Mohon tunggu...
Rania Zytka
Rania Zytka Mohon Tunggu... Mahasiswi Ilmu Komunikasi

Arts, music and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sampah Emosional: Tak Terpakai, Enggan Dilepas

24 Juli 2025   12:30 Diperbarui: 24 Juli 2025   12:18 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkan kamu merasa sesak dalam kamar yang kamu tempati padahal tak banyak barang didalamnya? Bisa jadi bukan hanya kenangan yang kamu simpan didalamnya, tapi tumpukan. Tumpukan benda yang nggak pernah lagi dipakai, tapi masih terus kita simpan. Bukan karena butuh, tapi karena ada rasa sayang yang tak bisa dijelaskan.

Mungkin bentuknya berbeda-beda. Diatas lemari, ada kotak sepatu yang isinya surat-surat lama, tiket bioskop, atau mungkin photocard dari beberapa tahun yang lalu. Dibalik pintu lemari, ada baju-baju yang dipinjam atau diberikan dari seseorang yang sudah lama tidak disapa. Semua benda itu sekarang tak lagi punya fungsi berarti, tapi tetap tinggal seperti hantu kecil yang tidak pernah pergi. Dan anehnya, kita tetap nyaman dengan keberadaannya yang setipis tisu.

Kenapa rasanya sulit membuang yang sebenarnya tidak kita pakai? Bukan hanya takut akan rasa penyesalan, tapi juga rasa takut kehilangan versi lama dari diri kita sendiri. Kadang benda-benda itu rasanya seperti bukti. Bukti bahwa kita pernah jatuh cinta, pernah mempunyai mimpi yang besar, pernah menjadi versi yang lebih berani, atau mungkin lebih naif. Semua benda menyimpan cerita berbeda, dan semua cerita itu terasa terlalu mahal untuk dibuang begitu saja.

Kita tumbuh di era yang serba sadar. Mulai dari mindful living, zero waste, bahkan sampai sustainability. Kita tahu cara bagaimana memilah sampah, tahu pentingnya ruang kosong.  Tapi di sisi lain, kita secara tidak sadar juga mudah terikat secara emosional dengan hal-hal kecil. Bungkus-bungkus lucu, kotak kosong dari brand estetik, atau goodie bag dari event spesial tahunan.

Secara logika, kita tahu itu nggak penting. Tapi secara emosi, kita merasa itu adalah salah satu bagian dari diri kita. Konflik inilah yang menyebabkan sebuah bentuk sampah yang jarang dibahas oleh banyak orang. Sampah emosional, benda-benda yang tak lagi terpakai, tapi enggan kita lepas. Bukan karena kegunaannya, tapi kenangan yang tersimpan didalamnya.

Kadang tak hanya kamar yang harus kita rapikan, tapi juga diri sendiri. Ada titik dimana barang-barang tersebut rasanya memenuhi ruang. Bukan hanya ruang fisik, tapi juga ruang pikiran. Menyimpan sesuatu yang tak dibutuhkan bisa menjadi sebuah kebiasaan. Kita terbiasa menggantung, menunda, dan berakhir tak menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan.

Kita membiarkan masa lalu mengendap di pojok ruangan, yang membuat diri kita sulit untuk bergerak dalam ruang pribadi. Itulah titik dimana kita harus mencoba melepaskan. Berani melepaskan bukan berarti melupakan, tapi salah satu bentuk dari rasa sayang paling tinggi yaitu merelakan.

Membuang tiket-tiket bioskop atau menyumbangkan baju-baju tak terpakai itu bukan berarti kita pura-pura akan apa yang sudah terlewatkan. Kita belajar bahwa menjalankan hidup tak harus dengan terus menengok kebelakang. Karena mungkin yang membuat kita lelah bukan kehidupan sekarang, tapi beban masa lalu yang masih terus menghantui pikiran.

Kalau kamu juga punya barang-barang tak terpakai tapi sulit dibuang, mungkin sudah saatnya kamu bertanya ke diri sendiri. Apakah ini masih aku perlukan, atau hanya tak siap untuk aku lepaskan?  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun