Mohon tunggu...
Redaktur PPIJ
Redaktur PPIJ Mohon Tunggu... Biro Publikasi PPIJ 2021-2022

PPIJ adalah organisasi mahasiswa Indonesia di Jepang. Di laman Kompasiana ini, kami akan merilis seri Jendela Ilmu yang membahas berbagai topik dari beragam bidang keilmuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Manusia dan Bumi: Peran Arus Laut dan Sirkulasi Atmosfer (Bagian 2)

8 April 2022   19:30 Diperbarui: 13 April 2022   10:05 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4. Volta do Mar. Sumber: Wikipedia 

Portugis, Sang Pelopor

  Semenanjung Iberia merupakan saksi bisu terhadap asal muasal kisah Era Eksplorasi (Age of Exploration) manusia dari abad ke-15 hingga 18. Semenanjung Iberia di zaman modern saat ini diduduki oleh Portugal yang terletak di sepanjang pesisir baratnya, sementara sisanya oleh Spanyol. Saat awal mula Era Eksplorasi sekitar tahun 1400, Spanyol masih terpisah menjadi dua kerajaan besar, Castile dan Aragon (yang kemudian bersatu membentuk Spanyol pada 1479). 

  Pada zaman tersebut, Portugis terletak pada lokasi yang tidak menguntungkan karena saat itu mereka bermusuhan dengan Castile, kerajaan adidaya di timur, sementara di bagian barat hanya ada Samudra Atlantik yang tidak berujung. Kondisi ini mendorong orang-orang Portugis untuk melakukan penjelajahan laut menuju selatan menyusuri pesisir barat Afrika. Saat inilah, Era Eksplorasi dimulai. Setelah Castile dan Aragon bersatu membentuk Spanyol, mereka pun turut bergabung dengan Portugis dalam menjelajah laut untuk menemukan dunia-dunia baru jauh di luar horizon mereka.

  Seperti terlihat di Gambar 2, tepat di dekat pantai Portugal, terdapat arus Canary yang bergerak ke selatan menyusuri pesisir Maroko. Arus ini kemudian dimanfaatkan oleh para penjelajah Portugis pertama yang kemudian menemukan Kepulauan Canary, 100 km dari pantai Maroko. Salah satu masalah pertama yang mereka sadari adalah cara mereka kembali menuju Portugal. Pada zaman saat sebagian besar kapal mengandalkan layar dan arus sebagai mesin penggerak mereka, tentunya melawan angin dan arus laut akan sangat sulit untuk dilakukan, sehingga mengambil jalur yang mereka lewati saat perjalanan pergi di sepanjang pesisir Maroko sebagai jalur pulang bukanlah hal yang bijak. 

  Mereka, para penjelajah Portugis, lalu menemukan suatu inovasi radikal: volta do mar, yang berarti "kembali". Untuk kembali menuju Portugal di timur laut dari pesisir Maroko atau Kepulauan Canary, mereka berlayar ke barat menuju Samudra Atlantik yang luas. Hal ini dilakukan karena seiring mereka bergerak ke barat, arus Canary akan melemah, dan begitu mereka berada di lintang sekitar 30 derajat utara, southwesterly winds akan membawa mereka menuju Portugal (Gambar 1).

  Jika putaran volta do mar dilakukan lebih jauh ke barat, kita akan menemukan Kepulauan Madeira. Seiring waktu berjalan, para penjelajah Portugis terus berlayar lebih jauh ke selatan di sepanjang pesisir barat Afrika dengan mengandalkan northeasterly winds dan akhirnya menemukan Kepulauan Cape Verde, terletak sekitar 500 km dari Dakar, ibukota Senegal, ujung paling barat Afrika. Untuk kembali ke Portugal dari Kepulauan Cape Verde, mereka perlu melakukan putaran volta do mar yang lebih jauh lagi. Hal ini berujung pada ditemukannya Kepulauan Azores yang terletak sekitar 1000 km di barat Portugal. Dari sini, mereka kemudian mengikuti arus Portugal yang membawa mereka tepat ke negara asalnya.

  Keempat kepulauan ini (Canary, Madeira, Cape Verde, dan Azores) menjadi checkpoint strategis bagi para penjelajah laut baik dari Portugal maupun Spanyol. Kepulauan Canary, khususnya, menjadi pemberhentian bagi banyak pelaut yang berangkat dari pesisir Iberia untuk mengisi ulang persediaan awak dan kapal demi melakukan perjalanan yang lebih jauh lagi, entah itu ke selatan menyusuri pantai Afrika ataupun ke barat menuju Samudra Atlantik (Frankopan, 2016). Kepulauan Azores juga memiliki fungsi yang sama untuk perjalanan kembali ke Iberia. Kepulauan-kepulauan ini menjadi saksi bisu dari semangat dan keingintahuan tinggi para pelopor penjelajahan paling berani yang pernah dikenal umat manusia.

Menuju Ujung Dunia

  Jika dilihat di peta, terdapat sebuah lokasi di dekat Kepulauan Canary yang bernama Cape Bojador. Dalam periode waktu yang lama, Cape Bojador dianggap sebagai titik paling selatan yang memungkinkan untuk dijelajahi oleh para pelaut Iberia saat itu. Mengapa? Mereka memiliki kebiasaan untuk berlayar dekat dengan garis pantai. Hal ini dilakukan karena, pertama, dengan berlayar tetap menempel dengan pesisir, mereka tidak akan mudah tersesat karena daratan tetap terlihat sebagai "penanda" atau landmark untuk navigasi. Kedua, persediaan awak dan kapal tetap terjamin karena dapat dengan mudah diisi ulang dengan berlabuh di daratan.

  Kembali ke Cape Bojador, wilayah tersebut memiliki angin yang berhembus kuat dari timur ke barat dan bisa mengancam kapal-kapal yang berlayar di sekitar situ tertiup jauh ke Samudra Atlantik. Masalahnya, lautan di sekitar Cape Bojador memiliki kedalaman yang dangkal karena adanya tumpukan pasir laut (sandbar) yang menutupi area yang cukup luas. Akibatnya, kapal harus memutari daerah dangkal tersebut dengan mengambil rute yang lebih jauh ke barat. Hal ini membuat kapal tersebut berlayar jauh dari garis pantai dan rentan terperangkap angin kuat Cape Bojador yang akan menyeret mereka lebih jauh ke Samudra Atlantik.

  Walau begitu, seorang pelaut dan navigator Portugis bernama Gil Eanes, menemukan suatu metode yang bisa menaklukkan Cape Bojador di tahun 1434. Prinsip dari metodenya adalah, untuk bisa berlayar melalui pola pergerakan angin dan arus yang kompleks, "defleksi" atau pembelokan yang disebabkan oleh arus atau angin yang tidak diketahui sebelumnya perlu dihitung. Gil Eanes mengaplikasikannya dengan, pertama, menghitung dan memperkirakan arah dan kecepatan arus Canary, arus yang ia manfaatkan untuk keberangkatan. Lalu, ia memperhatikan dan menghitung defleksi arah berlayar mereka dari arah yang seharusnya, jika memang ada. Dari sini, ia lalu mengoreksi defleksi tersebut dan kembali ke jalur yang benar. 

  Tentunya, di wilayah dengan pola angin yang kompleks, koreksi ini perlu dilakukan hampir setiap saat karena skala waktu dari perubahan pergerakan angin ataupun arusnya tidak diketahui. Metode ini sangat terkenal di kalangan pelaut untuk mengatasi perjalanan sulit akibat kedua faktor tersebut dan faktanya, sampai sekarang masih tetap digunakan (Dartnell, 2019). Cape Bojador, oleh karenanya, dapat ditaklukkan oleh para penjelajah Portugis. Mereka pun berani untuk berlayar lebih jauh lagi ke selatan.

  Pada 1460, para penjelajah Portugis sudah berlayar sejauh 3000 km ke selatan sepanjang pesisir barat Afrika dari pantai Portugal (Paine, 2013). Dari sini, mereka mulai memasuki Teluk Guinea dan menemukan masalah baru. Northeasterly winds yang selama ini menjadi andalan mereka untuk berlayar ke selatan dari Kepulauan Canary sudah tidak ada lagi karena daerah ini sudah memasuki wilayah ekuator. Mereka kini memasuki wilayah doldrum. Butuh waktu 14 tahun hingga mereka dapat melewati Teluk Guinea dan memasuki bagian selatan ekuator (hemisfer selatan Bumi). Setelah mereka melewati ekuator, mereka melanjutkan perjalanan ke selatan menyisir pantai Afrika terus ke selatan menuju ujung dunia.

