Mohon tunggu...
Re Ayudya
Re Ayudya Mohon Tunggu... Lainnya - Psikoedukator_Konselor

Enthusiast to Psychology and Education

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Duta

10 Juni 2013   11:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:15 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berjalan dalam kebingungan karena keadaan di sekitar begitu berbeda dengan keadaan di Negaraku. Di sini saling mengumpat, mencaci maki dengan kata-kata cabul begitu normal, bahkan mereka dengan sukacita melakukannya. Di Negaraku, orang yang berani melakukan itu semua, apalagi terang-terangan di pinggir jalan seperti itu, pastilah akan langsung ditangkap dan dipenjara.

“Hei, apa kamu lihat-lihat! Mau dihajar?! Heh? Hahahha. Dasar orang gila!”

Aku diam saja mendapat hardikan salah satu dari mereka dan saat mereka mulai mentertawakanku lagi, aku memilih meneruskan perjalananku. Aku harus segera sampai ke tempat tujuanku agar kebingungan ini segera terselesaikan. Aku membelokkan kaki ke arah jalan berbatu menuju hutan lebat. Keheningan hutan begitu nyaman di telingaku, setelah berhari-hari mendengarkan hiruk pikuk orang-orang yang mengajukan protes di jalan besar perkotaan begitu memekakkan telinga. Entahlah apa yang mereka protes, karena di Negaraku tidak pernah ada segerombolan orang yang berteriak di jalanan kota seperti itu.

Suara alam terdengar saat kakiku memasuki sejuknya hutan, melantunkan irama kedamaian. Ah, rasanya sudah lama sekali tidak merasakan kedamaian dan kesejukan seperti ini. Sudah sangat lama, sejak hidupku mulai dihiasi dengan cerita-cerita seronok, bahkan tempat tinggalku berada di antara orang-orang yang memiliki kebiasaan minum anggur hingga mabuk dan mulai berteriak melantur di tengah malam. Sering kali ketika hampir pagi aku dibangunkan dengan suara-suara perkelahian akibat kalah judi, kalah taruhan atau rebutan pelacur. Aku heran darimana asal permainan itu? Sungguh permainan yang dapat dengan sangat mudah membuat orang berkelahi bahkan kehilangan nyawa. Ah, aku harus segera menuju puncak bukit ini sebelum malam tiba.

Aku mulai merangkak menaiki bukit. Kembali kurenungkan awal mula penugasanku ke negara ini. Waktu itu aku tidak berpikir akan seberat ini melakukan tugas sebagai duta dari negaraku, karena ketika kubaca Surat Keputusan penugasanku dan daftar tugas yang harus kukerjakan, tidak ada pekerjaan yang berat ataupun sulit. Tugas-tugas itu sangat biasa dilakukan, karena sudah menjadi budaya masyarakat di negaraku. Semua aturan yang sudah menyatu dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sini?".

Tapi, ketika aku tiba di negara di mana aku ditugaskan, aku mendapati kebiasaan masyarakat di sini sama sekali berbeda dengan masyarakat di negaraku. Kalau pun aku melihat ada beberapa orang yang melakukannya, itu karena mereka adalah salah satu duta seperti diriku.

Hari hampir malam, aku harus bergegas. Sesampainya nanti, aku akan langsung melaporkan semuanya dan aku akan membujuk Raja agar dapat mengeluarkan Surat Keputusan kepulanganku. Hal ini sudah kupertimbangkan dengan matang. Semoga permohonanku dikabulkan sebelum aku menjadi betul-betul gila seperti umpatan para pemuda di pinggir jalan siang tadi.

Akhirnya aku tiba di pintu istana negaraku tepat tengah malam dengan dihiasi sinar bulan purnama. Pintu di buka oleh penjaga istana yang tersenyum ramah. Rasanya lama sekali tidak merasakan sukacita dan kedamaian seperti ini. Ya, itu adalah ciri khas negaraku. Damai dan sukacita.

Tidak membuang waktu, aku langsung menuju ke balkon istana, tempat rajaku sering menikmati sinar bulan purnama seperti malam ini. Benar saja, kudapati raja sedang duduk santai di kursi goyangnya menikmati sinar bulan, semilirnya angin dan memandang ke depan, pada sinar-sinar lampu kehidupan di bawah bukit.

Dengan terengah-engah karena seharian berjalan, aku mulai menyapa raja.

“Rajaku, apakah aku dapat bergabung menikmati sinar bulan malam ini?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun