Mohon tunggu...
Fragman Senyap
Fragman Senyap Mohon Tunggu... Penulis

Halo, Fragman Senyap, seorang penikmat kata, pengamat kehidupan, dan penulis lepas yang percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita melihat dunia. Lahir dan besar di desa kecil, saya tumbuh bersama buku-buku, dialog diam dengan diri sendiri, dan keinginan untuk terus belajar dari kehidupan sehari-hari, sambil tetap menulis sebagai bentuk ekspresi diri dan ruang berbagi pemikiran. Topik yang saya angkat di Kompasiana cukup beragam—mulai dari catatan reflektif, opini sosial, hingga cerita ringan yang menyentuh sisi personal manusia. Saya percaya bahwa menulis bukan hanya soal mengungkapkan, tapi juga soal menyembuhkan. Mari bertukar pikiran, berbagi cerita, dan merayakan makna dari hal-hal kecil bersama. Salam hangat, Fragman

Selanjutnya

Tutup

Book

Ulasan Buku Minimalisme: Seni Melepas untuk Hidup Lebih Bermakna

4 September 2025   17:10 Diperbarui: 4 September 2025   17:10 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada satu paradoks besar yang sering kita lupakan: semakin banyak yang kita kumpulkan, semakin kosong kita merasa. Paradoks ini bukan hanya soal lemari penuh baju yang tak pernah dipakai, melainkan juga tentang jadwal harian yang sesak, layar ponsel yang tak berhenti berkedip, dan pikiran yang terus dijejali rasa takut tertinggal. Buku Minimalisme hadir seperti seorang teman yang dengan tenang berkata: "Coba berhenti sebentar. Apa benar semua ini kamu butuhkan?"

Minimalisme dalam buku ini dipaparkan bukan sebagai tren gaya hidup kekinian yang dijual lewat feed Instagram dengan warna putih bersih dan tanaman hias di pojok ruangan. Ia digali sebagai sebuah filosofi lama, yang jejaknya sudah ada sejak Socrates memproklamirkan bahwa hidup yang tidak direnungkan adalah hidup yang sia-sia, hingga Zen Jepang yang melihat keindahan justru dalam ruang kosong. Artinya, minimalisme bukan anak kandung era startup dan kopi susu; ia lebih mirip leluhur yang sabar menunggu kita sadar bahwa kesederhanaan adalah hakikat yang kita tinggalkan.

Data psikologi modern membuktikan, kepemilikan materi hanya memberi dorongan kebahagiaan yang sangat singkat---efeknya seperti makan mi instan tengah malam: cepat bikin kenyang, tapi cepat pula bikin haus. Setelah itu, otak kembali mencari target konsumsi berikutnya. Tidak heran jika orang dengan 20 pasang sepatu tetap merasa butuh sepasang lagi hanya karena warna talinya berbeda. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa pengalaman---seperti jalan-jalan singkat bersama teman atau belajar keterampilan baru---memberi peningkatan kebahagiaan yang jauh lebih tahan lama dibanding belanja barang.

Analogi sederhana bisa kita lihat pada memori komputer. Semakin penuh hard disk, semakin lambat ia bekerja. Begitu file-file lama yang tak pernah dibuka dibuang, perangkat yang sama terasa segar kembali. Ironisnya, kita sering lebih rajin membersihkan cache ponsel daripada membersihkan isi rumah atau isi kepala. Buku ini menegaskan, hidup manusia pun bekerja dengan logika serupa: kita butuh ruang kosong untuk berpikir, untuk bernapas, dan untuk merasa hidup.

Tetapi jangan kira melepas itu perkara mudah. Ada alasan mengapa banyak orang menyimpan kardus penuh barang "kenangan" di bawah ranjang. Kita bukan sekadar menumpuk benda, kita menumpuk emosi. Kaos usang dari acara kampus terasa sakral karena dianggap membawa identitas. Gelas retak hadiah pernikahan jadi semacam jimat kebahagiaan, meski tiap dipakai airnya bocor. Itulah jebakan emosional yang buku ini soroti---kita salah paham antara kenangan dengan barang. Padahal, kenangan hidup di kepala, bukan di kardus berdebu.

