"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya," kata sebuah pepatah yang sering kita dengar. Pepatah ini adalah sebuah aksioma yang tidak bisa kita pungkiri sebagai ciptaan Tuhan. Pohon mangga pasti berbuah mangga, dan pohon durian pasti berbuah durian. Tidak pernah sebuah pohon durian berbuah cabai, bukan? Hal yang sama juga berlaku dalam hubungan orangtua-anak.
Mengapa yang demikian berlaku? Mengapa seorang anak akan menyerupai orangtuanya?
Pertama, orangtua adalah agen sosialisasi primer. Sosok ayah dan ibu memiliki kewajiban untuk mendidik serta menanamkan kebudayaan kepada anak-anaknya.
Kedua, proses pendidikan primer tersebut dilakukan melalui interaksi yang sering antara orangtua dan anak. Sehingga anak pasti mengikuti apa yang diajarkan dan dicontohkan oleh orangtuanya. Seperti buah yang tidak mungkin berkembang tanpa pohon, seorang anak tidak mampu berkembang tanpa didikan dari orangtua.
Maka dari itu, pendidikan dari orangtua sangat penting dalam menentukan kemajuan budaya suatu bangsa. Tanpa peran orangtua, maka budaya, bahkan masyarakat sebuah bangsa itu sendiri akan musnah.
Namun, pendidikan primer di rumah saja tidak cukup untuk menanamkan kebudayaan. Perlu sebuah agen sosialisasi sekunder, yaitu sekolah untuk ikut andil dalam proses tersebut.
Sebagai sebuah institusi, apa peran sekolah? Sebagai sebuah institusi pendidikan sekunder, sekolah harus berperan sebagai rumah kedua bagi anak muridnya, baik negeri maupun swasta.
Maka, setiap sekolah harus menjadi rumah kedua yang nyaman, kondusif, serta mampu menyokong kegiatan belajar mengajar yang efisien. Sehingga sekolah menguatkan pendidikan yang telah diberikan orangtua di rumah pertama, serta mengarahkan anak muridnya menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya.
Namun, apakah kenyataan berkata demikian? Tidak. Itulah kenyataan yang selama ini kita lihat di negeri ini.
Memang ada sekolah-sekolah yang berhasil mendidik murid-muridnya, dibuktikan dengan berbagai torehan prestasi yang diraih. Murid-muridnya berhasil memenangi berbagai olimpiade dan perlombaan. Sekolah-sekolah tersebut memiliki berbagai fasilitas pengajaran yang lengkap, guru-guru dengan kemampuan mengajar sangat baik, serta nama beken sebagai sekolah favorit.
Namun, masih banyak sekolah-sekolah di negeri ini yang kekurangan fasilitas pengajaran, guru-gurunya sering membolos serta mengajar asal-asalan, dan murid-muridnya hanya menjadi biang pembuat onar. Ini menunjukkan adanya sebuah kesenjangan kualitas pendidikan di negeri kita yang tak kunjung selesai meski kurikulum berganti.