Kearifan lokal merupakan bagian penting dari identitas budaya bangsa yang dapat menjadi dasar pengembangan karakter dan tata kehidupan masyarakat. Salah satu kearifan lokal yang paling dikenal di Bali adalah Tri Hita Karana, yang secara harfiah berarti "tiga penyebab kebahagiaan." Konsep ini mengajarkan tentang pentingnya menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara tiga hubungan utama: manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan).Filosofi ini menjadi dasar bagi masyarakat Bali dalam mengatur kehidupan sosial, tata ruang, hingga praktik pendidikan. Lebih dari itu, Tri Hita Karana kini dianggap sebagai nilai universal yang relevan dengan pembangunan berkelanjutan, arsitektur ramah lingkungan, dan pendidikan karakter abad ke-21.
Modernisasi dan globalisasi telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk tata ruang dan sistem pendidikan. Dalam konteks arsitektur Bali, perubahan pola hidup dan meningkatnya komersialisasi lahan akibat pariwisata menyebabkan bergesernya nilai-nilai tradisional yang semula berlandaskan keseimbangan spiritual dan ekologis. Arsitektur modern yang lebih menonjolkan estetika visual dan fungsi ekonomi sering kali mengabaikan makna filosofis yang terkandung dalam Tri Hita Karana.
Selain itu, di dunia pendidikan, perkembangan digitalisasi membawa kemajuan dalam teknologi pembelajaran, tetapi juga menimbulkan tantangan terhadap pembentukan karakter siswa. Tanpa landasan nilai-nilai spiritual, sosial, dan ekologis, proses pembelajaran dapat kehilangan makna kemanusiaannya. Oleh karena itu, integrasi nilai-nilai Tri Hita Karana menjadi solusi penting untuk membangun sistem pendidikan dan perencanaan wilayah yang tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga pada keseimbangan hidup dan pelestarian lingkungan.
Implementasi Tri Hita Karana dalam Tata Ruang Wilayah
Tri Hita Karana merupakan dasar konseptual dalam tata ruang tradisional Bali yang tercermin dalam beberapa konsep turunan, yaitu Tri Angga, Tri Mandala, dan Sanga Mandala.
- Konsep Tri Angga menekankan struktur vertikal ruang seperti tubuh manusia: Utama Angga (kepala), Madya Angga (badan), dan Nista Angga (kaki). Dalam arsitektur rumah Bali, area suci seperti sanggah atau merajan ditempatkan di bagian Utama Angga, bangunan utama di bagian Madya Angga, dan area servis seperti kandang atau tempat pembuangan di Nista Angga.
- Konsep Tri Mandala membagi ruang menjadi tiga zona horizontal, yaitu Utama Mandala (suci), Madya Mandala (peralihan), dan Nista Mandala (profane). Pembagian ini mengatur fungsi ruang secara hierarkis berdasarkan tingkat kesuciannya.
- Konsep Sanga Mandala memperluas pembagian ruang menjadi sembilan area yang mewakili arah mata angin dan pusat keseimbangan kosmos. Konsep ini juga menggambarkan hubungan spiritual manusia dengan manifestasi Tuhan serta siklus kehidupan.
Implementasi Tri Hita Karana dalam tata ruang meliputi:
- Parahyangan, dengan penempatan tempat suci seperti pura atau sanggah di arah timur laut (kaja-kangin) yang dianggap paling suci.
- Pawongan, melalui keberadaan bale banjar atau balai desa sebagai tempat masyarakat berkumpul, berinteraksi, dan bermusyawarah.
- Palemahan, diwujudkan dalam pengelolaan lingkungan melalui sistem irigasi subak, pekarangan hijau, serta pengaturan pembuangan limbah agar tidak mencemari sumber air.
Namun, pelaksanaan nilai-nilai tersebut menghadapi tantangan seperti:
- Arus modernisasi dan gaya arsitektur global;
- Tekanan ekonomi dan komersialisasi lahan;
- Lemahnya penegakan aturan lokal;
- Urbanisasi yang tidak terkendali.
Kondisi ini menegaskan pentingnya revitalisasi nilai-nilai Tri Hita Karana dalam kebijakan pembangunan dan tata ruang berkelanjutan.
Integrasi Tri Hita Karana ke dalam Kurikulum dan Pengajaran
Integrasi Tri Hita Karana dalam pendidikan bertujuan menanamkan nilai spiritual, sosial, dan ekologis kepada siswa melalui proses pembelajaran yang bermakna. Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas pendekatan ini dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
Budiarta (2023) dalam Blantika: Multidisciplinary Journal menyatakan bahwa penerapan model discovery learning berbasis Tri Hita Karana mampu meningkatkan motivasi belajar siswa. Penelitian lain dalam Jurnal Pendidikan dan Pengajaran menunjukkan bahwa model guided inquiry learning dengan integrasi Tri Hita Karana meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa.