Judul: The White Masai
Penulis: Corinne Hofmann
Penerbit: Pustaka Alvabet
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Tahun Terbit: 2010 Â
Bucin beberapa tahun terakhir menjadi kata yang banyak diperbincangkan orang - orang. Kata ini biasanya disematkan kepada mereka yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan cintanya. Bucin merupakan akronim dari budak cinta yang bisa diartikan sebagai sikap mengorbankan apa saja mulai dari jiwa, raga bahkan harta demi pasangan.
The White Masai adalah penggambaran yang sesungguhnya dari pengertian bucin di atas. Novel yang telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa itu merupakan novel yang terinspirasi dari pengalaman sang penulis sendiri, Corrine Hofmann. Melalui novel tersebut Corrine bercerita secara rinci bagaimana ia jatuh cinta kepada Lketinga, seorang prajurit suku Masai di Kenya; mulai dari pertemuan pertama mereka hingga akhirnya  memutuskan pulang kembali ke negara asalnya.
Sekalipun diceritakan dengan detil, kisahnya tidaklah monoton seperti buku harian biasa. Corrine justru akan menghanyutkan siapa pun yang membaca ceritanya dalam luapan emosional yang campur aduk. Kita bisa dibuatnya senyum -- senyum sendiri ketika ia melukiskan perasaan jatuh cintanya. Lalu kecewa dengan keputusannya. Kita juga akan dibuat marah -- marah dengan situasi, kondisi dan konflik yang seperti tidak berujung. Bahkan kita bisa menyelami hasratnya sebagai seorang perempuan ketika mencintai dengan sungguh -- sungguh. Segalanya diberikan, tak ada yang tersisa tetapi seperti disia-siakan.
Novel ini cukup tebal sekitar 477 halaman. Namun ketika mulai membaca kita seakan tidak mau meletakannya sebelum tamat membacanya. Cerita dimulai dengan kisah perjumpaan yang indah di atas kapan Feri. Di sini Corrine seperti tersihir oleh ketampanan Lketinga. Padahal saat itu ia sedang bersama -- sama dengan Marco pacarnya. Saat marco menunjukkan Lketinga padanya sebagai seorang prajurit Masai -- pada saat yang sama Corrine kehilangan akal sehatnya. Bagi Corrine Lketinga terlalu tampan. Ia bahkan tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu.
"Aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Duduk di bawah sorot terakhir sinar matahari terbenam, dia tampak seperti sesosok dewa muda" (hal. 3)
Selanjutnya kita akan dihantar ke dalam keputusan -- keputusan mengejutkan Corrine. Entah apa yang ada dibenaknya saat itu tetapi ya begitulah kalau sudah jatuh cinta. Bagaimana tidak setelah pertemuan singkat mereka di Bush Baby Disco, keesokan harinya  ia memutuskan hubungannya dengan Marco. Lalu setelah masa liburannya selesai, enam bulan kemudian ia memutuskan kembali ke Kenya demi bisa bertemu Lketinga. Â
 "Tekadku menguat dengan sendirinya, dan aku sangat yakin bahwa pria ini yang kubutuhkan agar bisa bahagia." (hal. 24)
Keputusan mengejutkan lainnya adalah ia ingin membawa Lketinga ke Swiss. Ternyata keinginannya itu terhambat oleh peraturan yang cukup berbelit -- belit dan mahal di Kenya. Selain itu untuk bisa keluar negeri penduduk asli seperti Lketinga juga harus diajarkan tentang budaya dan cara berpakaian ala barat. Padahal Lketinga tidak pernah sekolah dan bahasa Inggrisnya pun kacau balau. Alhasil upaya itu gagal total. Corrine sendirian pulang ke Swiss untuk melakukan hal gila berikutnya.
Di Swiss Corrine nekad menjual toko dan mobilnya demi kembali ke Kenya. Kali ini ia sudah siap untuk tinggal selama mungkin di Mombasa, Kenya. Sebuah keputusan yang benar -- benar gila. Dia bahkan tidak bisa mengungkapkan perasaannya terhadap keputusannya ini; apakah ia harus sedih atau bahagia.
"Siapa yang tahu kapan aku akan kembali? Untuk merayakan kepergianku dan awal yang baru, aku memesan sampanye dan tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis." (hal. 61)
Pada tahun 1987, Corinne akhirnya memutuskan menetap di Kenya. Pada tahun itu pula ia menikah dengan Lketinga dan memulai petualangannya sebagai istri seorang Masai. Keputusan ini sungguh suatu pilihan yang tidak mudah, mengingat bahwa Corinne seorang wanita Eropa modern harus menjalani kehidupan sebagai istri dari seorang Masai yang mempunyai peradaban dan budaya yang jauh berbeda. Banyak hal yang tidak bisa disesuaikan, kerap membuat frustasi dan pada suatu titik Corrine jatuh sakit.
Corinne menetap di  di pedalaman Barsaloi, Kenya kurang lebih empat tahun. Karena rasa cintanya yang besar kepada Lketinga ia hidup dengan begitu sederhana dan apa adanya. Kemandirian dan kekuatan prinsip yang dimilikinya membuatnya bertahan dengan segala perbedaan yang ada dan memaksanya harus menyesuaikan diri dengan adat istiadat dan budaya di tempat ia berada. Dan ia cukup berhasil untuk itu.
Namun ketika Corrine memiliki anak dan Lketinga suaminya mulai menunjukkan kecemburuan buta; Mereka kerap terlibat dalam konflik -- konflik yang membuatnya capek. Ditambah dengan berbagai persoalan lain di sekitarnya membuat keadaan makin runyam. Perlahan tapi pasti mimpinya untuk hidup bahagia dengan Lketinga tercerai-berai. Cinta yang ia perjuangkan kurang lebih empat tahun itu akhirnya kandas. Corrine menyerah. Ia akhirnya memutuskan pulang kembali ke Swiss bersama putri mereka, Napirai.
Lalu apa kira -- kira pesan novel ini untuk kita?
- Jatuh cintalah sejatuh -- jatuhnya, namun jika cintamu itu tidak bisa dipertahankan, maka berhentilah.
- Bucin itu berbahaya; ada banyak hal yang harus kita korbankan mulai dari perasaan, fisik, harta dan kenyamanan. Tetapi cinta kita juga tidak tentu jalannya.
- Sekalipun cinta tidak butuh logika, tetapi kita juga perlu juga memikirkan resiko -- resiko yang mungkin kita tuai ketika nekad membangun rumah tangga dengan seseorang dari latar kebudayaan dan gaya hidup yang perbedaannya terlampau jauh dari kita. Hal ini dilakukan agar kita tidak mengalami apa yang disebut sebagai shock culture.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI