Angka di atas menunjukkan suatu indikasi yang jelas; Jejak karbon yang dihasilkan Indonesia sudah menurun. Tetapi, penurunan itu belum cukup progresif. It's good, but not good enough. Mengapa penulis berani mengatakan ini?Â
Ternyata, produksi jejak karbon dunia meningkat sebesar 46% di tahun 2019. Kini, jumlah karbon dioksida di dunia sudah mencapai 411,97 bagian per juta.Â
Padahal, untuk menunjang kualitas hidup manusia, kita harus memotongnya menjadi 350 bagian per juta (Cox dan Cohen dalam dunia.tempo.co, 2019). Bayangkan, kita harus memotong jejak karbon sampai 61,97 bagian per juta, kawan.Â
Fenomena ini terjadi meskipun hampir seluruh negara di dunia memiliki instrumen law enforcement untuk membatasi produksi karbon. Clean Air Act sudah berlaku di Amerika Serikat sejak tahun 1970.Â
Tiongkok pun sudah memberlakukan Environmental Protection Law sejak tahun 1979. Tetapi, keduanya masih menjadi dua negara produsen karbon terbesar dunia.Â
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa membuat regulasi baru bukanlah cara yang efektif. Ia tidak akan mampu menghalangi kenaikan produksi jejak karbon. Apalagi memutarbalikkan arah perubahan iklim. Sehingga, kita membutuhkan sebuah solusi baru untuk mengurangi jejak karbon.Â
Kebutuhan inilah yang mengarahkan kita menuju cara kedua. Cara ini menuntut pemerintah untuk merancang sebuah market-based policy untuk mengurangi produksi karbon; Carbon Tax atau Pajak Karbon.Â
Apa itu pajak karbon? Mengapa kita perlu pajak ini? Bagaimana cara pajak ini bekerja? Apa saja kelebihannya dibanding menambah regulasi? Kapan Indonesia bisa menerapkannya?Â
Pembaca pasti penasaran, bukan? Kita akan menjawabnya bersama-sama di bagian kedua tulisan ini. Akan terbit sebentar lagi lagi.Â