Mohon tunggu...
narablog
narablog Mohon Tunggu... opini | mahasiswa

dikelola oleh harun alulu

Selanjutnya

Tutup

Politik

neo orba?

24 Februari 2025   01:20 Diperbarui: 24 Februari 2025   01:45 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah mengajarkan bahwa setiap kemunduran demokrasi sering kali diawali dengan upaya sentralisasi kekuasaan dan militerisasi birokrasi. Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, ratusan kepala daerah yang seharusnya menjadi representasi demokrasi lokal justru dikumpulkan di Akademi Militer (Akmil) Magelang, mengenakan pakaian loreng, dan dididik dalam suasana yang lebih mirip indoktrinasi ketimbang pembekalan. Ini bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi alarm keras bagi nasib desentralisasi yang diperjuangkan dalam Reformasi 1998.

Militerisasi Kepala Daerah

Sejak awal, pendiri bangsa seperti Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta menolak gagasan bahwa militer seharusnya mendominasi kehidupan sipil. Sjahrir, dalam Perjuangan Kita, memperingatkan bahwa Indonesia harus keluar dari bayang-bayang feodalisme dan otoritarianisme yang mengandalkan kekuatan militer. Hatta, seorang demokrat sejati, berulang kali mengingatkan bahwa pemerintahan yang baik harus berbasis pada kepercayaan rakyat, bukan atas dasar perintah komando.

Namun, apa yang terjadi hari ini? Kepala daerah---yang dipilih melalui pemilu demokratis---malah 'disekolahkan' di lingkungan militer. Ini bukan sekadar soal teknis pembekalan, tetapi simbol dari bagaimana demokrasi dikekang dalam disiplin ala barak. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika sipil tunduk pada doktrin militer, maka yang terjadi adalah stagnasi demokrasi dan matinya kebebasan berpendapat.

Prabowo dan Warisan Orde Baru

Retreat ini juga mengingatkan kita pada pola Orde Baru yang menempatkan kepala daerah sebagai perpanjangan tangan pusat, bukan sebagai pemimpin yang mewakili rakyatnya sendiri. Soeharto menggunakan Golkar sebagai alat kontrol politik, sementara para gubernur, bupati, dan wali kota dijadikan kepanjangan tangan Jakarta. Desentralisasi yang diperjuangkan pasca-1998 seharusnya membebaskan kepala daerah dari cengkeraman pusat, memberi mereka ruang untuk menentukan kebijakan sesuai kebutuhan rakyatnya.

Namun, kebijakan retreat ini justru menegaskan kembalinya model sentralisasi kekuasaan. Prabowo tampaknya gagal memahami bahwa otonomi daerah, bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari semangat reformasi yang menolak gaya pemerintahan sentralistik. Jika kepala daerah hanya dijadikan eksekutor kebijakan pusat tanpa ruang independensi, maka kita sedang mundur 30 tahun.

Militer Itu dekat dengan Fasis

Kita semua tahu bahwa militer bekerja dengan sistem komando. Perintah A dari atasan, maka wajib A dilaksanakan tanpa tawar-menawar. Namun, pemerintahan daerah bukanlah batalyon tempur. Demokrasi bekerja dengan prinsip deliberasi---musyawarah, diskusi, dan kebijakan yang berbasis aspirasi masyarakat, bukan dogma satu arah. Tan Malaka, dalam Madilog, menekankan bahwa pemimpin harus berpikir rasional dan berbasis logika, bukan sekadar mengikuti instruksi atasannya.

Bagaimana mungkin kepala daerah bisa menjalankan kebijakan yang sesuai dengan karakter daerahnya jika mereka dididik dalam logika komando militer? Jika kebijakan pusat bertentangan dengan kebutuhan daerah, apakah kepala daerah hanya akan 'siap, laksanakan!' tanpa ruang diskusi? Ini bukan hanya soal teknis pemerintahan, tetapi ancaman terhadap demokrasi yang dibangun susah payah selama lebih dari dua dekade terakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun