperti cahaya yang menari. Bagi sebagian anak, pemandangan itu biasa saja. Namun, bagi seorang murid bernama Dina, ada rasa iba yang tumbuh setiap kali melihat gurunya terbatuk karena debu kapur.

"Kenapa Pak Hasyim tetap pakai kapur ya, padahal sudah banyak sekolah yang pakai spidol?" bisik Dina pada temannya, Arif, ketika jam istirahat tiba.

Arif mengangkat bahu. "Entahlah. Katanya sekolah ini belum mampu beli papan tulis baru. Lagipula, Pak Hasyim sudah terbiasa dengan kapur."

Dina menghela napas. Ia menatap papan tulis yang penuh coretan setengah terhapus. Seolah-olah coretan itu bercerita tentang pengabdian seorang guru yang tak kenal lelah, meski kesehatannya semakin rapuh.

 ***

Hari-hari berjalan, dan batuk Pak Hasyim makin parah. Kadang ia berhenti sebentar di depan kelas, menahan sakit di dada, lalu kembali melanjutkan pelajaran. Murid-murid mulai resah. Mereka ingin melakukan sesuatu, tapi tak tahu harus bagaimana.

Suatu sore, setelah bel pulang berbunyi, Dina mengajak beberapa temannya berkumpul di halaman sekolah. "Kita harus bantu Pak Hasyim. Beliau terlalu sering batuk gara-gara kapur itu. Kalau kita kumpulkan uang, mungkin kita bisa belikan spidol dan papan tulis baru."

Anak-anak saling berpandangan. Gagasan itu terdengar sederhana, tapi tidak semua murid punya uang saku lebih. Meski begitu, satu per satu mereka mengangguk. "Aku bisa sisihkan seribu rupiah tiap hari," kata Arif. "Aku juga bisa," timpal murid lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun