Suara reformasi 1998 masih terngiang di telinga sejarah. Ketika mahasiswa dan rakyat turun ke jalan, mereka menuntut perubahan: menghapus Orde Baru, mengembalikan demokrasi, dan memastikan supremasi sipil atas militer. Mereka tidak ingin lagi melihat seragam loreng di parlemen, di pemerintahan, atau di lembaga-lembaga yang seharusnya dikelola sipil. Namun, lebih dari dua dekade setelah itu, ancaman lama mulai kembali.
DPR baru saja mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Revisi ini memberi jalan bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di 14 kementerian dan lembaga negara. Bukan hanya itu, usia pensiun perwira tinggi pun diperpanjang, memberikan mereka lebih banyak waktu dan ruang untuk mengukuhkan pengaruh. Bagi sebagian orang, ini hanyalah kebijakan administratif biasa. Tetapi bagi mereka yang memahami sejarah, ini adalah alarm bahaya.
Kembalinya Bayang-Bayang Dwi Fungsi ABRI
Dulu, militer tidak hanya menjaga perbatasan atau menghadapi ancaman luar negeri. Mereka juga mengelola pemerintahan, menduduki kursi parlemen, dan menentukan arah kebijakan negara. Itu yang disebut Dwi Fungsi ABRI satu kaki di pertahanan, satu kaki di politik. Reformasi 1998 berusaha menghapus itu. Panglima TNI saat itu, Jenderal Wiranto, bahkan berjanji akan menarik militer dari ranah sipil secara bertahap.
Namun, revisi ini justru membalikkan keadaan. Dengan membuka pintu bagi prajurit aktif ke dalam lembaga-lembaga sipil seperti Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, kita tidak hanya mengizinkan mereka berpartisipasi, tapi juga memberikan mereka pengaruh yang lebih besar dalam proses hukum dan pemerintahan. Apa jaminannya bahwa mereka tidak akan memihak kepentingan militer ketika dihadapkan pada kasus-kasus hukum?
Supremasi Sipil di Ujung Tanduk
Dalam negara demokrasi, sipil harus mengendalikan militer, bukan sebaliknya. Presiden, menteri, dan pejabat pemerintah harus berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Ketika militer kembali masuk ke dalam pemerintahan, peran sipil semakin terpinggirkan. Revisi ini adalah langkah mundur yang mengikis supremasi sipil yang telah diperjuangkan selama ini.
Lebih berbahaya lagi, revisi ini bisa membuka jalan bagi semakin banyaknya pendekatan keamanan dalam penyelesaian masalah negara. Alih-alih menggunakan jalur hukum atau diplomasi, aparat berseragam bisa lebih mudah turun tangan dalam berbagai aspek kehidupan. Ini bukan paranoia. Kita pernah mengalami masa itu saat kritik dibungkam, demonstrasi dianggap ancaman, dan kekuasaan digenggam erat oleh segelintir orang yang tidak bisa disentuh hukum.
Menolak Kembali ke Masa Kelam
Revisi UU TNI ini bukan hanya soal administrasi. Ini soal prinsip, soal arah bangsa, soal bagaimana kita ingin Indonesia ke depan. Kita bisa membiarkan sejarah berulang, atau kita bisa berdiri tegak dan mengatakan: cukup!