Kedokteran nuklir adalah satu pelayanan radiologi yang menggunakan bahan radioaktif dalam dosis kecil yang dimana memiliki manfaat yang signifikan dalam mendeteksi dan pengobatan untuk penyakit seperti kanker. Bahan radioaktif ini disebut radiofarmaka. Menurut BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir), radiofarmaka adalah senyawa yang ditandai dengan label radioaktif dalam tempat penyimpanannya, yang memenuhi syarat untuk digunakan dalam diagnostic, terapi dan penelitian.
Namun di balik keuntungan ini, terdapat potensi resiko terpapar radiasi terutama jika dosis yang diberikan tidak sesuai. Secara khususnya, paparan radiasi ini disebut dengan radiasi pengion, merupakan radiasi yang dapat merusak jaringan hidup, termasuk DNA dan sel yang berpotensi menimbulkan efek kesehatan serius seperti kanker dan luka bakar jika dosis yang digunakan tinggi. Contoh dari radiasi pengion adalah sinar alfa, beta, neutron, sinar-X dan gamma. Pekerja juga akan menerima dosis akumulatif dalam dosis kecil secara terus menerus selama masa bekerja. Itulah sebabnya dibutuhkan protokol proteksi radiasi baik kepada petugas, pasien, maupun masyarakat sekitar yang bertujuan untuk meminimalisir efek dari radiasi pengion.
Secara khusus, dalam kedokteran nuklir, sebagai contoh radiasi dan prosedur diagnostik serta terapi yang sering digunakan adalah:
- Radiasi gamma, contohnya menggunakan radionuklida Tc-99m dan dideteksi dengan kamera gamma untuk menghasilkan citra organ atau jaringan.
- Radiasi positron, seperti fluor-18 yang dideteksi oleh scanner PET (Positron Emission Tomography) untuk menghasilkan gambar tiga dimensi dengan resolusi tinggi.
- Radiasi beta dan alfa, untuk menghancurkan sel-sel kanker atau jaringan yang tidak normal, contohnya terapi radioiodin (I-131) untuk pengobatan kanker tiroid dan beberapa jenis terapi radioimunoterapi.
Seluruh radiasi dan radiofarmaka yang digunakan di atas termasuk kedalam radiasi pengion, yang dimana seluruh prosedurnya harus mengikuti 3 prinsip dasar proteksi radiasi yang dimana di Indonesia sesuai dengan BAPETEN, yaitu:
- Justifikasi, adalah proses penilaian dan menimbang apakah manfaat yang diterima lebih besar dari resiko yang didapat pasien ketika melakukan pengobatan dan diagnostic terutama ketika memanfaatkan radiasi pengion.
- Optimisasi (ALARA/As Low As Reasonably Achievable), adalah prinsip untuk meminimalisir dosis paparan ketika melakukan diagnostic dan pengobatan ketika menggunakan radiasi pengion, namun tetap mendapat hasil yang diinginkan.
- Limitasi, adalah batas dosis yang dapat diterima oleh pekerja radiasi dan Masyarakat dalam jangka waktu tertentu, yang ini juga diatur oleh BAPETEN. Pekerja radiasi memiliki batas 20 mSv/tahun dan untuk masyarakat 1 mSv/tahun.
Selain mengikuti tiga prinsip proteksi radiasi yang ditetapkan BAPETEN, masih ada usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalisir efek dari radiasi pengion, yang dimana masih termasuk ke dalam prinsip ALARA, diantaranya:
- Penggunaan teknologi pencitraan yang lebih canggih dengan dosis yang lebih rendah, contohnya dalam diagnostic menggunakan pemeriksaan SPECT scan dan PET scan yang memiliki dosis paparan yang lebih rendah disbanding batas dosis tahunan.
