Mohon tunggu...
Rasmira Shaja
Rasmira Shaja Mohon Tunggu... -

antahlah yuang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Awali dengan bumbu bukan akhiri dengan Monosodium glutamat

15 September 2011   04:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:57 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini tulisan awal saya. Karena sedikit lapar saya menulis ini. Banyak teman di perantauan yang bilang “ribet” ketika melihat kami memasak. Bumbunya bejibun, proses memasaknya lama pula, dan terkesan tidak praktis. Mungkin iya, masakan Padang memang rame. Ada macam-macam bumbu. Cabe, bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, lengkuas, kemiri, ketumbar , merica, buah pala, kulit manis, dan masih ada lagi yang lain. Belum lagi asam-asaman, daun-daunan (daun salam, daun kunyit, daun asam, ruku-ruku, sereh, dll), belum lagi “pamasak” alias bumbu yang harus ditumbuk halus atau sudah jadi dalam kemasan. Belum lagi takaran santan. Belum lagi proses dan cara memasak (apinya, kuali/periuknya, dan tingkat kematangan)... Begitulah kawan, “makan” adalah hasil dari kau bekerja, maka nikmati dan hargailah dia. Mungkin salah satunya melalui bumbu, bumbu memberi citarasa yang berbeda. Ibuku bilang “tuang mato ka nan rancak, tuang salero ka nan lamak” yang kira-kira artinya “mata condong pada yang bagus, selera condong pada yang enak”.

Agak heran saya di perantauan. Ibu-ibu (termasuk juga pedagang makanan) menjadikan semua serba praktis, katanya menghemat waktu dan tidak mau ribet. Termasuk dalam hal makan. Banyak tersedia bumbu jadi dan tentu saja makanan siap saji. Begitu juga dalam hal memasak: akhiri saja semuanya dengan vetsin pasti enak. Vetsin alias Monosodium glutamat menjadi juru selamat. Suatu hari, waktu hendak kuliah pagi, di Jatinangor saya melihat tukang gorengan memasukkan satu bungkus vetsin ke dalam adonan gorengan. Gila. Mungkin banyak yang tahu bahwa vetsin tidak baik untuk kesehatan, tapi zat adiktif ini selain memberi sensasi “enak” mungkin juga mempengaruhi tingkat kepercayaan diri. Lebih baik beri vetsin saja daripada makanan yang kita sajikan dianggap “tidak enak”. Antahlah piak


Saya bukan ahli masak. Tapi di balik bumbu masak yang beragam saya menarik filosofi yang banyak: nikmati makan dan makananmu, selalu ada usaha untuk sesuatu yang nikmat, jaga kesehatan, dan utamakan citarasa. Membeli bumbu masak di pasar tradisional kita bisa menjumpai sekian pedagang dan telah membantu sekian banyak petani. Tentu tak sesederhana ketika hanya membeli sebungkus vetsin. Terlihat "ribet" memang, tapi ada alur komunikasi yang "dalem" di dalamnya. Apalagi saat meramu bumbu-bumbu itu di dapur, ada komunikasi antara ibu dan anak, suami dan istri dan tentu saja melahirkan cinta dan memori.

Mengira-ngira takaran bumbu yang akan dimasukkan ke dalam masakan tentu juga melatih rasa tak perlu gunakan timbangan apalagi meteran.. ^_^

Bumbu dan rempah-rempahlah yang menyebabkan kita dulu dijajah oleh bangsa kolonial, tentu juga kita tak akan melupakan sejarah ini. Apalah jadinya bangsa yang melupakan sejarahnya, apalagi sejarah pernah dijajah oleh bangsa lain. Menyakitkan.

Begini dulu saja Kawan. Semoga tulisan awal ini bisa membumbui tulisan-tulisan selanjutnya.

Tabik

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun