Tepat satu bulan setelah pementasan terakhir di tahun itu, meletuslah Peristiwa Lima Belas januari—atau yang lebih dikenal Peristiwa Malari—yang menewaskan sebelas pengunjuk rasa dan membumihanguskan ratusan kendaraan bermotor serta bangunan. Peristiwa yang berawal dari tuntutan mahasiswa mengenai pembatasan modal asing ini memang agaknya berada dalam konteks pada drama Mastodon dan Burung Kondor. Sindiran keras yang digelontorkan Rendra melalui Mastodon dan Burung Kondor sukses membuat pementasan ini dicekal karena dinilai berbau kontroversial dan terlalu keras menyinggung kekuasaan pemerintah. Pementasan ini bahkan dianggap memicu para aktivis mahasiswa yang terlibat dalam gerakan Malari, Januari 1974.
Pada 11-14 Agustus 2011 lalu, Bengkel Teater Rendra mengatasnamakan Ken Zuraida Project mementaskan ulang naskah ini dengan disutradarai oleh istri dari almarhum Rendra; Ken Zuraida, di Graha Bakti Budaya Jakarta, dan rencananya akan mementaskannya lagi pada 12-13 Januari mendatang di Universitas Padjajaran Bandung.
Untuk membaca naskah ini sesuai dengan pembacaan sosial era sekarang, dibutuhkan pendekatan komprehensif terhadap konteks sosial yang berkembang saat ini. Namun sebagai acuan, narasi besar yang ditawarkan Mastodon dan Burung Kondor masih cukup relevan dengan kondisi sosial kita saat ini, khususnya pada ranah politik pendidikan. Hanya saja penyesuaian yang dilakukan mesti berbarengan juga dengan pembacaan kondisi sosial yang teliti, namun tetap eksploratif dan terbuka dengan segala macam kemungkinan baru. Sebuah pembacaan yang mensyaratkan antusiasme yang sangat besar, namun tetap dalam kontrol yang tenang. Sebagaimana apa yang pernah dilontarkan Rendra dalam salah satu sajaknya;
“Kesadaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”
Tabik.
(Ra.Ya.P.)
Rawamangun, 7 Januari 2012.