Dibatu tersebut terdapat tulisan berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta dari periode Hindu dan Buddha yang ditulis oleh raja Adityawarman 56 sehingga batu ini dikenal juga sebagai batu basurek. Namun karena sudah aus, tulisan tersebut tidak bisa dibaca dengan jelas. Prasasti ini berbentuk setengah lingkaran yang dipahatkan pada sebuah batu monolit non-artifisial dan terdapat 6 baris tulisan dipermukaannya. Terdapat angka tahun yang sudah aus, tetapi dapat terbaca dua angka yang di depan, yaitu 12. Kondisi prasasti ini sudah terlalu aus, sehingga tidak memadai untuk dibahas lebih lanjut (Istiawan, 2006: 42). Batu pertama ini adalah sejenis batu vulkanik (trachyt) berukuran tinggi 1,6 m, lebar 2,6 m dan tebal 1,6 m. Sementara dua batu lainnya masih dalam proses dipugar dan diukur lebih lanjut. Pada batu pertama atau batu prasasti Pariangan ini terdapat sebuah mitos.
Mitos Batu Prasasti Pariangan tersebut berfungsi bukan sekedar penjelasan dalam suatu kepuasan, tetapi suatu kisah kebangkitan kenyataan yang diceritakan untuk memenuhi tuntutan tuntutan religius yang terdalam, hasrat-hasrat dan dorongan moral, kepatuhan-kepatuhan sosial, pernyataan-pernyataan yang bernilai positif dan bahkan kebutuhan praktis. Dalam masyarakat Pariangan yang bersahaja, mitos batu Prasasti Pariangan ini mempunyai fungsi hakiki yakni menggambarkan, memperkuat, dan mengintensifkan serta mencatat keyakinan-keyakinan. Mitos Batu Prasasti Pariangan memberikan kekuatan moralitas bagi kehidupan manusia (Kurnia & Monanda, 2015: 51-52). Mitos batu prasasti Pariangan ini tidaklah sebuah cerita tanpa arti, melainkan suatu kekuatan aktif yang hidup dan menjadi suatu unsur penting dalam peradaban manusia.
Batu kedua dari prasasti tungku tigo sejarang ini terletak di tanah kosong disekitar perumahan warga sementara batu ketiganya terletak di dekat pekarangan rumah salah satu warga sekitar disana. Batu kedua terletak disebelah kiri batu pertama sementara batu ketiga terletak disebelah kanan dari batu pertama. Jika ingin melihat dengan jelas ketiga batu tersebut membentuk segitiga seperti tungku dapat dilihat dari tingkatan atas rumah salah seorang warga yang terletak di bukit dibelakang batu pertama. Pengelola situs wisata prasasti Pariangan adalah BPCB Sumatera Barat. BPCB Sumatera Barat terakhir melakukan pendataan terhadap prasasti Pariangan pada bulan Mei 2017.
BPCB adalah singkatan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya. BPCB merupakan sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dibentuk oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia untuk secara khusus membidangi pengelolaan kepurbakalaan dengan wilayah kerja meliputi Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. BPCB Sumatera Barat berkedudukan di Provinsi Sumatra Barat, di 57 Kabupaten Tanah Datar tepatnya di Kota Batusangkar. Ketiga wilayah tersebut dipilih karena Sumatera Barat sebagai ranah Minangkabau dan Riau serta Kepulauan Riau sebagai ranah Melayu-Islam merupakan daerah dengan peninggalan sejarah dan purbakala yang jumlahnya banyak sekali di Indonesia. Terdapat Masjid tertua di Sumatera Barat dan juga tertua di Minangkabau berdiri ditengah-tengah prasasti ini bernama Masjid Ishlah.
https://e-journal.hamzanwadi.ac.id/index.php/jhm/article/view/4606
Afwadi. (2010). Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari: Antara Format Adat Atau Format Negara. Juris, 9(1), 47--60.
Amir, A. (2006). Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.
Amir, A. (2011). Adat Minangkabau pola dan tujuan hidup orang Minang. Jakarta: Citra Harta Prima.
Diradjo, IDS (2017). Tambo Alam Minangkabau Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Buku Alam Minangkabau Kristal Multimedia.