Lebih jauh, pembacaan pada karya-karya Rendra mengenai konteks kekuasaan tidak hanya sebagai bangunan teks yang hanya hidup dalam ruang dan waktu tertentu, untuk kemudian mati menjadi fosil kesusastraan sebuah zaman. Karya-karyanya dalam, sebagai contoh, kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi memang dewasa ini sering dibaca hanya sebagai dokumentasi kesejarahan sebuah bangsa. Namun begitu, pembacaan yang tidak hirau akan biografi teks akan mengantar pembacaan yang tidak lekang oleh waktu pada pemaknaan biografi kekuasaan. Disinilah salah satu letak ke-universalitas-an karya-karya Rendra.
Kita bisa melihat ini dalam drama Mastodon dan Burung Kondor yang mengambil settingnya di sebuah negara Latin adalah sebuah gambaran narasi kekuasaan yang setidaknya pernah dialami di hampir kebanyakan negara berkembang.[4] Dalam narasi semacam ini, peran militer bukan lagi sebagai penjaga kedaulatan negara dari ancaman negara-negara lain, melainkan sebagai penopang kekuasaan yang efektif dalam meredam oposisi. Sementara diseberangnya, pihak oposisi dengan kekuatan intelektualnya menghendaki perubahan yang cepat dan terorganisir secara gerakan, namun melupakan pentingnya kematangan masyarakat untuk terus mengevaluasi dirinya—lalu akhirnya terjebak dalam doktrin-doktin dan takhayul-takhayul baru yang menggantikan teks yang mapan sebelumnya.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, ini mengingatkan kita tentang kesejarahan Indonesia di penghujung era Orde Lama dimana kekuasaan ditumbangkan oleh kekuatan intelektual gerakan mahasiswa—yang dibantu oleh perpecahan yang terjadi dalam tubuh militer saat itu—melahirkan dan ikut melanggengkan sebuah orde kekuasaan berikutnya; Orde Baru. Lalu selanjutnya, sebuah letupan sosial yang menandakan Peristiwa Malari di tahun 1970-an melahirkan tokoh yang menjadi tulang punggung orde kekuasaan pasca reformasi seperti alm. Sjahrir. Dan pada akhirnya, gerakan reformasi yang melengserkan rezim Orde Baru justru menjadi sebuah orde kekuasaan paling mutakhir yang justru lebih halus lagi gelagat politiknya dalam melanggengkan praktek-praktek penghisapan manusia atas manusia dan kemanusiaan.
Pergantian teks yang berkelaluan ini sangat berkesesuaian dengan narasi dalam Mastodon dan Burung Kondor, pun sudah 66 tahun Indonesia menyandang gelar negara berkembang. Perubahan sosial yang terjadi seiring dengan perubahan teks pada jargon-jargon yang dicorongkan pemerintah—serta perubahan afiliasi ideologi negara serta perubahan oknum-oknum yang memegang tampuk kekuasaan—sedari jargon-jargon kemerdekaan (1945), revolusi (1959 -1965), pembangunan (1966-1998), sampai jargon-jargon tentang reformasi, otonomi dan keterbukaan (1998-sekarang). Nyatanya, kesemuanya ini hanyalah alat pihak penguasa dalam menjaga kestabilitasan kekuasaan, namun tidak secara mengakar meniadakan praktek-praktek ketidakadilan.
Rendra, Pendidikan, dan Kekuasaan
Rendra termasuk salah satu seniman yang peka terhadap masalah pendidikan di Indonesia. Ia menanggapi permasalahan dalam pendidikan kemudian melukiskannya menjadi karya-karya. Pada sebagaian karya-karyanya, dapat disimpulkan permasalahan yang ada, antara lain soal kesenjangan antara teori dan praktek. Sebagai contoh, dalam kelas-kelas murid-murid dijejali dengan teori-teori dan rumus-rumus yang harus dihafal agar lulus ujian. Mereka tidak mendapat pembelajaran praktek. Mereka terlalu dan selalu mengacu pada buku. Akibatnya dalam realita mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena kehidupan nyata tidaklah sama dengan buku. Mereka pun merasa asing , seperti yang digambarkan dalam Sajak Seonggok Jagung di Kamar;
“Aku bertanya :
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, lembaga-lembaga pendidikan, yang daya hidupnya buntu dikarenakan terlalu textbook, pada akhirnya hanya menjadi alat untuk menginternalisasikan nilai-nilai dan ideologi yang sesuai dengan praktek pemeliharaan kekuasaan pihak status quo.[6] Sementara itu, perkembangan pemikiran kaum intelektual yang bersikap kritis dengan pemerintah, yang biasanya digodok dalam diskusi-diskusi liar, akan selalu menubruk kekuatan represif baik oleh pihak militer resmi pemerintah maupun bentuk-bentuk kepanjangan tangannya di masing-masing lembaga pendidikan.[7] Bilapun tidak, kekuatan kritis ini akan diselewengkan kekonsistensiannya oleh bentuk-bentuk budaya pop yang lebih menekankan hedonisme dibandingkan sikap kritis.
Namun begitu, para intelektual yang tetap bersikap kritis serta selamat dari tekanan dan godaan ini (contoh: beban sks, lama kuliah, kegiatan kampus, gaya hidup, alkohol, drugs, pergaulan bebas—oww… shit man!—, etc.) cenderung mengambil jalan yang cepat tetapi destruktif untuk mengusahakan perubahan sosial.[8]
Sebuah paradigma agung mengenai pendidikan yang sejatinya membebaskan manusia mendapatkan tantangannya ketika ini harus dihadapkan dengan praktek-praktek politik di dunia pendidikan. Ini diperparah pula dengan campur tangan pihak-pihak asing yang ingin menanamkan pengaruhnya hingga menjangkau ruang-ruang kelas lembaga pendidikan.
Pada akhirnya, walau narasi kekuasaan di ranah pendidikan semacam ini kembali bermuara pada relasi kuasa yang berlaku pada masing-masing orde kekuasaan, pada akhirnya basis dari politik ini tetap melahirkan struktur sosial yang selalu memposisikan rakyat kecil sebagai korban yang mengalami ketidakadilan terburuk. Melalui mulut Yose Karosta, dalam Mastodon dan Burung Kondor Rendra menggambarkan;