Lebih jauh, minimalisme bukan cuma soal lemari atau rumah. Ia juga tentang bagaimana kita menyusun ulang energi hidup. Dunia modern menuntut kita multitasking hingga otak mirip browser dengan 37 tab terbuka. Akibatnya, fokus tercerai-berai. Buku ini menunjukkan, ketika seseorang berani memangkas komitmen yang tidak penting---dari rapat yang sebenarnya bisa email, dari pertemanan basa-basi yang hanya memelihara gengsi---mereka mendapati ruang mental yang lebih lapang. Data tentang kesehatan mental mengonfirmasi hal ini: orang yang hidup sederhana secara sadar melaporkan tingkat stres lebih rendah dan kualitas tidur lebih baik.

Tentu saja, kritik muncul. Minimalisme dianggap gaya hidup orang kelas menengah ke atas yang sudah punya segalanya, lalu merasa keren saat membuang-buang barang. Namun buku ini justru mengingatkan bahwa esensi minimalisme bukan pamer kosong-kosongan, melainkan sikap sadar dalam memilih. Seorang buruh yang memutuskan membeli satu sepeda berkualitas yang awet sepuluh tahun, ketimbang tiga sepeda murahan yang rusak tiap tahun, sudah lebih minimalis daripada influencer yang memotret apartemen putih polosnya lalu membeli dekorasi baru tiap bulan agar feed tetap estetis. Minimalisme bukan estetika, tapi etika konsumsi.

Bukti lingkungan semakin menegaskan pentingnya sikap ini. Industri fast fashion misalnya, menyumbang lebih dari 90 juta ton limbah tekstil per tahun dan menjadi penyumbang besar polusi air. Ketika kita membeli baju hanya karena diskon, lalu membuangnya setelah dua kali pakai, kita sedang menambah beban bumi. Sebaliknya, memilih lebih sedikit tapi lebih tahan lama adalah kontribusi ekologis nyata. Minimalisme, kata buku ini, adalah salah satu cara paling pribadi untuk melawan krisis iklim: bukan lewat demonstrasi besar, tapi lewat keputusan kecil sehari-hari---apa yang kita beli, apa yang kita buang, dan apa yang kita biarkan tetap kosong.

Namun, minimalisme juga penuh jebakan. Ada orang yang salah kaprah: hidup minimalis berarti hidup tanpa apa-apa. Akhirnya mereka mengosongkan ruangan sampai mirip rumah contoh yang dingin dan tanpa jiwa. Buku ini menertawakan kesalahpahaman itu. Minimalisme bukan menghapus semua barang, melainkan menyisakan yang benar-benar bermakna. Analogi jenaka: bayangkan jika dapurmu hanya punya satu sendok demi "kesederhanaan." Mungkin terlihat keren di Instagram, tapi tunggu sampai kamu harus bikin sop untuk lima orang tamu. Minimalisme bukanlah kemiskinan yang dipoles, melainkan kecukupan yang disadari.

Lalu bagaimana praktik nyatanya? Buku ini menawarkan langkah-langkah sederhana: mulai dari metode inventarisasi barang, prinsip "satu masuk, satu keluar" setiap kali membeli sesuatu, hingga penerapan minimalisme digital dengan memangkas aplikasi dan notifikasi. Hasilnya bukan sekadar meja kerja lebih rapi, melainkan pikiran lebih tenang. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa pekerja dengan ruang kerja bersih 30% lebih produktif dibanding mereka yang dikelilingi tumpukan kertas dan barang. Artinya, merapikan laci bisa jadi lebih ampuh daripada membaca buku motivasi ratusan halaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun