Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Reformasi Birokrasi untuk Memerangi Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial

14 Maret 2017   17:20 Diperbarui: 14 Maret 2017   17:45 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS

Kita bersyukur bahwa sejak merdeka 71 tahun lalu, bangsa Indonesia secara umum mengalami perbaikan di berbagai bidang kehidupan, mulai dari infrastruktur, kesehatan, pendidikan, sampai ekonomi.  Namun, hingga kini Indonesia masih berstatus sebagai negara berkembang berpendapatan-menengah bawah dengan PDB perkapita 4.200 dolar AS (Bank Dunia, 2017), dan kapasitas IPTEK hanya di kelas-3 (UNESCO, 2016). Padahal, suatu negara bisa dinobatkan sebagai negara maju dan makmur (berpendapatan tinggi), bila kapasitas IPTEK nya berada di kelas-1 dan PDB perkapitanya diatas 11.750 dolar AS. 

Kinerja makroekonomi (pertumbuhan ekonomi dan PDB) Indonesia sejak 1970-an sampai sekarang tergolong bagus. Di masa Orde Baru (1970 – 1996) ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 7 persen/tahun, lalu turun hingga minus 9 persen pada saat krisis keuangan Asia (1997 – 1999), naik lagi menjadi rata-rata 5,5 persen/tahun pada kurun waktu 2000 – 2014, dan akibat perlambatan ekonomi global pada 2015 hanya tumbuh 4,88 persen dan tahun lalu 5,02 persen.  Besaran ekonomi (PDB) Indonesia pun cukup kinclong, yang saat ini mencapai 1,1 trilyun dolar AS atau terbesar ke-10 di dunia. Dan, dengan asumsi kondisi politik-ekonomi  tetap stabil atau membaik, pada 2030 diperkirakan akan mencapai 5,4 trilyun dolar AS atau terbesar ke-5 di dunia setelah China, AS, India, dan Jepang (Pricewaterhouse Cooper, 2017). 

Akan tetapi, persoalannya adalah jumlah pengangguran dan rakyat miskin hingga kini masih tinggi. Data BPS mengungkapkan bahwa jumlah pengangguran terbuka pada Februari 2016 sekitar 7,02 juta orang (5,5% total angkatan kerja sebanyak 127 juta orang) dan pengangguran semi-terbuka (disguished unemployment) sekitar 30 juta orang.  Banyaknya rakyat yang hidup di bawag garis kemiskinan (Rp 361.000/orang/bulan) mencapai 27,76 juta jiwa (10,7% total penduduk).  Bila kita menggunakan garis kemiskinan Bank Dunia, yakni 2 dolar AS/orang/hari (60 dolar AS/orang/bulan), maka rakyat Indonesia yang miskin sekitar 120 juta orang atau 47% total penduduk.

Dan, yang lebih mencemaskan bahwa kesenjangan antara kelompok penduduk kaya vs miskin kian melebar.  Hal ini dapat dilihat dari rasio GINI yang pada 2004 sebesar 0,31 meningkat menjadi 0,41 pada 2014 dan 2015, lalu sedikit turun menjadi 0,397 tahun lalu. Itu pun karena perhitungannya berdasarkan pada pengeluaran individu. Bila perhitungannya atas dasar pendapatan, maka rasio GINI tahun lalu sekitar 0,46.  Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2016, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% kue ekonomi nasional. Dalam hal kesenjangan kaya vs miskin, Indonesia merupakan negara terburuk keempat di dunia. Rusia merupakan negara terburuk, dimana 1% orang terkayanya menguasai 74,5% total kekayaan negaranya, diikuti oleh India dan Thailand dimana 1% orang terkayanya menguasai 58,4% dan 58% dari total kekayaan negaranya. 

Implikasi buruk

Sejumlah data dan fakta sosial-ekonomi diatas menunjukkan dua kesimpulan yang sangat penting.  Pertama, bahwa meskipun PDB Indonesia saat ini menempati peringkat-10 di dunia, tetapi karena penduduknya banyak, 256 juta jiwa (terbesar keempat di dunia, setelah China, India, dan AS), maka PDB perkapitanya masih rendah (4.200 dolar AS). Sebagai, perbandingan beberapa negara tetangga dengan potensi pembangunan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia, tingkat kemakmurannya (PDB perkapitanya) sudah jauh melampaui kita.  Contohnya, Singapura sebesar 52.000 dolar AS, Brunei Darussalam (42.000 dolar AS), Korea Selatan (40.000 dolar AS), Malaysia (10.900 dolar AS), Thailand (7.200 dolar AS), dan China (9.000 dolar AS).  Kedua, bahwa kue pertumbuhan ekonomi selama ini rupanya sebagian besar (lebih dari 75%) hanya bisa dinikmati oleh sekitar 20% penduduk kaya dan super kaya yang umumnya tinggal di kota-kota besar dan Jabodetabek. Menurut Oxfam (2017), saat ini kekayaan kolektif dari empat orang terkaya di Indonesia sekitar 25 miliar dolar AS (Rp 335 triliun) melampaui total kekayaan 40 persen penduduk termiskin, sekitar 100 juta orang.

Tingginya pengangguran dan kemiskinan dipastikan merupakan penyebab utama dari masalah gizi buruk dan rendahnya kualitas SDM yang terus menghantui bangsa ini.  Karena, sebuah keluarga yang orang tuanya menganggur atau miskin dengan pendapatan kurang dari 2 dolar AS (Rp 27.000) per hari, faktanya sangat sulit untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan yang sehat dan bergizi bagi anggota keluarganya.  Apalagi untuk memenuhi lima kebutuhan dasar manusia lainnya berupa sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi.  

Riskesdas (Riset Kesahatan Dasar) tahun 2016 mengungkapkan bahwa jumlah anak Indonesia (usia di bawah 15 tahun) yang menderita gizi buruk pada 2016 sebanyak 37,2% meningkat dari 35,6% pada 2010.  Lebih menyedihkan lagi, sekitar 8,8 juta anak balita mengalami stunting growth (tubuh pendek, tidak normal) akibat gizi buruk.  Jumlah anak balita bertubuh pendek di Indonesia merupakan yang terbesar kelima di dunia setelah Etiopia, Somalia, Zimbawe, dan Nigeria. Penderita gizi buruk khronis atau stunting growth, jika tidak segera ditolong, fisiknya akan lemah, mudah sakit, dan perkembangan otakanya terganggu.  Sehingga, akan melahirkan generasi yang lemah, kurang cerdas dan inovatif (a lost generation).

Selain rendahnya kualitas sistem pendidikan dan belum terwujudnya masyarakat meritokrasi, gizi buruk dan rendahnya status kesehatan mayoritas rakyat Indonesia akibat kemiskinan telah menyebabkan produktivitas dan kapasitas inovasi bangsa Indonesia berada di papan bawah diantara bangsa-bangsa di dunia.  Di kawasan ASEAN, produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya setara dengan 9.200 dolar AS/tahun.  Sementara itu, produktivitas tertinggi diraih oleh Singapura sekitar 92.000 dolar AS/tahun, diikuti oleh Malaysia (33.000 dolar AS/tahun) dan Thailand (15.400 dolar AS/tahun).  Rata-rata produktivitas tenaga kerja di  tingkat ASEAN sebesar 10.700 dolar AS/tahun.  Kapasitas inovasi bangsa Indonesia hanya berada pada peringkat-97 dari 141 negara yang disurvei.  Sebagai perbandingan, Singapura menempati peringkat-7, Malaysia ke-32, Thailand ke-55, Brunei Darussalam ke-62, Pilipina ke-83, dan Kamboja ke-83 (Cornel University, INSEAD dan Wipo, 2015). 

Apabila buruknya kualitas SDM dan rendahnya kapasitas inovasi akibat pengangguran dan kemiskinan yang masif itu tidak segera diperbaiki, maka peluang kita untuk dapat mengkapitalisasi bonus demografi pada 2020 – 2032 bakal terbuang percuma. Alih-alih, Indonesia bakal terjebak terus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income trap), alias tidak bisa naik kelas menjadi negara yang maju, sejahtera, dan berdaulat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun