Mohon tunggu...
Fragman Senyap
Fragman Senyap Mohon Tunggu... Penulis

Halo, Fragman Senyap, seorang penikmat kata, pengamat kehidupan, dan penulis lepas yang percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita melihat dunia. Lahir dan besar di desa kecil, saya tumbuh bersama buku-buku, dialog diam dengan diri sendiri, dan keinginan untuk terus belajar dari kehidupan sehari-hari, sambil tetap menulis sebagai bentuk ekspresi diri dan ruang berbagi pemikiran. Topik yang saya angkat di Kompasiana cukup beragam—mulai dari catatan reflektif, opini sosial, hingga cerita ringan yang menyentuh sisi personal manusia. Saya percaya bahwa menulis bukan hanya soal mengungkapkan, tapi juga soal menyembuhkan. Mari bertukar pikiran, berbagi cerita, dan merayakan makna dari hal-hal kecil bersama. Salam hangat, Fragman

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Suku Cyber: Antropologi Baru Manusia di Era Algoritma

13 September 2025   07:28 Diperbarui: 13 September 2025   07:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca buku Suku Cyber adalah pengalaman yang membuat kita merasa sedang bercermin, bukan pada wajah fisik kita, melainkan pada bayangan diri di ruang digital. Buku ini menyajikan sebuah antropologi baru, bukan lagi berbicara tentang suku-suku di pedalaman Amazon atau Papua, melainkan tentang "suku" yang hidup di balik layar gawai, bersatu oleh sinyal, algoritma, dan interaksi maya. Saya merasa sedang membaca sebuah etnografi kontemporer yang berlapis: sejarah, budaya, ekonomi, etika, hingga spiritualitas yang lahir di era internet.

Penulis membuka buku ini dengan sejarah lahirnya Suku Cyber. Ia menjelaskan bagaimana internet yang awalnya hanya alat komunikasi sederhana, kini telah menjelma menjadi ruang sosial kompleks. Menurut data dari We Are Social (2024), lebih dari 5,35 miliar orang terhubung dengan internet, hampir 66% populasi dunia. Artinya, mayoritas manusia modern hidup dalam lanskap yang dibangun bukan oleh tanah dan air, melainkan oleh data dan kode. Analogi yang muncul di benak saya adalah: jika Sungai Nil menjadi pusat lahirnya peradaban Mesir, maka jaringan kabel serat optik dan satelit adalah "Sungai Nil" baru yang melahirkan peradaban digital.

Dalam membaca bagian tentang identitas, saya tertegun dengan betapa cairnya definisi diri dalam Suku Cyber. Di masyarakat tradisional, identitas ditentukan oleh nama keluarga, bahasa, atau etnis. Di Suku Cyber, identitas ditentukan oleh minat, algoritma, dan keterhubungan digital. Seorang anak di Bandung bisa merasa lebih dekat dengan gamer di Seoul daripada dengan tetangganya sendiri. Bahkan avatar, nickname, dan profil media sosial menjadi topeng baru yang lebih menentukan status sosial daripada wajah asli. Fenomena ini selaras dengan data dari Pew Research Center (2023) yang menemukan bahwa 54% anak muda Gen Z merasa lebih autentik mengekspresikan diri mereka secara online dibandingkan di dunia nyata.

Namun, identitas cair ini bukan tanpa masalah. Buku ini mengingatkan kita pada tantangan serius: polarisasi, hoaks, hingga perundungan digital. Di sinilah menariknya, karena meskipun tanpa hukum formal, Suku Cyber menciptakan semacam "adat" baru yang disebut netiquette. Norma-norma ini berfungsi seperti hukum adat di masyarakat tradisional: siapa pun yang melanggar akan dikucilkan, kehilangan reputasi, atau bahkan diblokir. Analogi yang saya suka dari buku ini adalah bahwa netiquette di dunia digital mirip dengan ritual tabu dalam masyarakat kuno---ia tak tertulis, tapi sakral.