- Pelatihan dan pendidikan yang tepat untuk pekerja radiasi dan tenaga kesehatan, tenaga medis, termasuk dokter, teknisi, dan fisikawan medik, harus mendapatkan pelatihan dan pendidikan yang memadai mengenai prinsip proteksi radiasi, penggunaan alat, serta prosedur keselamatan. Hal ini penting agar mereka mampu menerapkan teknik pengurangan dosis dan menjaga keselamatan diri serta pasien
- Penggunaan pelindung dan penghalang radiasi (shielding), seperti dinding timbal, apron timbal, kacamata khusus, gonad shield, dan tiroid shield sangat penting untuk mengurangi paparan yang diterima. Namun penempatan shielding harus disesuaikan dengan sumber radiasi yang digunakan, tata letak ruang dan jenis pemeriksaan yang akan dilakukan. Sebagai contoh secara umum, dinding pada instalasi radiologi harus dilapisi timbal 2 mm, atau bata merah yang memiliki ketebalan 25 cm, bisa juga menggunakan beton setebal 20 cm dengan kerapatan minimal 2,2 gr/cm3
- Prinsip Waktu, Jarak dan Pelindung, dimana waktu mengurangi durasi paparan, memperbesar jarak dari sumber, dan menggunakan alat pelindung seperti apron dan dinding timbal
- Pemantauan dan pengecekan alat secara rutin untuk mencegah adanya kebocoran serta kalibrasi alat agar dosis yang dikeluarkan tetap dalam batas aman sesuai standar Nasional. Contohnya pada tahun 2021, secara bertahap BAPETEN menyediakan TPD (Tingkat Panduan Diagnostik) untuk pengoptimalan dosis CT Scan, fluoroskopi, kedokteran nuklir dan radiografi umum.
Pelayanan kedokteran nuklir di Indonesia wajib mengikuti pedoman keselamatan radiasi yang ditetapkan oleh badan Nasional seperti BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) dan mengikuti standar badan Internasional seperti WHO (World Health Organization) dan secara khusus nya mengikuti standar IAEA (International Atomic Energy Agency). Badan ini yang akan mengatur aspek perizinan, pengendalian dosis, pelatihan tenaga kesehatan, pengawasan mutu alat dan prosedur serta pedoman pelaporan insiden radiasi untuk menjamin keselamatan pekerja dan petugas. Sistem pelaporan insiden radiasi wajib diterapkan untuk mendokumentasikan setiap kejadian yang berpotensi membahayakan keselamatan radiasi. Data insiden ini digunakan untuk evaluasi dan perbaikan prosedur secara berkelanjutan.
Proteksi radiasi dalam pelayanan kedokteran nuklir sangat penting untuk menjaga keselamatan pasien, tenaga medis dan masyarakat umum. Prinsip utama yang harus diterapkan meliputi justifikasi (memastikan prosedur benar-benar diperlukan), optimisasi (menjaga dosis radiasi serendah mungkin sesuai prinsip ALARA), dan limitasi dosis (mematuhi batas dosis yang ditetapkan oleh regulasi). Implementasi teknologi canggih, pelatihan tenaga kesehatan, penggunaan alat pelindung, serta pengawasan dan pemeliharaan peralatan secara rutin merupakan langkah strategis dalam mengurangi risiko paparan radiasi. Selain itu, kepatuhan terhadap regulasi nasional dan internasional serta pelaporan insiden radiasi mendukung peningkatan keselamatan secara berkelanjutan.
Optimalisasi dalam protokol proteksi radiasi tidaklah instant, melainkan proses berkelanjutan yang harus selalu diperbaiki seiring dengan perkembangan teknologi. Ke depannya, proteksi radiasi di bidang kedokteran nuklir akan terus semakin canggih dan mengandalkan inovasi untuk mengurangi dosis tanpa menurunkan kualitas hasil diagnostik dan terapi. Penguatan regulasi, meningkatkan kualitas dan kuantitas terutama untuk pekerja radiasi, serta integrasi sistem pengawasan yang lebih canggih akan memperkuat budaya keselamatan radiasi. Dengan demikian, pelayanan kedokteran nuklir di Indonesia akan semakin aman, efektif, dan berkelanjutan.
Referensi