"Untuk apa sekolah Mbah? Mulung tak perlu ijasah dapat duit!" Bukan keras tapi memecahkan seluruh pengeras suara, dan itu berasal dari Udi.
 "Mau bau terus!??" Hanya itu yang dilempar Mbah Muin. Lalu kakek tua itu berlalu.
Tumpukan sampah di pembuangan akhir serasa bergambar rupiah. Bau yang sampai ke hati terlalu mudah untuk ditumpas. Semua kalah dengan rupiah. Yah! Sudahlah, berapa ratus manusia di sana. Mana sampah mana manusia, kalah nonton konser. Situasi itu sudah cukup ramai bukan? Ternyata ada yang mau menambah riuh lagi, lalat -- lalat itu, ludah -- ludah itu. Ahhhh!.... Terlalu jorok untuk dibayangkan.
Baju putih Udi tak terlihat lagi warnanya, bahkan tulisan "OSIS" yang terpaku di sakunya telah lenyap. Harusnya dia naik kelas 2 SMP, tapi semua terasa gelap saat sebuah anggapan menyerang,"Mulung dapat duit, lah sekolah nggak ada yang ngasih duit." Padahal Mbah Muin selalu menyisihkan untuk keperluan Udi, termasuk uang saku.
Malam ini cerah, cahaya bintang mampu menerobos rumah bambu Mbah Muin. Secangkir kopi dengan singkong rebus mengisi meja tamu yang sudah lelah bertugas. Mbah Muin duduk sendiri, menanti Udi pulang sampai berujung lelah. Pria tua itupun membuka pintu berharap mampu melihat cucunya dari ujung gang. Ternyata gelagat cucunya belum juga mengisi pandangan. Tidur di kursi bambu pun jadi pilihan, tak peduli angin kencang menerpa, tak peduli batuk terus menyerang, tekadnya kuat menanti Udi di teras.
 2 jam kemudian
 Tubuh menggigil, wajah pucat, batuk tak kunjung reda, Mbah Muin menarik jaket hitamnya yang usang. Udi belum juga datang sampai semua berubah menjadi samar dan gelap, Mbah Muin tak mampu melihat apapun.
Tanpa salam, Udi memanggil, mengoyahkan tubuh kakeknya namun nol besar. Dengan satu bekal bernama nekad, Udi meminjam becak tetangga dan melarikan kakeknya ke rumah sakit.
Dari menit sampai ke jam, Udi hanya mondar mandir tak jelas di depan UGD. Tiba -- tiba, keluarlah dokter. "Kakeknya sudah siuman, beliau hanya kedinginan," tanpa menanggapi ucapan dokter , Udi langsung masuk lalu memeluk kakeknya erat.
 "Udi, Mbah sudah sembuh. Urus sana biayanya?" mendengar pernyataan itu, Udi celingak celinguk. Merogoh saku celana yang melompong. Beberapa kali remaja kurus kering itu menggaruk -- garuk rambutnya, bukan tanda kutuan tapi bingung tingkat akut.
 "Jadilah seperti bendera, posisinya selalu di atas, dihormati dan tentunya bermanfaat. Dengan begitu kamu akan bisa biayain Mbah kalau sakit," lagi, Mbah Muin bertutur.