Bagian lain yang paling berkesan bagi saya adalah tentang ekonomi Suku Cyber. Penulis menunjukkan bahwa ekonomi digital telah berkembang menjadi ekosistem kompleks. Menurut laporan Statista (2023), ekonomi kreator digital global diperkirakan mencapai 250 miliar dolar AS pada 2027. Data ini menegaskan bahwa aktivitas di dunia maya bukan sekadar hobi, tetapi juga sumber mata pencaharian yang sah. Dari perdagangan barang digital, kursus daring, hingga NFT, Suku Cyber memiliki logika pertukaran yang sepenuhnya berbeda dari ekonomi agraris maupun industri. Jika di suku-suku kuno barter dilakukan dengan hasil panen, maka di Suku Cyber barter dilakukan dengan followers, likes, dan token kripto.

Fenomena cryptocurrency juga mendapat porsi yang besar. Bitcoin, Ethereum, dan ratusan altcoin lain dipahami bukan hanya sebagai alat investasi, melainkan simbol kedaulatan ekonomi digital. Buku ini menulis dengan jelas bagaimana mata uang virtual menjadi "cangkang kerang" baru---jika suku-suku tradisional menilai kekayaan dari jumlah hewan ternak atau tanah, maka anggota Suku Cyber mengukurnya dari aset digital yang disimpan di wallet. Data dari CoinMarketCap (2024) mencatat kapitalisasi pasar kripto global menembus 2,5 triliun dolar AS, menjadikannya fenomena ekonomi yang tak bisa diabaikan.

Tidak hanya ekonomi, buku ini juga menyoroti budaya dan kreativitas. Saya merasa seperti sedang membaca catatan antropolog yang masuk ke dalam ritual-ritual modern. Seni digital, musik kolaboratif lintas benua, e-sport, hingga meme, semuanya menjadi ekspresi budaya baru. Meme, misalnya, bukan sekadar gambar lucu, melainkan simbol kolektif yang menyatukan komunitas. Ia berfungsi mirip dengan mitos di masyarakat tradisional: sederhana, mudah diingat, dan menyampaikan nilai. Bedanya, jika mitos kuno butuh generasi untuk diwariskan, meme hanya butuh hitungan jam untuk viral. Data dari MIT (2018) bahkan menunjukkan bahwa berita palsu dan meme menyebar 6 kali lebih cepat daripada berita benar di media sosial. Artinya, mitos digital lebih kuat dan lebih berbahaya dibandingkan mitos tradisional.

Pada bagian pendidikan, penulis memberikan gambaran betapa Suku Cyber membentuk sistem belajar yang sama sekali baru. Coursera, Udemy, Khan Academy, hingga Discord Learning Community adalah "sekolah-sekolah" baru yang tidak terikat ruang dan waktu. UNESCO (2022) mencatat lebih dari 220 juta pelajar di seluruh dunia telah mengikuti kursus daring terbuka. Ini membuat saya teringat analogi yang diajukan penulis: jika perpustakaan Alexandria dahulu adalah simbol pengetahuan dunia kuno, maka Google adalah perpustakaan baru Suku Cyber---hanya saja tak pernah terbakar, meski bisa penuh dengan sampah informasi.

Yang membuat saya semakin terhanyut adalah bagaimana penulis menghubungkan semua aspek itu dengan nilai dan etika. Di balik segala inovasi, Suku Cyber menghadapi pertanyaan filosofis: siapa yang bertanggung jawab atas hoaks? Bagaimana menjaga integritas di ruang digital? Apa artinya solidaritas di dunia maya? Buku ini menegaskan bahwa tanggung jawab sosial, integritas, dan inklusi adalah fondasi moral Suku Cyber. Tanpa itu, komunitas digital akan runtuh menjadi sekadar pasar penuh noise dan manipulasi.

Dari perspektif antropologi, buku ini sukses membuktikan bahwa Suku Cyber adalah suku paling besar, paling inklusif, tapi juga paling rapuh yang pernah ada. Ia menyatukan miliaran orang, tetapi dengan ikatan yang bisa rapuh hanya karena perubahan algoritma. Sebuah update kecil di TikTok atau Instagram bisa merombak identitas jutaan orang. Analogi sederhana: jika suku-suku kuno takut pada bencana alam seperti banjir atau gunung meletus, maka Suku Cyber takut pada perubahan algoritma dan server down.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun