"Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa sesungguhnya apa yang terjadi di hilir sepertinya bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan saat ini di kota-kota kabupaten seperti Barabai, Banjarbaru sampai dengan Tanah Laut adalah karena tidak adanya perhatian dan dukungan bagi kearifan tradisi yang dimiliki oleh komunitas-komunitas adat atau lokal yang menjalani kearifan kehidupannya di sepanjang kaki-kaki pegunungan Meratus yang merupakan hulu dari kota-kota kabupaten tersebut. Â Berikut potret kecil kehidupan mereka yang terlukis pada tahun 2008."
"Orang Meratus". Secara sederhana orang Meratus adalah orang-orang yang mendiami daerah-daerah pinggiran sungai sepanjang pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Sebagian besar penduduk desa ini sumber pendapatan uang tunainya dari penjualan karet yang dapat dipanen setiap hari, kecuali bila langit tidak bersahabat dengan turunnya hujan. Tak hanya karet, Â kawasan ini juga kaya akan kayu manis, durian, langsat, manggis, kapul, dan berbagai jenis buah local yang jarang bahkan tidak ditemui ditempat lain.
Pagi masih berkabut dan mentari masih berlindung dibalik punggungan pegunungan Meratus ketika Jejak hari di kampung atau balai ini telah dimulai lagi. Tapak kaki telanjang perempuan dengan butah (Sejenis ransel yang terbuat dari anyaman bambu) dipunggung dan bapak tua dengan Mandau dipinggul menapak jalanan tanah kampung, bergegas menuju ladang padi lokal yang menjadi sumber pangan utama keseharian mereka. "Hanya sekitar satu jam perjalanan menuju ladang", menurut mereka. Tetapi bagi orang yang tidak terbiasa dengan kontur jalan yang naik turun, perjalanan menuju ladang bisa menghabiskan waktu sekitar 2 jam bahkan mungkin bisa sampai 3 jam.Â
Balai  Malaris adalah sebuah kampung kecil di kaki pegunungan Meratus yang secara administrative terletak di desa Lok Lahung, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimantan Selatan. Berjarak kira-kira  1,5  jam perjalan dengan mengunakan mobil dari Kandangan ibukota kabupaten ini. Sekitar 3 jam dari Banjarmasin ebagai ibukota propinsi Kalimantan Selatan.
Komunitas ini hidup sebagai komunitas agraris, masyarakat disini kaya akan sumber-sumber produksi pertanian, terutama agroforestri, tanaman pangan, obat-obatan yang kental dengan ritual social budaya yang masih dipegang secara kuat.  "Balian" (Dukun kampung) menjadi tokoh penting dikampung .  Jumlahnya mencapai  5 Orang.  Dipandu oleh pengetahuan kaum balian kemudian menghadirkan tanaman obat sebanyak 28 jenis tanaman yang sering digunakan oleh komunitas ini untuk mengatasi problem kesehatan yang jauh dari akses dan fasillitas kesehatan pemerintah.  Bagian yang sering digunakan mulai dari akar, batang, kulit batang dan daun.Â
Kayu Manis menjadi komoditas penting lain bagi komunitas balai Malaris.  Hampir setiap hari, terlihat hamparan kayu manis yang dikeringkan berada di halaman depan rumah penduduk.  Rata-rata setiap tandun (Kepala Keluarga)  memiliki 825 pohon  kayu manis, jika dikalikan dengan 24 tandun yang berdomisili di balai ini maka ada sekitar 19.800 pohon kayu manis.  Dengan asumsi satu pohon menghasilkan 8 kg kayu manis maka omzet penjualan kayu manis balai ini mencapai Rp 594.000.000,-.  Potensi karet balai ini sangat besar.  Rata-rata setiap tandun di balai ini memiliki 1.050 pohon  karet sehingga jika dikalikan dengan 24 tandun yang berdomisili di balai ini maka ada sekitar 25.200 pohon karet di balai Malaris.  Dengan asumsi setiap pohon karet dapat menghasilkan 48 kg / tahun/pohon, dengan harga per kilogram Rp 2.500,-  maka dalam seminggu omzet penjualan produksi karet  balai ini adalah sebesar Rp 3.024.000.000,-
Bogor, 09 April 2008