  Para penjelajah Portugis pada era tersebut sebenarnya memiliki tujuan utama yang sama: mencapai daratan Asia untuk berdagang. Kenapa harus Asia? Seperti yang mungkin sudah pembaca ketahui dari artikel pertama, negara-negara seperti India, China, dan Indonesia (saat itu, sebagian besar ketertarikan orang Eropa terhadap Indonesia disebabkan oleh keberadaan pulau-pulau penghasil pala dan cengkeh, Maluku dan Banda, yang kemudian dikenal dengan nama Kepulauan Rempah-rempah) memiliki banyak sekali persediaan rempah-rempah yang menjadi salah satu komoditas paling utama dan penting saat itu sehingga sampainya penjelajah Portugis di sana akan menjadi pencapaian yang amat penting bagi mereka. 

  Perlu diketahui bahwa sebelum ditemukannya kereta uap, perjalanan melalui laut adalah yang tercepat pada saat itu, sehingga mau tidak mau mereka harus mengitari Afrika untuk sampai ke Asia. Oleh karenanya, setiap ekspedisi yang dilakukan selalu berhenti secara teratur untuk mengumpulkan informasi mengenai geografi dan peradaban lokal di benua tersebut, jika ada. Hal ini ditujukan untuk memetakan geografi dan topografi pesisir Afrika sebagai keperluan navigasi untuk ekspedisi-ekspedisi selanjutnya. Di setiap titik terjauh yang dicapai, mereka selalu memasang sebuah pilar batu yang disebut Padro di dekat garis pantai sebagai checkpoint dan juga untuk menunjukan supremasi mereka dalam hal penjelajahan.

  Salah satu penjelajah Portugis yang paling fenomenal adalah Bartolomeu Dias. Ialah yang pertama mencapai ujung Afrika pada 1488. Ia berangkat dari Portugal pada Agustus 1487 dalam rombongan tiga kapal, transit di Kepulauan Canary, mengitari Cape Bojador, dan terus menyusuri pesisir barat Afrika hingga sampai di padro terjauh yang diletakkan oleh ekspedisi sebelumnya empat bulan kemudian. Selama ia menyusuri pantai Afrika setelah Teluk Guinea, sebenarnya ia melawan pergerakan angin dan arus (southeasterly winds dan arus Benguela). Ia sadar bahwa jika tetap melawan keduanya, ia tidak akan pernah sampai ke ujung Afrika dengan mengingat keterbatasan persediaan. 

  Oleh karenanya, ia memutuskan untuk mengambil langkah radikal. Ia melakukan volta do mar, hanya saja dalam arah yang berlawanan: ia berlayar ke barat menuju Samudra Atlantik, lalu berharap agar westerly winds mendorong mereka ke arah timur mengitari ujung Afrika. Sebulan kemudian, di lintang sekitar 38 derajat selatan, taruhannya membuahkan hasil. Northwesterly winds yang diharapkan muncul akhirnya benar-benar membawanya ke timur. Saat ia melihat daratan dan mengikuti garis pantainya, ia sadar bahwa mereka bergerak ke arah timur laut. 

  Hal ini hanya memiliki satu arti: ia berhasil mengitari ujung Afrika. Ia menjadi penjelajah Eropa pertama yang berhasil mengitari benua yang luas tersebut dan pencapaian ini merupakan hasil dari keberaniannya untuk mengambil suatu langkah yang tidak berani dilakukan oleh para penjelajah sebelumnya. Walau begitu, persediaan kapal dan awaknya hampir habis dan ia terpaksa untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, Dias melihat apa yang ia percayai sebagai ujung benua tersebut. Ia lalu menamainya Cape of Storms. Nama tersebut lalu diubah oleh Raja Joo II dari Portugal menjadi Cape of Good Hope.

Gambar 5. Padro di Cape Cross yang diletakkan oleh penjelajah Portugis, Diogo Co, di Namibia pada 1486. Sumber: Crowley (2016)
Gambar 5. Padro di Cape Cross yang diletakkan oleh penjelajah Portugis, Diogo Co, di Namibia pada 1486. Sumber: Crowley (2016)

Yuk langsung baca bagian selanjutnya untuk mengetahui lebih lanjut!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun