kebijakan luar negri Amerika Serikat (AS) di Asia Tenggara terus menjadi perbincangan strategis, terutama dalam konteks persaingan geopolitik dengan China. Berdasarkan laporan "The Future of American Policy in Southeast Asia" oleh Bilahari Kausikan, terlihat bahwa pengaruh AS di kawasan ini mengalami dinamika yang kompleks, dengan mayoritas elite ASEAN (50,5%) kini lebih condong ke China dibandingkan AS. Namun, di sisi lain, tingkat ketidakpercayaan terhadap China juga tinggi, yakni 73,5% dalam aspek politik dan strategi, serta 67,4% dalam pengaruh ekonomi.
Dari perspektif BEM Nusantara Wilayah Gorontalo, kebijakan AS di Asia Tenggara tidak hanya berimplikasi pada isu geopolitik makro, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan mahasiswa dan masyarakat Indonesia. Beberapa poin penting yang perlu disoroti:
1. Dominasi Ekonomi China vs. Keamanan AS: ASEAN Harus Punya Kemandirian
Data dari laporan menunjukkan bahwa China diakui sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dengan 59,5% responden menganggapnya sebagai kekuatan ekonomi utama, jauh di atas AS (14,3%). Namun, AS tetap lebih dipercaya sebagai mitra strategis (42,4% dibanding 24,8% untuk China).
Bagi mahasiswa dan generasi muda, ini menjadi pelajaran penting bahwa ASEAN, khususnya Indonesia, tidak boleh sekadar menjadi objek dalam pertarungan geopolitik. Kita harus berupaya membangun kemandirian ekonomi, teknologi, dan pertahanan agar tidak selalu berada di bawah bayang-bayang negara besar. Ini sejalan dengan konsep Gorontalo Empowerment yang digaungkan oleh BEMNUS Gorontalo bahwa daerah dan negara harus memperkuat kapasitas internalnya untuk tidak sekadar bergantung pada investasi asing.
2. Strategi "Tidak Ingin Memilih" Harus Berbasis Kepentingan Nasional
Laporan ini juga menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, semakin mengadopsi strategi "tidak ingin memilih" (non-alignment), yakni tidak berpihak secara mutlak pada AS atau China.
Sebagai mahasiswa, kita harus memastikan bahwa strategi ini benar-benar dijalankan demi kepentingan nasional, bukan sekadar retorika. Misalnya, dalam isu pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam, kita melihat bahwa investasi China banyak masuk ke sektor ini, termasuk di Gorontalo. Namun, sering kali investasi tersebut mengorbankan lingkungan dan masyarakat setempat. Jika AS ingin memperkuat kehadirannya di Asia Tenggara, maka mereka harus menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar kepentingan ekonomi semata, misalnya, investasi yang berbasis keberlanjutan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lokal.
3. Pendidikan dan Teknologi: AS Harus Menawarkan Lebih dari Sekadar Aliansi Militer
Meskipun AS tetap menjadi mitra keamanan utama di Asia Tenggara, laporan ini menyoroti bahwa keberadaan militer AS di kawasan ini semakin diterima dibandingkan sebelumnya. Namun, dari perspektif mahasiswa, kehadiran AS seharusnya lebih diarahkan ke penguatan kerja sama di bidang pendidikan dan teknologi.