Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemimpin yang Bermimpi, Bukan Pemimpi yang Memimpin

29 Agustus 2020   08:54 Diperbarui: 29 Agustus 2020   08:44 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.alembicstrategy.com/

Akibatnya, era Demokrasi Terpimpin menjadi era di mana Presiden Sukarno berkuasa secara diktatorial. Pola pengambilan keputusan terpusat di tangan presiden sebagai mandataris MPRS. Apalagi sampai terjadi pemberian jabatan "Presiden Seumur Hidup" pada tahun 1963.  

Sejak itu, berbagai krisis melanda negeri kita. Ekonomi kita goyah begitu parah sampai didera hiperinflasi 650%. Hubungan kita dengan negara tetangga juga buruk akibat konfrontasi dengan Malaysia. Terlebih lagi, energi bangsa kita tersedot menuju proyek mercusuar dan upaya merebut Irian Barat. Akibatnya, bangsa Indonesia malah kalut dan jatuh.

Bayangkan, pemimpin yang bermimpi saja bisa kehilangan arah. Apalagi kalau yang sebaliknya terjadi. Alias pemimpi yang memimpin. Para pemimpi ini sering tidak memiliki arah untuk mewujudkan impian yang ada dalam benak mereka. Sehingga, bangsa yang mereka pimpin justru berderap menuju kekacauan.

Lihat saja Mao Zedong atau Hugo Chavez. Keduanya sama-sama memiliki impian besar untuk bangsanya. Mao ingin menjadikan Tiongkok sebagai negara komunis terkuat di dunia. Sementara Chavez ingin membuat Venezuela kuat dan berdikari lewat jalur redistribusi dan state developmentalism. Namun apa yang terjadi? Impian keduanya tidak tercapai.

Justru, mereka memicu kekacauan dalam kehidupan bangsanya. They left their respective nations worst than they found it. Mao menciptakan bencana pangan lewat Lompatan Besar ke Depan (Great Leap Forward) dan bencana sosial lewat Revolusi Kultural (Cultural Revolution). Begitu pula dengan Chavez yang membentuk sebuah perekonomian yang tidak sehat, sampai rakyat Venezuela menderita kelaparan dan hiperinflasi tahun kemarin.

Jadi, kita harus bisa membedakan antara pemimpin yang bermimpi dan pemimpi yang memimpin. Pemimpin yang bermimpi memiliki arah yang jelas untuk menjemput impiannya. Sebaliknya dengan pemimpi yang memimpin. Mereka bak nahkoda tanpa kompas yang tak tahu arah tujuan.

Indonesia butuh pemimpin yang bermimpi. Tidak hanya satu, namun jutaan pemimpin yang bermimpi. Dan pemimpin itu dimulai dari dirimu.

REFERENSI

https://www.youtube.com/

https://www.thebalancecareers.com/

https://pwmu.co/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun