Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bu Risma, Nyok ke Jakarta!

22 Juli 2019   18:47 Diperbarui: 22 Juli 2019   18:54 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.suara.com

Pilkada DKI Jakarta masih tiga tahun lagi. Namun, sudah ada ribut-ribut politik perihal pesta demokrasi warga DKI ini. Mengapa? Pilkada DKI Jakarta dipandang oleh para pengamat sebagai simulasi pemilu secara nasional. Sama seperti midterm elections di Amerika Serikat. Siapa yang memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2022, pasti menyapu suara nasional di Pemilu 2024 mendatang.

Lantas, bagaimana peta kandidat untuk Pilkada DKI Jakarta 2022? Untuk saat ini, konstelasi kandidat Pilkada DKI Jakarta digambarkan sebagai sebuah two-horse race. Siapa saja kandidat-kandidat yang berlomba?

Sang petahana, Anies Baswedan pasti maju lagi. Menyadur lagu Raisa, Beliau berusaha memenangkan hati rakyat DKI untuk "kali kedua". Tujuannya jelas. Beliau ingin mengamankan hasil kerjanya serta menorehkan sebuah warisan kepemimpinan bagi DKI Jakarta. Baik secara politik, ekonomi, maupun sosial.

Bagaimana warisan kepemimpinan itu sejauh ini? Buruk dan inkonsisten. Itulah yang penulis tangkap. Kepemimpinan Gubernur Anies seperti sebuah counterrevolutionary insurgence yang menghentikan banyak perubahan dari era Jokowi-Ahok-Djarot. Kepemimpinan disruptif yang kita lihat dari 2012-2017 sudah sirna. He made Jakarta frozen in time.  

Dalam bidang politik, Beliau belum menentukan siapa yang menjabat wakil gubernur sampai detik ini. Dalam bidang ekonomi, penggratisan PBB untuk bangunan dengan NJOP < Rp 1 milyar dihapus. Sementara, dalam bidang sosial, kebijakan perumahan murah menjadi sebuah tipuan murahan. Ternyata, cicilannya mencapai 2,6 juta rupiah per bulan (Friana dalam tirto.id, 2019).

"Gubernur yang paling enak adalah yang nerusin saya," tandas Basuki Tjahaja Purnama dalam berbagai kesempatan. Gubernur Anies tentu merasakan manfaat ini. Siapa yang meresmikan Simpang Susun Semanggi? Mass Rapid Transit? Lapangan Banteng? Gubernur Anies Baswedan. Hampir semua proyek tersebut adalah warisan rezim Ahok-Djarot (liputan6.com. 2019).

Herannya, workflow dan policy framework yang diwariskan oleh Jokowi-Ahok-Djarot tidak dimanfaatkan sama sekali oleh Beliau. Menurut hemat penulis, inilah yang menyebabkan buruknya warisan kepemimpinan Beliau. Mengapa?

Workflow pemerintah yang dirubah total oleh Jokowi-Ahok-Djarot mempersingkat jarak antara masyarakat dan pemerintah. Jarak yang dipersingkat ini membuat masyarakat DKI lebih mudah untuk melaporkan masalah di lapangan. Mulai dari selokan mampet sampai jalan rusak bisa langsung dilaporkan. Mau mengeluh? Ingat Qlue. Itulah yang berlaku sejak tahun 2014.

Pada tahun 2018, Gubernur Anies meninggalkan platform yang sangat komprehensif ini. Masalahnya, Jakarta Aman sebagai aplikasi pengganti tidak mampu menyamai keandalannya. Kecanggihannya tidak secanggih Qlue yang berasal dari swasta. Tidak ada integrasi dengan pemerintah pusat. Karenanya, aplikasi ini lebih cocok dijadikan pelengkap dibandingkan pengganti Qlue (cnnindonesia.com, 2019).

Dampaknya, jarak pemerintah dengan masyarakat menjadi jauh kembali. Ketika jarak itu menjauh, kebijakan publik yang diambil menjadi tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kurangnya basis fakta inilah yang menciptakan blunder dalam pengambilan keputusan. Kasus yang terjadi akhir-akhir ini membuktikan argumentasi ini.

Lihat saja blunder getah-getih dan lidah mertua yang sedang nge-tren akhir-akhir ini. Menurut hemat penulis, keduanya bisa terjadi karena alur kerja pemerintah yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Alias nonsensical policies. Daripada mengurangi jumlah kendaraan dengan ERP, tanami saja lidah mertua untuk mengatasi polusi. Daripada memajang karya seni permanen, pasang saja getah-getih 6 bulan sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun