Mohon tunggu...
Rayhan Fakhriza
Rayhan Fakhriza Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiwa

Mahasiswa biasa yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jakarta Vs Everybody, Sebuah Realita Milenial Ibu Kota

23 Juni 2020   07:30 Diperbarui: 23 Juni 2020   07:40 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertama saya ingin mengucapkan Selamat Hari Ulang Tahun Kota Jakarta yang ke-493. Jakarta sebagai mercusuar peradaban Indonesia semoga bisa menunjukkan serta menjaga kearifan dan keluhuran peradaban bangsa. Manusia Jakarta dengan segala kemampuan digital yang dimiliki akan menjadi harapan bangsa di kemudian hari.

Saya ingin sesekali menulis tentang Ibukota. Tetapi kali ini bukan pesonanya yang ingin saya bahas, melainkan masa depannya. Masa depan Ibukota, masa depan Indonesia. Kira-kira kalimat itu yang akan menggambarkan tulisan saya kali ini. Masa depan Ibukota yang saya maksud adalah masa depan ibukota yang dipegang oleh anak mudanya, Generasi Milenial.

Bagi saya, merantau adalah memperluas koneksi. Bukan hanya sekadar pengalaman, melainkan koneksi dengan orang-orang baru. Saat saya memutuskan untuk menjadikan Kota Surabaya sebagai kota studi saya, saya sangat yakin. Karena bagaimanapun juga, memperluas koneksi akan memperbaiki kualitas berpikir, itu yang saya pikir.

Tetapi pada saat saya berada di perantauan, yang terjadi adalah saya lebih suka berkawan dengan orang-orang dari daerah. Entah kenapa, bahasan mereka lebih masuk akal di telinga. Mereka juga lebih santun dan kalau di tulisan saya sebelumnya, "Ngajeni" atau menghargai pendapat orang.

Saya menikmati pembicaraan dalam bahasa jawa. Atau ada beberapa pembicaraan yang saya jalani dengan sedikit bahasa sunda dengan teman saya asal Bandung. Tetapi menggunakan bahasa daerah terasa menyenangkan dan menenangkan di hati.

Hanya saja, ada satu kejanggalan yang saya temukan. Tidak semua pembicaraan dalam bahasa daerah dimengerti oleh orang Jakarta. Sebetulnya kalau dilihat secara kasar kita mungkin bisa menyimpulkan, "Lha kan mereka orang Jakarta, belum tentu mengerti bahasa daerah".

Bahasa hanya permulaan teman-teman. Terkadang apabila orang sudah tidak mengerti bahasa yang digunakan, mereka akan mencari orang-orang yang berbicara dengan bahasa yang sama dengan mereka. Kemudian akan mengalir menjadi pembicaraan dengan topik yang "nyambung" dengan telinga mereka.

Apakah ada masalah tentang itu semua? Tentu saja tidak teman-teman. Saya rasa tidak akan jadi masalah apabila seseorang menemukan lingkaran pertemanan tertentu yang mereka sukai.

Dalam lingkaran mereka, terkadang mereka membawa pula kebiasaan-kebiasaan yang ada di kota besar seperti Jakarta. Dari mulai sifat konsumtif, membiasakan budaya dan pemahaman global, sampai kurangnya menghargai kearifan setempat seperti tata karma dan sebagainya.

Bahkan terkadang, banyak orang yang berada di perantauan namun menghindar dari tata krama serta kebiasaan setempat. Pertanyaan besar yang ada di kepala saya adalah, "kalau mereka merantau ke daerah, siapa yang harus beradaptasi? Para perantau atau orang yang tinggal di sana?".

Saya teringat sebuah pelajaran tentang peribahasa, "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Sebuah peribahasa yang sangat dalam artinya. Dimanapun kita berada, kita harus mematuhi adat yang berlaku di sana. Maka sebetulnya bukan pertemanannya yang salah, melainkan dampak negatif yang bisa ditimbulkannya bagi daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun