Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

KAWAN SERUMAH | Cerpen Banyu Biru

4 Juli 2025   11:51 Diperbarui: 5 Agustus 2025   19:56 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah yang kami tinggali ini tidak sesuram dan semenyeramkan kelihatannya, kok. Agak berjarak memang dengan deretan rumah yang lain, tetapi menurutku aman-aman saja. Malah terkesan lebih hening dan tenteram apa lagi saat malam. Marno saja yang parno-an entah emang karena dia penakut atau sudah termakan dengan film horor yang ia tonton.

"Fik, kamu betah tinggal di kosanmu?"

"Betah-betah aja," jawabku santai.

"Sendirian? Kamu enggak takut?" Mata Marno meragu.

"Ya elah, No, No. Kalau enggak betah, aku enggak bakal milih ngekos di sinilah, gimana sih?

"Serius, Fik. Kosan kamu ini horor banget. Pake cerobong segala lagi kayak rumah vampir," gerutu Marno.

"Kamu mikirnya kejauhan, bro. "Kan aku enggak sendirian juga. Ada Pak Dibyo, tetangga kamar sebelah." Aku menjawab yakin.

Pak Dibyo memang sudah lama kerja di pabrik gula. Ia lebih sering dijadwalkan untuk shift malam ketimbang siang. Baginya tidak apa-apa karena menurutnya siang dan malam sama saja. Selagi bisa bertahan hidup dan menafkahi keluarga yang tinggal di kampung. Menurutku Pak Dibyo itu orang baik, sangat baik malah. Ia sering kali berbagi makanan. Aku tidak pernah diberi kesempatan menolak. Tidak baik menolak rejeki, katanya. Lama-lama aku merasa menjadi beban untuk Pak Dibyo, padahal aku bukan siapa-siapa, cuma anak indekos yang kebetulan tinggal serumah.

"Kamu anak baik, Fik. Dengan kamu yang mau ngekos di sini, Bapak jadi ada teman," kata Pak Dibyo. "Baik dan tinggal di sini emang ada hubungannya, Pak?" kataku. "Ya, iya. Udah lama, nggak ada yang mau nge-kos di sini. Hampir tujuh tahun. Bapak cukup kesepian." Pak Dibyo menerangkan.

Pak Dibyo bercerita bahwa ia sudah tinggal di sini hampir 15 tahun. Dulu ia baru punya anak satu ketika mulai bekerja di pabrik gula. Pulangnya hanya pas lebaran idulfitri. Itu pun cuma sekali karena bagi beliau ongkos pulang sudah lebih baik dikirim saja ke istrinya untuk mencukupi kebutuhan. Aku gampang terharu dengan penuturan Pak Dibyo. Mungkin mengingat aku juga begitu. Sudah lama lupa dengan wajah Bapak karena sudah meninggal diumurku yang ketiga tahun. Ibu hanya bilang kalau Bapak itu saya sama kami semua. Perjuangan bapak luar biasa untuk keluarganya sampai rela jauh dari kami supaya hidup kami terus berlanjut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun