"Atheis" mendengar judul novelnya saja pasti kita berpikir dua kali untuk membacanya. Seseorang yang mendengar judulnya pasti menyampaikan "hati-hati" untuk membacanya. Tapi layaknya sebuah novel, pasti tersisipkan sebuah amanat di dalamnya. Novel karya Achdijat Karta Mihardja ini berjumlah hampir 300 halaman yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Mendengar kata ateis, memangnya apa sih ateis itu?
Kamus besar bahasa Indonesia mengatakan bahwa ateis adalah orang yang tidak percaya akan adanya tuhan. Secara umum, ateis merupakan sebuah pandangan filosofi yang percaya bahwa tidak adanya keberadaan tuhan atau dewa mana pun. Orang ateis percaya bahwa tuhan itu tidak ada dan sering diasumsikan oleh orang lain sebagai orang yang tidak mempunyai agama.
Novel Atheis menceritakan tentang seseorang yang tengah dilanda kebingungan akan pergolakan iman di dalam dirinya. Hasan, digambarkan dalam novel ini seorang pria desa yang taat agama dan dari keluarga yang taat agama pula. Sedari kecil, dia sudah ditanamkan nilai-nilai keislaman oleh kedua orang tuanya. Menginjak dewasa, dia harus pergi ke kota bandung untuk bekerja dan disanalah pergejolakan iman dia dimulai. Hasan bertemu dengan teman lamanya, yaitu Rusli dan berkenalan dengan teman baru pula, yaitu Kartini. Ternyata mereka berdua adalah orang yang jauh dari tuhan, bahkan Hasan mencurigai kalau mereka adalah orang yang tidak percaya akan adanya tuhan. Terbukti ketika Rusli dan Kartini sering mengajak Hasan ke bioskop, dipikirannya bioskop merupakan sebuah tempat yang kotor dan tidak baik. Hasan semakin yakin pula, terutama saat dia menyinggung soal tuhan ketika sedang berbincang dengan Rusli dan Rusli yang senang memakai logika pun menceritakan kehebatan manusia, bahkan dia menyamaratakan manusia dengan tuhan seperti penggalan berikut.
Keluarlah kata-kata dari mulutku sebagai pembukaan untuk memukul Rusli dengan agama.
"tapi apa artinya kepandaian manusia itu, bila dibandingkan dengan kepandaian Tuhan yang menciptanya."
Dengan tak kusangka-sangka, Rusli menjawab... "Dan saya yakin, bahwa pada suatu saat, entah sepuluh tahun lagi, entah seratus tahun lagi, entah seribu, dan pengetahuan manusia itu akan sedemikian majunya, sehingga ia akan sanggup menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati."
Astagfirullah, dia mengaco! pikirku. (Achdiat Karta Mihardja. Atheis, 1949: 65)
Dari kejadian-kejadian tersebut Hasan mulai sedikit ragu untuk mengislamkan Rusli dan Kartini, mereka mempunyai argumen-argumen yang kuat, terkadang justru Hasan yang malah terbuai di dalamnya dan ditambah pula dia sudah dimabuk asmara oleh Kartini. Pada suatu hari Hasan diajak ke sebuah restoran oleh Kartini dan Rusli, lalu diperkenalkannya Hasan dengan kedua teman Rusli, yaitu Bung Parta dan Anwar yang ternyata tidak jauh beda dengan Rusli dan Kartini.
"Tuhan itu tidak ada. Yang ada ialah teknik. Dan itulah tuhan kita! Sebab tekniklah yang memberi kesempatan hidup bagi kita." Begitulah kata Bung Parta menegaskan lagi uraiannya (Achdiat Karta Mihardja. Atheis,1949: 121)
Hari demi hari dilalui dan seringnya mereka bertemu dan bertukar pikiran membuat Hasan terus mengalami pergolakan terhadap imannya. Sampai pada titik puncaknya, dia sudah jarang puasa bahkan salat sekalipun. Dapat kita lihat pada sebuah penggalan berikut.
"Kini rajinlah sekali aku belajar. Dan dalam hal ini, pengaruh Kartini besar sekali.... Apa yang dulu tidak pernah terjadi, sekarang seolah-olah menjadi suatu kebiasaan bagiku: mencari buku-buku politik di toko-toko buku atau pada tukang-tukang loak.... Seperti lima-enam bulan yang lalu aku sangat rajin beribadat, melakukan sembahyang, puasa dan lain-lain, maka sekarang aku rajin membaca buku dan bertukar pikiran dengan Rusli atau kawan-kawan lain. Sembahyang hanya kadang-kadang saja lagi kulakukan, yaitu apabila aku merasa terlalu berat tertimpa oleh tekanan kesedihan yang tak terpikul lagi oleh batinku. Puasa sama sekali sudah kupandang suatu perbuatan yang sesat...." (Achdiat Karta Mihardja. Atheis, 1949: 135)
Pada akhirnya, hal yang dikhawatirkan oleh Bapak dan Ibunya Hasan terjadi, yaitu melihat anaknya di kota orang dan jauh dari agama akibat pergaulannya. Hingga, Hasan dan Kartini pun menikah. Meskipun tidak disetujui oleh orang tuanya, Hasan tetap melakukannya. Walaupun berakibat pada putusnya hubungan dia dengan keluarganya.
Hari demi hari Hasan lewati, hingga pada akhirnya dia jatuh sakit dan mulai retaknya rumah tangga dia dengan kartini. Lambat laun, di akhir sisa hidupnya dia mulai tersadar dengan apa yang dilakukannya dan meminta maaf kepada Tuhan atas semuanya. Walaupun dia merasa tidak pantas, tapi di akhir hayat dia sempat merasa bersalah dan meminta maaf.
Berdasarkan sedikit penggalan cerita di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa lingkungan pertemanan sangatlah berpengaruh bagi keyakinan seseorang, terlebih jika seseorang tersebut tengah mengalami pergejolakan iman pada dirinya. "Jika kamu berteman dengan penjual minyak wangi, maka kamu akan kebagian wanginya dan jika kamu berteman dengan tukang besi, kamu pun kebagian percikan besinya." Sebuah penggalan yang sering kita dengar bukan? Sebenarnya dalam penggalan tersebut secara tidak langsung sudah menjelaskan bagaimana sangat berpengaruhnya lingkungan pertemanan. Â Oleh sebab itu kita harus punya pendirian yang kuat dan harus memilah dalam memilih lingkungan pertemanan.
Objek kajian
Mihardja, Achdiat Karta. Atheis. Jakarta: Balai Pustaka. 1949.
 Daftar Pustaka
Ismailview.com/ Pandangan Islam Atas Tren Ateisme di Barat diakses pada 3 Mei 2023 pukul 09.00 WIB.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Ateis diakses pada 5 Mei 2023 pukul 09.00 WIB.
Liputan6.com/ Ateis adalah Orang yang Tidak Percaya Adanya Tuhan, Pahami Bedanya dengan Agnostik diakses pada 3 Mei 2023 pukul 10.00 WIB.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI